Mi Instan Bukan Musuh, Hanya Perlu Dikendalikan

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi Makan Mie Instan
Iklan

Fenomena mie instan di kalangan remaja mencerminkan paradoks antara modernitas dan kesehatan.

***

Wacana ini ditulis oleh Nur Susi Ramadhana Saragih, Luthfiah Mawar M.K.M., Helsa Nasution, M.Pd., dan Dr. M. Agung Rahmadi, M.Si. Lalu diedit oleh Aisyah Umaira, Andieni Pratiwi, Andine Mei Hanny, Dwi Keisya Kurnia, dan Naila Al Madina dari IKM 6 Stambuk 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat, UIN Sumatera Utara.

Seorang siswi berusia enam belas tahun di Jakarta pernah berujar, “Kalau lapar tengah malam, saya biasanya masak mie instan. Rasanya cepat bikin kenyang, murah, dan gampang dibuat. Hampir semua teman saya juga begitu.” Pernyataan sederhana ini mencerminkan realitas kultural yang jauh lebih kompleks. Mie instan tidak lagi sekadar makanan praktis, melainkan telah menjadi simbol gaya hidup modern remaja Indonesia. Namun, di balik daya tariknya, mie instan menyimpan risiko kesehatan yang serius, terutama bagi kelompok usia remaja yang tengah berada pada fase pertumbuhan pesat.

Mie instan merupakan salah satu makanan cepat saji paling populer di Indonesia. Popularitasnya ditopang oleh harga murah, rasa variatif, serta kemudahan dalam penyajian. Namun, konsumsi berlebihan berpotensi mengganggu keseimbangan nutrisi. Penelitian menunjukkan bahwa mie instan cenderung tinggi karbohidrat sederhana, lemak, dan natrium, tetapi rendah serat, vitamin, dan mineral (Utami 2021). Kondisi ini dapat memicu obesitas, hipertensi, serta meningkatkan risiko penyakit degeneratif pada usia dewasa. Dengan demikian, kesadaran untuk mengatur pola makan yang sehat dan seimbang menjadi semakin penting.

Masa remaja adalah periode krusial bagi pertumbuhan fisik, perkembangan kognitif, serta kesehatan mental. Asupan gizi yang memadai pada fase ini akan menentukan kualitas hidup di masa mendatang. Sayangnya, gaya hidup modern yang serba cepat mendorong banyak remaja untuk memilih mie instan sebagai menu sehari-hari. Menurut data World Instant Noodles Association (WINA) tahun 2023, Indonesia menempati posisi kedua konsumsi mie instan tertinggi di dunia setelah Tiongkok, dengan jumlah miliaran bungkus per tahun (WINA 2023). Angka ini mencerminkan betapa masifnya penetrasi mie instan ke dalam budaya konsumsi remaja Indonesia.

Jika ditinjau dari kandungan gizinya, mie instan umumnya berbahan dasar tepung terigu, minyak nabati, garam, serta penyedap rasa. Satu bungkus mie instan rata-rata mengandung sekitar 1.200 mg natrium, hampir menyentuh batas maksimum konsumsi garam harian yang dianjurkan WHO, yakni 2.000 mg (WHO 2022). Tingginya natrium dalam mie instan meningkatkan risiko hipertensi bahkan sejak usia muda. Rendahnya kandungan serat, vitamin, dan mineral juga berimplikasi pada gangguan pencernaan, penurunan daya tahan tubuh, serta potensi hambatan pertumbuhan. Selain itu, kadar lemak jenuh yang terdapat dalam mie instan dapat memicu obesitas dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari.

Dari sisi perilaku konsumsi, popularitas mie instan di kalangan remaja tidak hanya ditentukan oleh faktor harga yang terjangkau dan rasa yang lezat, tetapi juga oleh iklan yang agresif dan minimnya literasi gizi. Penelitian Yoon dan Kim (2019) menegaskan bahwa paparan iklan makanan cepat saji berkorelasi positif dengan pola konsumsi instan pada remaja Asia. Di Indonesia, kurangnya edukasi gizi baik dari keluarga maupun institusi pendidikan memperkuat fenomena ini, sehingga remaja cenderung mengabaikan risiko jangka panjang yang mengintai.

Risiko kesehatan jangka panjang konsumsi mie instan tidak dapat diabaikan. Studi epidemiologis menemukan adanya hubungan antara konsumsi rutin mie instan dengan sindrom metabolik, terutama pada perempuan muda (Shin et al. 2014). Selain itu, konsumsi berlebih terbukti meningkatkan kadar kolesterol LDL sekaligus menurunkan HDL, sehingga mempercepat risiko penyakit jantung. Dalam konteks ini, remaja yang sedang aktif belajar dan beraktivitas fisik berpotensi mengalami penurunan konsentrasi serta performa akibat asupan nutrisi yang tidak seimbang.

Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui langkah-langkah sederhana namun konsisten. Remaja dapat mengurangi frekuensi konsumsi mie instan, menambahkan sayuran dan sumber protein seperti telur atau daging ketika mengonsumsinya, serta memperkuat literasi gizi melalui sekolah maupun media digital. Keluarga juga memiliki peran sentral sebagai agen sosialisasi pertama yang dapat menanamkan kebiasaan makan sehat. Dengan adanya intervensi edukasi dan pendampingan keluarga, pola konsumsi remaja diharapkan dapat lebih terkendali.

Pada akhirnya, fenomena mie instan di kalangan remaja Indonesia mencerminkan paradoks antara modernitas dan kesehatan. Praktis, lezat, dan murah, tetapi menimbulkan konsekuensi kesehatan yang serius jika dikonsumsi tanpa kendali. Kesimpulannya, mie instan bukanlah musuh yang harus dihapuskan, melainkan produk budaya konsumsi yang harus ditempatkan secara proporsional. Remaja membutuhkan pengetahuan gizi yang memadai untuk membuat pilihan makanan yang bijak. Dengan membangun kesadaran sejak dini, generasi muda Indonesia dapat diarahkan untuk menjaga pola makan seimbang yang pada gilirannya menentukan kualitas hidup bangsa di masa depan.

Kesadaran kolektif inilah yang perlu terus diperjuangkan. Sebab, jika generasi muda hanya dibiasakan dengan makanan instan tanpa pengendalian, maka Indonesia berisiko menghadapi krisis kesehatan masyarakat yang lebih serius. Pertanyaannya, apakah kita rela masa depan bangsa ditentukan oleh semangkuk mie instan? Jawaban atas pertanyaan ini menuntut refleksi, keberanian, dan tindakan nyata.

 

Corresponding author: Nur Suci Ramadhana Saragih (email: [email protected])

Bagikan Artikel Ini
img-content
Aisyah Umaira

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler