x

Ilustrasi membaca buku. Dok: Pexels.com

Iklan

Agus Buchori

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 November 2021

Selasa, 9 November 2021 10:20 WIB

Sastra; Kebohongan yang Bernilai Kebenaran

Satra adalah manipulasi atau bisa juga kebohongan. Tapi kebohongan sastra berbeda dengan kebohongan dalam sejarah. Sejarah yang berbohong berniat membodohi masyarakat, sedangkan kebohongan dalam karya sastra malah melahirkan dunia ideal yang bisa menjadi cermin kehidupan masyarakat. Pembaca terbius oleh khayalan yang dibangun karya sastra. Ada letupan, emosi, harapan dan pemberontakan di sana. Karena hal-hal demikianlah kadang sastra itu sangat menakutkan bagi penguasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penulis: agusbuchori@gmail.com

Satra adalah manipulasi atau bisa juga kebohongan. Tapi kebohongan sastra berbeda dengan kebohongan dalam sejarah. Sejarah yang berbohong berniat membodohi masyarakat, sedangkan kebohongan dalam karya sastra malah melahirkan dunia ideal yang bisa menjadi cermin kehidupan masyarakat.

Sastrawan Peru, Mario Vargas Llosa, bahkan dengan apik mengungkapkan bahwa novel (sastra) separuhnya memang sebuah kebohongan namun ada separuhnya lagi bahwa itulah cara sastra mengungkapkan  bahwa kebohongan tersebut sebenarnya menyatakan sebuah kebenaran yang hanya bisa diungkap dengan cara terselubung sebagaimana teks sastra tersebut dituliskan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sastra dalam dunia yang direka oleh penulisnya memunculkan harapan terpendam pembacanya akan situasi ideal yang mungkin tidak dialaminya dalam kehidupan yang sesungguhnya. Dunia ideal yang menjadi utopia manusia mungkin hanya bisa ditemui dalam sastra.

Kenyataan hidup seseorang  kadang tak sesuai dengan harapannya. Ini tidak berlaku bagi yang gagal saja, apakah orang itu sukses atau sebagai yang kalah. Manusia cenderung tak mau menerima dirinya dalam eksistensinya yang apa adanya. Kita kadang terlalu ruwet untuk memahami kenyataan yang ada meski itu sudah menjadi garis hidupnya.

Pembaca terbius oleh khayalan yang dibangunnya saat membaca buku sastra. Ada letupan, emosi, harapan dan pemberontakan di sana. Karena hal-hal demikianlah kadang sastra itu sangat menakutkan bagi penguasa.

Penguasa menghendaki pikiran yang terkontrol dan tidak bebas. Imajinasi adalah bahaya laten dari penguasa yang otoriter. ia ingin keseragaman untuk menjamin stabilitas. Dan narasi dalam sastra sebisa mungkin diminimalkan. Untuk itulah para penguasa akhirnya berselingkuh dengan sejarah.

Sejarah sering dimanipulasi oleh kekuasaan. Dan sudah lazim sejarah hanya memunculkan figur besar terlepas dari peran dan kiprahnya dalam kehidupan. Mereka lupa bahwa sejarah bisa dikonfirmasi dan apabila ada kekeliruaan sejarah akan memakan dirinya sendiri karena kehilangan kepercayaan.

Kebohongan sejarah adalah kebohongan yang dipaksakan sehingga pembacanya terbodohkan secara masif. Bukankah kejahatan terbesar adalah membodohi orang lain yang secara social lemah dan tak punya akses secara social.

Dalam sastra kebohongan adalah proses kebebasan berkarya sehingga nir dominasi pada pembacanya.

Pembaca karya sastra pun demikian, mereka bebas menafsirkan kebohongan di depan matanya karena tidak ada paksaan saat menikmati tulisan sastra. Mereka bebas mengimajinasikan dunia rekaannya sendiri tanpa terhalang doktrin peristiwa dan waktu.

Waktu dalam sastra bermutasi menjadi kini, nanti dan kemarin secara bebas. Ia menggugah waktu yang terlewat dari pembaca untuk merekonstrusinya menjadi cerita yang "andai" dialaminya tentunya akan mengubah hidupnya hari ini. Sastra adalah tempat pelarian dari hidup yang jumud dan stagnan. Ia melahirkan cita-cita di benak setiap pembacanya.

Sastrawan berhasil meramu pengalamannya menjadi kebohongan yang bernilai dan memberikan pencerahan. Tentunya kita tidak selalu bisa mengonfirmasi apakah tokoh dan latar ataupun peristiewa dalam sastra itu benar adanya, namun nilai yang ditawarkan adalah hasil pengungkapan fakta yang mungkin terabaikan. 

Bukti bahwa sastra adalah kebohongan yang bermanfaat adalah adanya penindasan kepada penulis sastra baik di era Orde Lama atau Baru. Banyak penulis yang mendekam di penjara atau bahkan hilang nyawa hanya karena ia telah menuliskan sebuah karya sastra yang menggugah kesadaran pembaca untuk menyadari hak hak dirinya sebagai manusia.

Mochtar Lubis, Hamka, Widji Thukul dan Rendra adalah nama-nama sastrawan yang pernah menderita karena tulisannya. Mereka telah menyadarkan banyak orang untuk memahami peran asasinya sebagai manusia dan hak-haknya sebagai warga negara. Tokoh- tokoh hasil rekaan mereka telah menjadi "idol" bagi para pembacanya. 

Kata-katanya menyihir ribuan pembacanya untuk berani bersuara. Dan ini sama sekali berbeda jika kebohongan itu diproduksi oleh sejarah. Sejarah terkunci pada peristiwa yang harus terbukti dan lebih berbahaya lagi jika peristiwanya dibangun dari sesuatu yang mengada-ada. 

Rigidnya syarat untuk menulis sejarah akhirnya teratasi dengan hadirnya sastra yang mengungkap pembungkaman penguasa terhadap kebenaran sejarah. Meski sastra adalah rekaan, yang tentunya, semua rekaan adalah kebohongan, tapi ada kebenaran yang hadir di sana. 

Ikuti tulisan menarik Agus Buchori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu