Penulis, aktivis, sociopreneur.\xd\xd\xd Menyuarakan nalar kritis dan semangat mandiri dari pesantren ke publik digital #LuffyNeptuno
Pertumbuhan 8 Persen atau Ilusi?
5 jam lalu
Di awal jabatannya, Menkeu Purbaya tampil percaya diri. Tapi overconfidence bisa berbahaya, terutama ketika kebijakan seperti cukai rokok
***
Ada kalanya pejabat publik hadir ke panggung dengan energi penuh, aura percaya diri yang memancar bisa menular menjadi optimisme kolektif. Namun, dalam sejarah politik dan ekonomi Indonesia, kita juga tahu optimisme berlebihan sering kali berujung pada kekecewaan massal.
Purbaya Yudhi Sadewa, Menteri Keuangan yang baru menggantikan Sri Mulyani, tampil dengan sejak reshuffle kabinet baru-baru ini dengan dua wajah yang kontras. Di satu sisi, ia menunjukkan keluwesan. Dengan nada bercanda, ia bahkan mengundang Rocky Gerung untuk mengkritik habis-habisan kebijakannya. Di sisi lain, ia langsung melontarkan keyakinan besar bahwa Indonesia bisa mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen.
Optimisme itu disampaikan di hadapan anggota DPR dan publik luas. Bagi sebagian orang, keyakinan seperti ini adalah motivasi. Tapi bagi sebagian lainnya, ia terdengar sebagai “overconfidence” yang justru berbahaya bagi stabilitas pasar dan kepercayaan publik.
Dari LPS ke Kemenkeu: Transisi yang Tidak Mudah
Purbaya bukan orang baru dalam jagat ekonomi. Sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Namun, kursi Menteri Keuangan jelas medan yang jauh lebih berat. Di sinilah semua kebijakan fiskal diputuskan, di sinilah rakyat menunggu kepastian soal harga, pajak, dan arah pertumbuhan.
Dalam pidatonya di acara Great Lecture di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9), Purbaya jujur mengaku masih belum sepenuhnya siap. Ia merasa ritme kerja masih belum pas. Tetapi justru di situ ia menemukan alasan untuk terbuka terhadap kritik.
“Ini enggak apa-apa kalau enggak pas. Itu memberikan ruang bagi Pak Rocky Gerung untuk kritik saya habis-habisan nanti,” katanya.
Sikap ini seolah memberi sinyal bahwa Menkeu baru ingin tampil berbeda yakni tidak alergi kritik, bahkan menjadikannya bagian dari proses belajar.
Optimisme Pertumbuhan 8 Persen
Namun, keterbukaan itu diiringi keyakinan besar bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh 8 persen pada era Presiden Prabowo Subianto.
Purbaya menengok sejarah sebelum krisis 1998, ketika pertumbuhan ekonomi sempat stabil di kisaran 6,5–6,7 persen. Menurutnya, jika saat itu bisa, mengapa sekarang tidak? Apalagi fondasi ekonomi Indonesia, klaimnya, cukup resilient meski dunia diguncang ketidakpastian global.
Ia menunjuk data triwulan II 2025, di mana ekonomi tumbuh 5,12 persen year on year, ditopang konsumsi rumah tangga, investasi, serta ekspor-impor. Dari sinilah ia menarik garis lurus ke depan tentang pertumbuhan lebih tinggi bukanlah sesuatu yang mustahil.
Kritik dan Alarm Publik
Keyakinan besar itu tidak dibiarkan lewat begitu saja. Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik dari UPN Veteran Jakarta, menyebut sikap Menkeu terlalu percaya diri alias overconfident.
“Belum genap sehari menjabat, Menteri Keuangan baru Purbaya Yudhi Sadewa langsung menimbulkan kontroversi,” kata Achmad (9/9).
Menurutnya, ucapan Purbaya yang terkesan meremehkan tuntutan publik dengan keyakinan bahwa pertumbuhan tinggi otomatis meredam kritik, membuat pasar terkejut. Overconfidence, dalam pandangannya, bukanlah modal, melainkan alarm. Publik bertanya, apakah Menkeu baru bisa menjadi manajer fiskal yang kredibel, atau justru menjadi berisiko bagi stabilitas?
Manfaat dan Bahaya Overconfidence
Dalam psikologi kepemimpinan, kepercayaan diri memang penting. Ia memberi arah, menulari semangat, dan mencegah kebijakan terjebak dalam keragu-raguan. Namun, overconfidence bisa menjadi racun.
Overconfidence membuat pemimpin meremehkan kompleksitas masalah. Ia mengabaikan variabel-variabel sosial yang rumit. Ia menganggap grafik ekonomi akan bergerak sesuai rencana, padahal di balik angka ada realitas rakyat kecil yang tidak bisa dipoles dengan retorika.
Dan di sinilah persoalan nyata fiskal muncul, ketika kebijakan besar berbenturan dengan kehidupan sederhana rakyat kecil.
Kasus Nyata: Cukai Rokok yang Mencekik
Salah satu contoh paling gamblang adalah kebijakan cukai rokok. Dalam satu dekade terakhir, tarif cukai terus dinaikkan dengan alasan pengendalian konsumsi dan menambah penerimaan negara. Secara teori, itu terlihat mulia. Namun di lapangan, efek sampingnya menghantam keras.
1. Buruh pabrik rokok - ribuan orang kehilangan pekerjaan karena pabrik skala kecil hingga skala besar-pun gulung tikar.
2. Petani tembakau – harga jual daun tembakau makin tertekan, daya tawar mereka semakin lemah.
3. Pedagang kecil – omzet anjlok karena rokok legal semakin mahal dan sulit dijangkau pembeli.
4. Rokok ilegal – justru makin marak, karena menjadi alternatif murah bagi konsumen sekaligus jalan pintas bagi pelaku usaha kecil.
Ironinya, kebijakan yang dimaksudkan untuk mengendalikan justru melahirkan pasar bayangan yang tak terkendali. Negara kehilangan potensi penerimaan, kualitas produk tak terjamin, sementara rakyat kecil semakin terjepit dengan melambungnya harga-harga kebutuhan pokok yang mengikuti kenaikan pajak dan cukai.
Rokok Ilegal: Ekonomi Bayangan yang Tak Terelakkan
Di banyak daerah, rokok ilegal bukan lagi sekedar alternatif. Ia sudah menjadi sumber penghidupan. Pabrik rumahan bermunculan, lapangan kerja tercipta secara informal. Pemerintah bisa menyebutnya ancaman, tetapi bagi rakyat kecil, ia adalah satu-satunya cara bertahan.
Inilah realitas yang jarang disentuh pejabat. Ketika target penerimaan negara dinaikkan lewat cukai, rakyat kecil justru mencari jalan pintas. Maka, semakin tinggi cukai, semakin subur pasar ilegal.
Di titik ini, overconfidence pejabat fiskal bisa berbahaya. Mereka percaya angka penerimaan akan naik seiring kenaikan tarif. Tetapi di lapangan, kebijakan itu justru menciptakan kebocoran. Overconfidence membuat mereka buta pada ekonomi bayangan yang tumbuh diam-diam.
Dimensi Sosial: Beban Rakyat Kecil
Mari kita turun sedikit lebih dekat ke masyarakat. Seorang buruh pabrik rokok mungkin hanya menerima gaji setara UMR. Kenaikan cukai berarti ancaman PHK, karena pabrik menutup jalur produksi. Seorang petani tembakau harus menjual hasil panen dengan harga murah, sementara kebutuhan sehari-hari terus naik. Seorang pedagang warung di desa melihat rokok legal makin sulit dijual, sementara rokok ilegal menjadi pilihan utama pembeli.
Di sisi lain, pemerintah sering menggunakan retorika kesehatan untuk membenarkan kenaikan cukai. Namun, narasi itu terkesan timpang ketika tidak diimbangi dengan kebijakan kesehatan publik yang serius seperti akses layanan murah, edukasi berkelanjutan, serta program alternatif dan pengganti tembakau yang nyata bagi petani dan buruh yang terdampak.
Antara Target Ambisius dan Realisme Fiskal
Di sinilah letak tantangan Menkeu Purbaya. Optimisme pertumbuhan 8 persen boleh saja dikumandangkan. Namun, pertumbuhan tidak hanya diukur lewat angka makro, melainkan lewat kualitas hidup rakyat kecil.
Pertanyaan pentingnya adalah, apakah target besar itu dibarengi dengan kebijakan fiskal yang manusiawi? Apakah keberanian menaikkan target pertumbuhan juga diiringi keberanian untuk menata ulang kebijakan yang sudah terbukti mencekik, seperti cukai rokok?
Tanpa itu, angka 8 persen hanya akan jadi retorika di kertas, sementara di lapangan rakyat kecil justru makin menderita.
Kritik sebagai Vitamin Demokrasi
Purbaya menyebut dirinya siap dikritik. Semoga pernyataan itu lebih dari sekadar basa-basi awal jabatan. Kritik, betapapun keras, adalah vitamin demokrasi. Dari kritik, pejabat belajar menyeimbangkan optimisme dengan realitas.
Rocky Gerung mungkin hanya satu suara lantang. Tapi di baliknya, ada jutaan suara lirih: buruh, petani, pedagang, pekerja kecil yang merasakan langsung dampak kebijakan fiskal. Suara-suara itulah yang seharusnya menjadi kompas kebijakan.
Kepercayaan Diri yang Menapak di Bumi
Indonesia memang punya potensi besar dalam segala hal. Pertumbuhan tinggi bukan mimpi kosong. Tapi optimisme tanpa realisme hanya akan berakhir pada kekecewaan yang berujung semakin habisnya kepercayaan publik terhadap pejabat dan pemerintah.
Jika Menkeu baru benar-benar membuka telinga pada kritik, bukan mustahil target ambisius bisa tercapai. Namun bila kritik hanya dianggap gangguan kecil, maka overconfidence akan menjadi jebakan.
Rakyat tidak butuh angka indah di atas kertas. Mereka butuh kebijakan fiskal yang adil, termasuk dalam soal cukai rokok. Di titik inilah ujian sejati seorang Menteri Keuangan apakah kepercayaan dirinya mampu menapak di bumi, atau sekadar melayang di awan.

Sociopreneur | Founder Neptunus Kreativa Publishing
8 Pengikut

Pertumbuhan 8 Persen atau Ilusi?
5 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler