Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Perlawanan Partai Bonek Iwan Fals Selama Era Orde Baru
5 jam lalu
Era Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun merupakan periode yang penuh dengan paradoks dalam sejarah politik Indonesia.
ahmad wansa al-faiz
Era Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun (1966-1998) merupakan periode yang penuh dengan paradoks dalam sejarah politik Indonesia. Di satu sisi, rezim Soeharto berhasil menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang impresif, namun di sisi lain, sistem politik yang represif dan sentralistik menciptakan berbagai bentuk ketegangan sosial yang terakumulasi dalam jangka panjang. Dalam konteks inilah fenomena "Partai Bonek" yang dipopulerkan oleh Iwan Fals menjadi sangat relevan untuk dipahami sebagai bentuk resistensi kultural terhadap dominasi politik yang hegemonik.
Sistem politik Orde Baru dibangun di atas fondasi yang sangat rigid dengan Golkar sebagai kekuatan politik dominan yang didukung penuh oleh militer melalui konsep dwifungsi ABRI. Dua partai politik lainnya, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), secara sistematis dilemahkan melalui berbagai rekayasa politik, mulai dari pembatasan aktivitas kampanye hingga intervensi dalam kepemimpinan internal partai. Kondisi ini menciptakan ruang politik yang sangat terbatas bagi ekspresi aspirasi politik yang genuin, sehingga berbagai bentuk perlawanan dan kritik sosial mencari saluran-saluran alternatif di luar jalur politik formal.
Dalam vacum politik inilah Iwan Fals muncul sebagai suara alternatif yang merepresentasikan kelompok-kelompok marginal urban melalui konsep Partai Bonek yang ia populerkan. Istilah bonek yang merupakan akronim dari bondho nekat (bermodal nekat) bukan sekadar merujuk pada subkultur suporter sepak bola, melainkan menjadi simbol perlawanan terhadap kemapanan dan representasi dari mereka yang tidak memiliki akses terhadap kekuasaan politik formal.
Melalui lagu-lagu seperti Bento, Bongkar, dan Wakil Rakyat, Iwan Fals berhasil mengkristalisasi sentimen anti-establishment yang selama ini terpendam dalam masyarakat, khususnya di kalangan pemuda dan kelas menengah bawah yang merasa teralienasi dari sistem politik yang ada.
Fenomena Partai Bonek ini sesungguhnya mencerminkan konflik struktural yang lebih mendalam dalam masyarakat Indonesia era Orde Baru. Meskipun rezim Soeharto berhasil menciptakan stabilitas politik melalui kontrol yang ketat, berbagai ketegangan sosial terus bergolak di bawah permukaan. Kesenjangan ekonomi yang semakin melebar antara elite penguasa dan rakyat biasa, marginalisasi kelompok-kelompok minoritas dan komunitas lokal, serta ketidakadilan dalam distribusi sumber daya menjadi sumber konflik yang terus mengendap. Ditambah lagi dengan proses homogenisasi budaya yang mengabaikan keberagaman lokal dan represi terhadap ekspresi budaya yang dianggap subversif, menciptakan frustrasi kolektif yang membutuhkan saluran ekspresi.
Konflik sosial di era Orde Baru tidak hanya bersifat struktural tetapi juga kultural. Kontrol yang ketat terhadap media massa, karya seni, dan ekspresi budaya menciptakan uniformitas yang artifisial namun rapuh. Dalam kondisi ini, musik dan karya seni menjadi medium penting untuk menyuarakan kritik sosial yang tidak dapat diungkapkan melalui jalur politik formal. Iwan Fals dan musisi-musisi sejenis berhasil menciptakan ruang alternatif untuk diskursus politik yang lebih otentik, meski harus berhadapan dengan berbagai bentuk tekanan dan sensor dari aparat keamanan.
Menjelang akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, berbagai gejala chaos mulai tampak di permukaan. Krisis legitimasi rezim semakin menguat seiring dengan merebaknya kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan keluarga dan kroni-kroni Soeharto. Skandal-skandal seperti kasus Bapindo, Bank Duta, dan berbagai proyek mercusuar yang boros namun tidak produktif mulai mengikis kepercayaan publik terhadap pemerintah. Dalam konteks ini, kritik-kritik yang dilontarkan melalui lagu-lagu Iwan Fals semakin mendapat resonansi yang luas di masyarakat.
Fragmentasi sosial juga semakin tampak dengan meningkatnya konflik etnis dan agama di berbagai daerah. Kasus Tanjung Priok (1984), kerusuhan rasial di berbagai kota, dan berbagai konflik komunal lainnya menunjukkan bahwa stabilitas yang diklaim oleh Orde Baru sesungguhnya bersifat semu dan rapuh. Polarisasi sosial yang semakin tajam antara kelompok pro dan anti pemerintah, serta hilangnya kohesi sosial akibat represi berkepanjangan, menciptakan kondisi yang kondusif bagi munculnya chaos sosial yang lebih besar.
Krisis ekonomi yang melanda Asia pada tahun 1997-1998 menjadi katalis yang mempercepat runtuhnya Orde Baru. Dalam kondisi krisis ini, berbagai bentuk resistensi yang selama ini tersembunyi mulai bermunculan ke permukaan. Gerakan mahasiswa yang dimulai dengan Trisakti dan Semanggi mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat, termasuk kelompok-kelompok yang selama ini terinspirasi oleh semangat "Partai Bonek" ala Iwan Fals. Musik dan ekspresi budaya menjadi bagian integral dari gerakan reformasi, menunjukkan bahwa resistensi kultural yang berkembang selama Orde Baru telah menyiapkan fondasi mental dan ideologis bagi perubahan politik yang fundamental.
Dari perspektif sosiologis, fenomena "Partai Bonek" dapat dipahami melalui kerangka teori hegemoni Antonio Gramsci, di mana dominasi politik tidak hanya dipertahankan melalui kekerasan tetapi juga melalui konsensus kultural. Orde Baru berhasil membangun hegemoni melalui kontrol terhadap institusi pendidikan, media, dan budaya populer. Namun, kemunculan suara-suara alternatif seperti Iwan Fals menunjukkan bahwa hegemoni tersebut tidak pernah total dan selalu menghadapi bentuk-bentuk counter-hegemony yang berusaha menggerogoti dominasi kultural yang ada.
Konsep "everyday resistance" dari James C. Scott juga sangat relevan untuk memahami fenomena ini. Perlawanan tidak selalu harus berbentuk revolusi terbuka atau gerakan politik yang terorganisir. Lagu-lagu Iwan Fals dan kultur "bonek" yang ia representasikan merupakan bentuk resistensi sehari-hari yang subtle namun persistent. Melalui humor, sindiran, dan metafor-metafor yang cerdas, resistensi kultural ini berhasil menembus sistem kontrol yang ketat dan menyebarkan kesadaran kritis di kalangan masyarakat luas.
Paradoks modernisasi yang terjadi di era Orde Baru juga memberikan konteks penting untuk memahami munculnya fenomena ini. Proses modernisasi yang dipaksakan dari atas menciptakan masyarakat yang lebih terdidik dan memiliki kesadaran politik yang lebih tinggi, namun di saat yang sama membatasi partisipasi politik yang genuine. Kontradiksi ini menciptakan frustrasi intelektual yang mencari saluran ekspresi alternatif, dan musik menjadi salah satu medium yang paling efektif untuk menyalurkan frustrasi tersebut.
Dampak jangka panjang dari fenomena "Partai Bonek" dan resistensi kultural serupa sangat signifikan dalam pembentukan civil society Indonesia yang lebih kritis dan independen. Tradisi kritik sosial yang dikembangkan melalui musik dan karya seni selama era Orde Baru menjadi salah satu fondasi penting bagi demokratisasi budaya di era Reformasi. Generasi yang tumbuh dengan soundtrack lagu-lagu Iwan Fals menjadi lebih skeptis terhadap otoritas dan lebih menghargai kebebasan berekspresi.
Namun demikian, fragmentasi sosial yang terjadi selama era Orde Baru juga meninggalkan warisan yang problematis dalam bentuk menguatnya politik identitas pasca-Reformasi. Represi yang berkelanjutan terhadap ekspresi politik yang genuine menciptakan akumulasi frustrasi yang kemudian meledak dalam berbagai bentuk konflik sosial dan politik identitas yang kadang bersifat destruktif. Hal ini menunjukkan bahwa penindasan terhadap partisipasi politik yang sehat dapat menciptakan masalah yang jauh lebih kompleks di masa depan.
Kesimpulannya, fenomena "Partai Bonek" Iwan Fals merupakan manifestasi dari ketegangan struktural yang inheren dalam sistem politik autoritarianisme Orde Baru. Meskipun tampak sebagai fenomena kultural yang relatif marginal, ia sesungguhnya merepresentasikan aspirasi politik yang lebih luas dari kelompok-kelompok yang tidak terwadahi dalam sistem politik formal. Konflik sosial dan gejala chaos yang terjadi menjelang akhir Orde Baru menunjukkan bahwa stabilitas yang dibangun di atas represi bersifat artifisial dan tidak sustainable dalam jangka panjang. Studi kasus ini memberikan pelajaran berharga tentang pentingnya ruang demokratis yang genuine dalam mencegah akumulasi konflik sosial yang dapat berujung pada disintegrasi sistem politik dan sosial.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Apakah Partai dalah Partisi Aspirasi Sosial?
20 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler