Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Ketua Dewas DPLK SAM - Asesor LSP Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Doktor Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 54 buku. Salam literasi
Ketika Obor Literasi Padam, Hanya Tersisa Kegelapan Panjang
5 jam lalu
Literasi tidak lagi praktik nyata tapi bahan diskusi
***
Setiap kali ada kesempatan undangan berbicara literasi di sekolah, saya selalu mengajak siswa-siswa untuk membaca buku selama 5 menit. Ya, praktik membaca buku secara bersuara (nyaring). Makanya saat diminta menjadi narasumber, saya meminta siswa membawa buku bacaan (fiksi atau nonfiksi). Sehingga bergemalah seisi ruangan di saat membaca buku bersama. Suara bising karena membaca buku bersam-sama.
Seperti yang terjadi kemarin di SMK Negeri 26 Jakarta (11/9/2025). Saat diminta memberi workshop menulis resensi sebagai bagian pengembangan literasi sekolah, saya mengajak 400 siswa SMK untuk membaca buku yang dibawanya. Saya pun membaca buku saya dan duduk di tengah bersama mereka untuk membaca. Sebuah realitas dan pemandangan yang indah. Sekaligus menjadi bukti, bahwa membaca adalah perbuatan bukan Pelajaran. Membaca adalah praktik, bukan teori. Bahkan membaca butuk keberanian, bukan hanya omongan. Setelah membaca, baru saya menyampaikan materi menulis resensi. Dan hasilnya, dalam 15 menit, setiap siswa SMK Negeri 26 Jakarta berhasil menulis resensi dari buku yang dibawanya. Karya bersama siswa yang siap dipublikasikan, entah di majalah dinding, website sekolah atau buku antologi menulis resensi siswa. Untuk publikasi, sudah urusan sekolah bukan lagi saya sebagai narasumber.
Apa yang mau saya katakan dari sini? Sederhana saja. Sebagai pendidik dan pegiat literasi, saya tidak mau mengulang-ulang workshop atau seminar pada umumnya. Hanya bertutur dan bernarasi tentang literasi harus begini atau begitu, tanpa adanya praktik. Karena buat saya, literasi atau membaca buku harus bisa membuka “jalan baru” di tengah gelapnya kebingungan. Katanya membaca buku penting, tapi kenapa hanya sedikit orang membaca?
Di saat masyarakat diliputi hoaks (berita bohong) atau informasi berkabut yang tidak jelas sumbernya, pegiat literasi sudah seharusnya hadir sebagai penyuluh, bukan sekadar penyiar. Ia dituntut menghadirkan praktik yang baik, gagasan yang berani, kritis, dan mampu memberi arah, bukan hanya mengulang suara mayoritas yang nyaman didengar. Sehingga literasi jadi begitu-begitu saja.
Literasi harus berani menyalakan obor. Yang berarti berani menanggung risiko. Risiko yang tidak populer, risiko tidak disukai, bahkan risiko disingkirkan dari komunitas “mainstream”. Sebab tanpa keberanian dan praktik nyata, ilmu hanya menjadi hiasan di rak buku. Literasi hnaya menjadi bahan diskusi di hotel-hotel. Lierasi yang tidak lagi menjadi kekuatan yang memberdayakan, tidak lagi jadi alat untuk membebaskan. Karenanya, pegiat literasi harus berani mengguncang kebiasaan lama, lalu mempertanyakan yang dianggap wajar? Di mata saya, seper-empat pikiran literasi itu harusnya “anti kemapanan”, tidak bertumpu pada kenyamanan. Agar selalu mencari cara untuk terus menyuarakan literasi dan buku.
Bagi saya, literasi tidak bisa dibesarkan dengan cara ikut-ikutan. Apalagi “meng-ekslusifkan diri” sebagai komunitas. Literasi dan buku semestinya harus egaliter. Semuanya bersifat sama dan sederajat. Diskusinya literasi inklusif tapi implementasinya jadi eksklusif. Bagi saya, tidak ada teori paling benar di literasi. Tidak pula ada orang “jago” di literasi, sebab tingkat kegemaran membaca (TGM) di Indonesia juga belum tinggi banget. Ketersediaan akses bacaan di berbagai pelosok pun tergolong rendah. Literasi adalah proses, membaca adalah praktik, itusaja.
Maka titik penting (yang mungkin sebagian besar orang tidak setuju) literasi adalah keberanian, berani menempuh cara beda untuk menggaungkan literasi sebagai alat pencerhan, Agar literasi tidak lagi begini-begini saja atau begitu-begitu saja. Sebab literasi hadir bukan untuk mencari tepuk tangan, melainkan untuk memastikan masyarakat tercerahakn, tidak lagi berjalan dalam gelap. Sebab jika “obor literasi” itu padam, yang tersisa hanyalah kegelapan panjang. Kita hidup dalam manipulasi yang diciptakan orang-orang yang berkepentingan lalu “akar rumput” ditinggalkan. Hati-hati, siapapun bisa ada di jalan literasi tapi pada saat yang sama berpotensi tumbuh “tirani’ literasi yang leluasa.
Tugas literasi adalah menyalakann obor dalam kegelapan, bukan meniru cahaya yanh sudah ada. Sebuah renungan literasi yang patut dicermati. Salam literasi!

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Dari Sebuah Buku The Story of My Life
19 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler