x

Foto diambil dari: endeus.tv

Iklan

Kristina Yovita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 15 November 2021 16:36 WIB

Cahkwe

Fiksi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

CAHKWE

 

2019M-Jakarta

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“CAHKWE! CAHKWE!!”

Lengkingan seorang wanita menembus hiruk-pikuk pasar tradisional di Jakarta Barat. Beberapa orang tergoda untuk datang dan melihat. Wanita yang tadi berteriak nyaring, kini sibuk membanting-banting adonan tepung berwarna putih, memotongnya kecil-kecil, mengambil dua potong kemudian menyatukan keduanya memakai sumpit.

Kedua tangannya bergerak lincah, bulir keringat terlihat samar di tengkuknya. Hawa panas membuat kulitnya memerah di sana. Tanda lahir tepat di leher kiri berwarna merah, sekilas berbentuk daun terlihat berkilap. Bukan hanya penganannya yang terkenal seantero pasar, namun kecantikannya pun tak kalah pamor.

Dengan teriakan lebih lantang dia melempar adonan dempet itu ke dalam minyak mendidih.

“CAHKWE!!!”

Senyuman tipis samar terlihat, namun cukup menampakkan lesung pipi yang membuatnya semakin menarik. Asap penggorengan mengepul, melayang ke atas lalu hilang bersama angin yang membawanya kembali ke masa berabad-abad lalu.... 

***

1142M – Kerajaan Song Selatan

Angin kering cenderung dingin berembus pelan. Sangat perlahan hingga permukaan air danau tenang, tak ada sedikit pun riak terlihat. Kota Lin’An[1] tidak berubah banyak dari dinasti ke dinasti. Apalagi sekitar danau, sejauh mata memandang, hanya hijau yang tampak indah sekali menyegarkan mata. Sungguh Tian Maha Agung.

Warna abu-abu dari rumah-rumah penduduk tampak di sisi berseberangan. Apabila sengaja ditelaah, tampak beberapa titik bergerak-gerak di antara pohon teh dengan pucuknya yang siap dipetik.

Pusat kota berjarak hanya 30 li[2], tetapi di tempat ini nyaris tidak terlihat keramaian. Pasar di tengah pemukiman penduduk menjadi satu-satunya tempat riuh. Suara pedagang menjajakan dagangannya bercampur dengan berisiknya suara ternak; ayam, babi, angsa, terkadang anjing.

Hari ini pasar terlihat ramai seperti biasanya. Seorang wanita sedang sibuk mengambil roti kukus dari dandang ke atas piring di depan sebuah kedai. Uap panas mengepul, sangat jelas terlihat dalam udara yang dingin. Tangannya cekatan meraih tiga piring yang sudah terisi makanan, membalikkan badannya lalu melemparkan tiga piring kepada tiga orang tamunya, jitu, mendarat tepat di atas meja.

Tiga orang yang ternyata prajurit itu bertepuk tangan. Hanya prajurit pangkat rendah, tidak memiliki kemampuan silat sedikit pun, atraksi tak seberapa dari pemilik kedai membuat mereka meleletkan lidah terkagum-kagum. Rentetan pujian terdengar diselingi gelak tawa.

Zhuang Fengying—wanita itu tersenyum lebar. “Haiyaaa, kau berlatihlah silat. Orang mencuci piring pun kau anggap hebat!” 

Sindiran Zhuang Fengying malah membuat tawa mereka semakin menjadi.

“Kau terima lamaranku, aku akan mencuci seribu kali seribu piring untukmu!” seru seorang prajurit berusia empat puluhan.

Dua orang temannya yang lain menepuk pundak temannya, “Hao! Hao!”

Zhuang Fengying tertawa, ia sangat mengerti candaan pelanggan kedainya itu. Sudah bertahun-tahun sejak ibunya yang mengolah tempat ini, mereka sudah sering melepaskan penat di sini. Namun Zhuang Fengying memang layak untuk dilirik para laki-laki, ia memiliki tubuh semampai, rambut terikat asal di tengkuknya, sebuah jepit batu giok kecil menjadi hiasan di atas telinga. Hidungnya kecil, mancung, pas dengan bibirnya yang tidak begitu tebal. Namun dari semua itu matanya mewakili isi kepalanya, penuh semangat, berbinar bak kejora dari timur.

“Ayah! Sudah pulang mengajar? Mereka katanya mau belajar silat juga,” seru Zhuang Fengying ketika sudut matanya menangkap sosok memasuki kedai. Zhuang Liwei, pengajar silat di perguruan kecil kota ini. Walaupun usianya menginjak enam puluh, rambut memutih, sikapnya masih gagah, dengan wajah tampan dengan tatapan menusuk tajam. Kecantikan putrinya jelas didapat dari darahnya.

Zhuang Liwei tersenyum tipis, lalu membalas salam yang diberikan oleh tiga tamunya.

“Ahhh, kami sudah terlalu tua, kaki dan tangan sudah kaku, tidak bisa lentur lagi,” jawab satu dari mereka.

Huo dao lao, xue dao lao[3],” balas Zhuang Liwei, lalu duduk di salah satu kursi.

Kali ini ketiga prajurit hanya mengangguk-angguk, tidak berani membantah.

“Kapan pasukan Yue berangkat lagi?” tanya Zhuang Feiying sembari meletakkan secawan teh untuk ayahnya. 

“Kami menunggu perintah Jenderal Yuefei, setelah mengalahkan dua belas ribu orang-orang Jin kemarin ini, belum ada perintah lagi,” kata prajurit bermarga Li.

“Iya, Kaisar memanggil Jenderal pulang,” timpal satunya lagi.

“Kaisar memberi Jenderal dua belas piring emas karena kemenangan kemarin,” lanjut yang lain penuh rasa bangga.

Zhuang Liwei mengerutkan dahi, seolah terganggu oleh berita yang baru saja didengarnya. Ia sudah mengamati sepak terjang Sang Jenderal. Tidak pernah pasukannya lama berdiam diri saja seperti saat ini, menggempur pasukan Jin sudah menjadi tugas bertahun-tahun tanpa henti. Seorang temannya dalam lingkaran dekat Kaisar membisikkan kabar kurang mengenakkan hati.

“Tidak ada yang bisa menyamai Jenderal Yuefei. Semoga Jenderal diberi umur panjang oleh Tian,” ujar Zhuang Liwei.

Kembali semua orang mengangguk setuju, siapa yang tidak kenal dengan Jenderal Yuefei. Bahkan musuh pun jeri mendengar namanya.

***

Hari yang cerah, matahari tidak malu-malu menampakkan diri. Zhuang Liwei menelusuri jalan, berjalan kaki menuju perguruan silatnya. Ia tidak mengendarai kuda, terlalu mahal baginya. Lagi pula, berjalan kaki membuatnya bertambah sehat.

Percakapan tempo hari dengan prajurit Yuefei di kedai mengisi pikirannya. Kemarin ia menemui salah satu rekannya—seseorang yang dekat dengan istana—mengatakan hal yang sama tentang Jenderal Yuefei.

Namun ada satu berita yang membuatnya gusar sebenarnya. Ia menyimpan berita itu rapat-rapat, saat ini, kurang bijak menyikapi sikap Kaisar yang ternyata hendak—

Lamunannya terhenti seketika, ketika ia melihat sebuah tandu bertanda pembesar kerajaan ada di tengah jalan. Sesekali terdengar isak tangis, jeritan, dan suara pedang beradu.

Zhuang Liwei mengerahkan ginkang[4], hanya sekelebat ia tiba di tempat. Ternyata segerombolan perampok berpakaian hitam dan bertopeng kain merah tengah membantai prajurit. Perampok berjumlah sepuluh orang itu berhasil mengalahkan enam dari delapan prajurit.

Tangis keluar dari dalam tandu. Dengan gerakan kilat, ia membuka sedikit tirai tandu, seorang wanita belia meringkuk di sudut seperti kelinci kecil yang ketakutan. Ia mengangguk pelan kepada putri yang tidak dikenalnya itu. Melihat dari pakaian prajurit dan umbul-umbul, pasti salah satu anggota keluarga kerajaan.

Ketika ia membalikkan badan, semua prajurit sudah mati bersimbah darah. Zhuang Liwei menatap sepuluh perampok yang kini mengepungnya. Satu per satu ia melihat kawanan serigala itu. Sudah lama ia mendengar sepak terjang perampok ini; Kelompok Topeng Merah. Mereka berasal dari distrik sebelah.

Tanpa banyak cakap, Zhuang Liwei mencabut pedang. Sepuluh orang lawannya mengepung dan menerjang. Dentingan pedang terdengar, sesekali suara teriakan mewarnai pertempuran itu.

Zhuang Liwei menggerakkan pedang dengan lincah. Pedangnya sibuk menahan serangan, tetapi otaknya terus berpikir bagaimana mengalahkan mereka semua. Belum banyak jurus yang dikeluarkannya, ia sudah bisa menilai kedalaman silat semua lawannya.

“HIATTTT!” pekikan dari perampok sebelah kiri terdengar, hendak menusukkan pedang ke dada Zhuang Liwei.

Zhuang Liwei berkelit lalu tubuhnya menyelinap ke bawah pedang seperti ular berkelit dan hanya satu tebasan, pedangnya melukai perut lawannya. Sedetik, ke sembilan perampok lainnya terdiam, lalu bergerak lebih ganas lagi karena marah.

Kemarahan hanya membuat gerakan mereka semua menjadi liar. Lebih mudah bagi Zhuang Liwei untuk “memainkan” mereka.

Zhuang Liwei terus melayani hunjaman pedang bertubi-tubi, keringat mulai menetes di keningnya. Ia menunggu lagi celah untuk memberi perlawanan. Lalu...kakinya mengentak bumi, ia melompat dengan lincah, berjungkir balik dan tiba-tiba saja pedangnya sudah menancap ke dada salah satu perampok. Ia tidak sempat lagi melihat manusia pengganggu yang sedang kelonjotan menjelang maut. Kini ia menyerang dengan ilmu yang lebih tinggi.

Delapan orang perampok mulai kalang kabut apalagi keletihan terlihat jelas dari gerak tubuh mereka. Sekali lagi Zhuang Liwei mengeluarkan jurus ampuhnya, tenaga dalam yang sudah dilatihnya bertahun-tahun, tenaga dalam yang membentuk gulungan hawa panas. Dengan sekali dorong, hawa panas itu menyambar empat perampok di hadapannya. Seketika mereka terjengkang, terlempar jauh beberapa tombak. Tidak perlu ditanya bagaimana kondisi keempatnya. Dada mereka gosong! Seperti terbakar api di satu bagian saja.

Empat orang yang lain berhenti bergerak, saling pandang. Salah satu dari mereka mengangguk, serentak semua melarikan diri.

Zhuang Liwei membiarkan mereka pergi. Ia menghampiri prajurit yang tergeletak di tanah satu- satu, tidak ada yang selamat.

“Tuan Putri, mari, hamba antar Tuanku kembali ke rumah.”

***

Kedatangan Zhuang Liwei di pintu gerbang rumah Chen Changyi membuat gempar seantero istana kecil itu. Semua karena Putri bungsu penasihat Chen Changyi berada dalam dekapan Zhuang Liwei.

“Putri!  Putri!” panggil para pelayan dengan panik. Sebagian dari mereka berbalik arah memasuki rumah. Suara panik memanggil “Tuan Besar” terdengar beberapa kali.

“Tolong pindahkan Tuan Putri ini ke dalam,” pinta Zhuang Liwei sembari menyerahkan gadis dalam dekapannya ke salah satu pelayan wanita bertubuh besar.

“Oh, Tian Maha Agung! Apa yang terjadi padamu, Tuan Putri???” seru pelayan wanita itu. Tubuh mungil tuannya dengan mudah ia gendong dan segera bergegas masuk ke dalam rumah.

Zhuang Liwei hendak membalikkan tubuh saat sebuah suara berat seorang laki-laki memanggilnya.

“Tunggu, siapakah gerangan Tuan ini? Ada apa dengan anak saya?”

Zhuang Liwei menjura dan sedikit membungkukkan badan, “Hamba Zhuang Liwei.”

Chen Changyi bertubuh gemuk, tinggi besar, terlihat seperti beruang tua namun memiliki wajah bijaksana.

“Masuklah, dan ceritakan.”

Zhuang Liwei mengangguk dan mengikuti tuan rumah. Singkat cerita ia menceritakan seluruh kejadian, tidak kurang tidak lebih. Penasihat Chen Changyi menarik napas dalam.

“Aku akan menceritakan hal ini kepada Kaisar. Gerombolan penjahat itu harus dimusnahkan.”

Zhuang Liwei menjura, “Terima kasih, Tuan Penasihat. Baiklah, apabila tidak ada yang hamba bisa lakukan lagi di sini, hamba mohon pamit.”

Penasihat Chen Changyi mengangguk, membiarkan Zhuang Liwei berlalu dari hadapannya.

Sungguh, tidak ada satu manusia pun bisa menerka hidup ini. Apabila hari ini cerah, esok hari tidak ada yang bisa menduga. Begitu pula pertemuan kedua orang ini, hanya Tian yang mengetahui maknanya.

***

“Tuan Zhuang! Tuan Zhuang!”

Panggilan bertubi-tubi terdengar dari luar kedai membuat Zhuang Feiying dan ayahnya menoleh cepat. Prajurit Li datang dengan muka pucat. Tubuhnya gemetar kuat.

Zhuang Liwei berdiri cepat, memapah prajurit Li ke salah satu bangku. Zhuang Feiying memberinya secangkir teh panas.

“Tenangkan dirimu, ada apa?” tanya Zhuang Liwei. Ia duduk di hadapan Si Prajurit.

Wajah prajurit Li beangsur memerah, ia menghela napas berkali-kali. Zhuang Feiying mengernyitkan alis.

“Tuan Zhuang sudah melihat pengumuman di kota??”

“Pengumuman? Pengumuman apa??”

“Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Yuefei!”

Bagaikan terkena sambaran petir, Zhuang Liwei melompat kaget! Putrinya menatap prajurit Li tak percaya.

“Mengapa???” tanya Zhuang Feiying penasaran.

Prajurit Li, kini meneteskan air mata, lalu menangis tersedu-sedu. Bertahun-tahun ia menjadi pasukan Yue. Keberanian dan ketulusan mengabdi kepada negara sudah tidak diragukan lagi. Mengapa Kaisar tega menjatuhkan hukuman kepada pahlawan bangsa???

Wajah Zhuang Liwei memerah. Ia teringat kabar beberapa waktu lalu dari salah satu sumberya di dalam istana Kaisar. Beberapa pejabat yang lebih menyukai jalan damai, menentang pertempuran. Mereka mencari jalan untuk menjatuhkan Sang Jenderal. Isu Jenderal Yuefei bertingkah melewati batas kedudukannya sebagai pejabat level bawah merebak begitu cepat. Mereka merasa mendapat kesempatan untuk menyerang diam-diam saat Jenderal Yuefei menolak gagasan Kaisar untuk pindah ke wilayah selatan.

Ternyata berita itu benar adanya, kata benak Zhuang Liwei.

“Lalu, apakah Jenderal melakukan perlawanan???” tanya Zhuang Feiying

“Jenderal hanya mencari perlindungan dari komisaris Hebei[5], Cheng Changyi. Tapi tampaknya tak berguna...” jawab prajurit Li pelan. 

Zhuang Liwei menggebrak meja.

“Ayah ke kota, Feiying. Kau di sini.”

Putri tunggalnya mengangguk kuat-kuat. Matanya sama seperti ayahnya,menyiratkan semangat...dan amarah.

Tanpa menunggu lama, Zhuang Liwei dan Prajurit Li bergegas menuju kota.

 

Alun-alun kota ramai sekali, tetapi hanya di satu sisi, di dinding tempat pengumuman Kaisar berada. Semua orang berteriak marah, karena pahlawan mereka dihukum tanpa dasar yang kuat.

Zhuang Liwei menyeruak di antara orang-orang itu, hingga matanya membaca dengan jelas. Tangannya mengepal.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya prajurit Li.

“BEBASKAN JENDERAL YUEFEI! BEBASKAN JENDERAL YUEFEI!”

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dari kerumunan, awalnya hanya satu orang yang mengeluarkan suara, lama kelamaan seluruh rakyat yang berkumpul menyerukan yang sama berkali-kali, begitu gegap gempita.

Prajurit Li dan Zhuang Liwei turut dalam semangat itu. Seorang pemuda bertubuh tegap menaiki sebuah batu besar.

“JENDERAL YUEFEI DAN PASUKANNYA LAYAK KITA BELA! BAGAIMANA BISA KAISAR MENGHUKUMNYA??? USIR PENGKHIANAT DARI KERAJAAN!”

Suara pemuda itu menggelegar. Zhuang Liwei segera menghampiri, diikuti prajurit Li. Yel-yel mulai terdengar, gemuruhnya seolah mengisi penuh alun-alun kota. Semakin lama kerumunan semakin besar. Narasi pemuda gagah begitu membangkitkan semangat rakyat jelata yang begitu mencintai Sang Jenderal.

“USIR CHIN KWE!” serunya keras.

“USIR CHIN KWE!” balas semua orang.

“Siapa Chin Kwe?” tanya prajurit Li, setengah berteriak, berusaha mengalahkan kebisingan di sekitarnya.

Zhuang Liwei teringat lagi penuturan orang dalam istana yang membisikinya.

“Penasihat Kaisar,” jawabnya singkat. Prajurit Li mengangguk-angguk, lalu kembali mengikuti sorak-sorai masyarakat.

Tak lama kemudian, saat semangat semua orang terbakar....

“USIR—” 

Sebuah anak panah menancap tepat di dada pemuda gagah itu! Zhuang Liwei, dan semua orang yang berada di barisan terdepan terperangah! Sedetik kemudian, Zhuang Liwei menaiki batu, dengan sigap menyanggah tubuh Si Pemuda yang mulai oleng ke belakang.

Teriakan-teriakan perlahan memudar lalu menghilang, senyap berganti derap kaki kuda. Semua orang menoleh, ternyata pasukan kerajaan datang! Zhuang Liwei melirik sekilas lalu kembali memusatkan perhatiannya pada pemuda malang itu. Entah apa yang hendak dikatakannya, mulutnya komat-kamit, bola matanya berputar ke atas. Cairan hangat merembes ke baju Zhuang Liwei. Darah!

“Bertahanlah!” bisik Zhuang Liwei.

Takdir Tian sudah diguratkan, Si Pemuda malang itu mengembuskan napasnya. Zhuang Liwei merebahkan mayat itu perlahan. Ia menghela napas, terasa berat.

“TITAH KAISAR! TANGKAP SELURUH PEMBERONTAK YANG MENGANCAM KESELAMATAN KAISAR DAN ISTANA!”

Belum sempat Zhuang Liwei berdiri, seorang komandan pasukan pembawa plakat Kaisar berdiri di hadapannya dengan angkuh. Beberapa orang prajurit lainnya menghampiri. Prajurit Li yang saat itu sedang bersembunyi di balik dinding, mulai gemetar. Kakinya terasa lunglai. Ia ingin membantu, tapi apa daya, kemampuannya cetek.

Zhuang Liwei tidak mampu berkata-kata, plakat Kaisar adalah kartu mati, harus dipatuhi. Semakin ia melawan, akan semakin susah kedudukannya.

“IKAT DIA!” Komandan memerintah anak buahnya. Tidak hanya Zhuang Liwei, banyak orang diringkus oleh prajurit Kaisar. Teriakan penuh semangat berganti dengan tangisan para wanita dan anak-anak.

Zhuang Liwei berjalan tegap, apa pun yang akan terjadi, ia sudah siap menghadapinya. Sekilas wajah anaknya terbayang.

Terik matahari siang itu menemani barisan tahanan Kaisar. Rakyat yang tidak ditangkap hanya mampu menatap sedih di pinggir jalan. Mereka tidak habis pikir, Kaisar yang mereka cintai mampu berbuat demikian terhadap Jenderal Yuefei dan teman-teman mereka hari ini.

***

Prajurit Li menatap Zhuang Feiying lesu setelah menceritakan kejadian di alun-alun kemarin, sedangkan wanita cantik itu menggertakkan gigi dan mengepalkan tangan erat. Wajahnya merona karena amarah, sesekali dahinya berkerut karena cemas.

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya prajurit Li.

“Tidak tahu...” jawab Zhuang Feiying. “Aku mau menghadap Kaisar sediri...” sambungnya.

“Jangan! Engkau malah akan terseret dalam masalah!”

“Daripada tidak melakukan apa-apa.”

“Kita bisa minta bantuan, mungkin...” kata prajurit Li.

“Siapa?”

Prajurit Li menggeleng, sesaat kesunyian membekam.

Bunyi langkah berat memasuki kedai membuat mereka menoleh serentak. Ternyata seorang pejabat istana, itu terlihat dari pakaiannya.

“Silakan masuk, Tuan,” sapa Zhuang Feiying.

“Di sini kedai milik Zhuang Liwei?” tanya orang itu.

“Be...nar...” jawab Zhuang Feiying, ragu. Mendadak jantungnya berdebar kencang. Jangan-jangan orang ini disuruh Kaisar untuk menangkap keluaga Zhuang Liwei?

Prajurit Li berkeringat dingin, berdiri mematung di belakang Zhuang Feiying.

“Ah, syukurlah, kebetulan saya lewat daerah sini. Bisa bertemu?”

Zhuang Feiying menatap orang itu, bingung.

“Anda siapakah?” tanya orang itu lagi.

“Saya...Zhuang Feiying, putrinya,” jawab Zhuang Feiying masih bertanya-tanya dalam hati. Orang itu mengangguk pelan, penuh wibawa.

“Oh, Zhuang Liwei pernah menyebut nama Anda.” Senyum tulus menghias wajahnya, membuat Zhuang Feiying juga tersenyum. Kekakuan mencair dengan cepat. Mata Zhuang Feiying mencari-cari ke depan kedainya, tidak ada prajurit Kaisar di sana. Berarti bukan tentang urusan ayahnya ditangkap.

“Boleh saya tahu nama Tuan?” tanya Zhuang Feiying sembari mempersilakan orang itu duduk. .

“Saya dari Hebei, Chen Changyi.”

***

Zhuang Feiying tepekur mendengar cerita pengalaman ayahnya selama dalam penjara, sementara tangannya penuh balutan tepung berwarna putih. Begitu banyak rakyat jelata dibui karena dianggap menentang Kaisar. Kini Kaisar lebih percaya kepada para penasihatnya hingga begitu mudahnya menjatuhkan vonis hukuman mati. Tetapi berkat kepercayaan yang berlebihan itu pula Kaisar percaya kepada Chen Changyi bahwa Zhuang Liwei bukan seorang pemberontak.

“Sekali lagi hamba mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepada Tuan Chen Changyi!” seru Zhuang Liwei.

Chen Changyi tersenyum, “women shi xiongdi, wulun he shi he de[6].”

Zhuang Liwei berdiri, membungkuk memberi hormat. Memang tidak ada salahnya berbuat kebajikan, karena kebaikan itu seperti bumerang, sekali dilempar akan kembali kepada si pelempar.

Chen Changyi tersenyum lebar.

“Tinggallah sebentar lagi di sini, Saudaraku, anak hamba yang tidak berguna ini sedang menyiapkan hidangan,” kata Zhuang Liwei yang dibalas lirikan tajam dan bibir dimonyongkan.

“Baiklah, tidak ada ruginya membuang waktu untuk hidangan yang pasti luar biasa.”

“Tuan Zhuang! Tuan! Gawat!” Prajurit Li terbirit-birit memasuki kedai.

“Ada apa???” tanya Zhuang Liwei seketika berdiri. Dua orang pengunjung kedai lainnya mendongak dan menatap heran.

“Jenderal Yuefei sudah dihukum mati...” kata prajurit Li. Selesai mengatakan itu, lututnya terasa lemas dan jatuh terduduk di lantai.

Chen Changyi dan Zhuang Liwei terbelalak! Zhuang Feiying berhenti membanting-banting adonan di atas meja, tangannya begitu lincah. Benar-benar berita yang tidak pernah disangka. Zhuang Liwei menarik lengan prajurit Li untuk berdiri.

“Saat ini kita semua harus berhati-hati dalam berbicara. Kaisar dikelilingi orang-orang yang hanya peduli pada diri mereka sendiri,” ucap Zhuang Liwei.

“Ini semua gara-gara penasihat Chin Kwe!” teriak Zhuang Feiying.

“Hush!” seru ayahnya.

Wajah cantik Zhuang Feiying merah padam, selain karena terbakar emosi, wajan berisi minyak sangat panas tepat berada di hadapannya. Bulir keringat terlihat samar di tengkuknya. Hawa panas membuat kulitnya memerah di sana. Tanda lahir tepat di leher kiri berwarna merah, sekilas berbentuk daun kini terlihat berkilap.

Dengan teriakan lebih lantang dia melempar adonan dempet itu ke dalam minyak mendidih.

“CAHKWE!!!”

Senyuman tipis samar terlihat, namun cukup menampakkan lesung pipi yang menambah kecantikannya. “Tidak boleh menyindir, huh?! Matilah kau! Suami istri pengkhianat, masuklah ke minyak panas!”  Zhuang Feiying mengambil dua adonan memanjang, menyatukan dua adonan itu lalu melemparnya ke dalam minyak panas. “CAHKWE[7]!!” serunya sangat kencang.

Asap mengepul tinggi, seolah hendak menembus ruang dan waktu. Tidak pernah disangka, buah amarahnya kali ini dikenang hingga ke masa mendatang.

 

*** TAMAT***

 

Catatan penulis :

Referensi : www.Tionghoa.info/jenderal yue fei

 

 

 

 

[1] Sekarang dikenal dengan nama HangZhou

[2] 1 Li = sekitar 500 meter

[3] Hidup sampai tua, belajar sampai tua.

[4] Ilmu silat meringankan tubuh.

[5] Nama provinsi di China Timur

[6] Kita akan menjadi saudara, kapanpun, dan di manapun.

[7] Cahkwe : cah artinya menggoreng, Kwe artinya nama penasihat (Chin Kwe)

Ikuti tulisan menarik Kristina Yovita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB