x

Iklan

Rokky Rivandy

Buruh Harian Lepas
Bergabung Sejak: 27 November 2021

Minggu, 28 November 2021 15:15 WIB

Baru Bisa Bilang: Aku


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lerik aspal dan karet ban serta seringai dari knalpot kuda besi yang kapan hari ngadat meminta sebotol minyak pelumas, belum lagi perawakannya terus-terusan nyindir minta diantar ke montir. Suaranya jadi agak sengau, tapi masa bodo, selama robot ini masih bisa mengantarku ke tempat kerja, aku tak mau merogoh kocek untuknya. Orang-orang harus paham ini! Mengeluarkan berlembar-lembar uang untuk sepeda-motor burik rasanya sulit, setiap kali ada niat ke bengkel selalu terdapat opsi lain yang lebih gawat.

Suara dari motorku yang khas memang mudah diidentifikasi. Magisnya tetanggaku ialah dapat membuat informasi dari hanya sebongkah deru mesin. Hanya karena motorku saja mereka bisa menebak banyak tentangku, sialnya banyak dugaan yang meleset, yang tidak aku sukai tentunya. Tapi aku tetap mengacungkan jempol terhadap usaha mereka yang benar, tanpa pernah sepatah katapun kami bercengkrama mereka bisa berkesimpulan, hebat bukan!

Sebagai lelaki yang menghabiskan masa-muda dalam rantauan di kota megapolitan; sebagai pelayan restoran di pagi hari dan kasir minimarket di sore hari. Sudah genap enam tahun aku bekerja di tempat yang sama tak membuat upah dan hidupku jadi layak. Di usia yang hampir masuk ke daftar pemecatan, dengan alasan usia produktif, aku masih menyewa indekos dengan perabotan seadanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melewati rutinitas hari demi hari tanpa merasakan keberangkatan dan kepulangan dengan sekumpulan perasaan yang dulu aku sebut rumah. Agaknya aku memiliki perasaan sentimentil lebih terhadap penyair-penyair imigran yang begitu aduhai mengaduk kata-kata tentang jarak pulang ke tanah kelahiran.

Apalagi dalam keadaan terhimpit saat pemilik indekos menagih sampai datang mengetuk pintu, puisi-puisi itu langsung terbersit di kepala dan diaktualisasi untuk meratapi nasib.

Gegap gempita kota, lampu beragam warna, hiburan terbaik dengan hal-hal serba baru setiap tahunnya. Kota yang tak lagi mengerti apa arti kemunculan dan tergelincirnya mentari. Kesibukan yang tak berkesudahan. Seseorang keracunan di tepi kota akan dikabarkan dalam satu layar dengan remaja yang mati bunuh diri, belum tuntas kita bertanya-tanya, ada kabar demonstrasi untuk pemakaian energi terbarukan yang sedang bentrok dengan aparat setempat. Kecepatan, rakus, keramaian berdarah dingin, kota yang nyaris membuat gila seluruh penduduknya.

“Hanya kanibal dan vampir saja yang bisa hidup dikota ini” dikutip dari salah satu puisi milik penyair termasyur kota ini yang namanya selalu tersebut disetiap kanon sastra. Setidaknya aku merupakan serigala tanpa taring yang hengkang dari kelompoknya. Atau lebih tepatnya saudara satu famili dari serigala yang bernasib didomestifikasi, yang mencoba menemukan naluri alaminya dengan mengembala kembali ke alam liar. Apa hasilnya? Hanya jadi mahluk pongah yang terus-terusan sekarat tapi tak kunjung mati.

***

Singgah di warung nasi kuning. Semua orang yang tak sengaja berpas-pasan denganku memasang mata sinis seolah tempurung kepalanya tak mampu lagi menyimpan pertanyaan. Buah bibir yang mampu menghubungkan satu-ke-satu yang lain makin gaspol akibat tersedianya ponsel canggih di genggaman. Suasana sekitar mampu membuat tubuhku yang bugar berubah lunglai sepagi ini. Walau menu sarapanku jadi tak memiliki rasa nikmat di setiap kunyahannya, tapi tetap tandas juga.

Tidak ada pencapaian terbaik lagi selain tepat waktu berada di tempat kerja. Posisi pekerjaan ini sedang berada diujung tanduk. Aku harus pintar-pintar menggoda hati atasan, memperlihatkan mesti umurku sudah tua aku masih sanggup layak anak muda.  Aku masih ingin bekerja guna orang-orang merasa dihormati, dibuat nyaman, dan merasa aman.  Aku sudah buta pada keramah-tamahan yang aku lakukan jujur atau tidak. Mungkin pada awal bekerja aku masih merasa menipu —karena standar kerja sebagai kasir di minimarket, tapi karena telah berselang lama, menipu atau tidaknya tak persis aku ketahui. Menghadapi ragam jenis manusia dengan selalu bersikap ramah tentu sudah ahli aku lakukan. Orang lain pun menurutku sama sepertiku, memiliki mekanisme pertahanan diri sejenis.

Banyak orang hebat berujar bahwa manusia selalu dihadapkan dengan pilihan. Tapi bagi manusia yang terlampaui mengutuki nasib dan meracau sengit pada apa yang sudah terlewati, karena aku orang tersebut, tidak demikian. Pilihan yang datang ke hadapanku telah mengalami pertarungan metafisik atas kondisi yang serba menghimpit, ada tapi tak signifikan, ada yang baik tapi tak bisa aku jangkau. Orang semacamku memang terlihat seperti butuh pusat penerangan batin. Padahal selama meme masih merebak di internet rasanya hidup bisa baik-baik saja. 

Bagaimana tidak, setiap enam bulan sekali semua pekerja diberangkatkan oleh perusahaan untuk mengisi kursi pertunjukan para pengusaha sukses. Yang membuka pidatonya dengan berucap “Cintailah dirimu sendiri”. Karena semua orang dipanggung itu menyandang gelar motivator, kepercayaanku kepada siapapun yang berbicara di pembesar suara agak stabil, otak ceteku semakin yakin bahwa memang semua orang hanya peduli pada dirinya masing-masing.

Tapi hanya kutipan pembuka itulah yang terngiang, selebihnya kepercayaanku selalu kembali goyah, motivator itu lebih mirip ahli agama sinting di jaman tuan-hamba yang menganjurkan: jika sang tuan menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.

Sudah lama aku tidak merasakan pahit yang getir atau bahagia yang menyalak menghiasi keseharianku. Entah sejak kapan kedua hal itu terasa hambar atau aku di buat bingung apakah keduanya pernah muncul lagi. Kau seperti segumpal daging yang mampu berjalan, kata seorang teman ketika dia mengajaku melipir sejenak ke warung kopi untuk menandaskan satu dua batang rokok seusai kerja. Aku selalu menyetujui. Setidaknya kawanku itu memiliki anjuran yang sedikit lebih baik ketimbang satu kawanku yang lain; yang selalu mengingatkan umurku hampir menginjak tiga puluhan dan baginya diriku hanya butuh seorang perempuan yang dapat dinikahi. Keduanya benar-benar kawan? Entahlah, aku dan mereka tak pernah punya waktu berbincang lebih dari satu jam. Mereka pasti sama sepertiku, setiap kali pulang bekerja, yang ada di benaknya adalah kasur yang nyaman untuk beristirahat.

Disetiap aktivitasku selalu ada sela-sela dimana aku mengingat kembali kenangan. Dan ketika libur kerja, aku dedikasikan seluruh waktuku untuk mengingat masa lalu. Biasanya dengan menumpak sepedamotor yang dipacu mengelilingi kota tanpa punya tujuan. Mengingat masa lalu bagiku bukan aktivitas membuang waktu. Bagiku ini merupakan cara mendatangkan bejibun rasa yang kompleks: sedih, malu, bahagia, sakit, dan berbagai rasa yang membuatku merasa hidup. Ini merupakan kesenanganku.

Begini, kau seroang diri di kota yang lambat-laun melahapmu, tidak ada yang merindukanmu barang sejenak, tidak ada urusan saudara sedarah dan warisan yang bisa kau perdebatkan. Singkatnya, aku telah dicoret dari ikatan keluarga. Aku menyembelih ayah kandungku karena aku baru menyadari bahwa dia seekor anjing. Sayangnya, ibuku tidak memberikan tanda luka kekepalaku, sampai aku minggat hingga kini. Kalimat terakhir dari bibirnya yang manis hanyalah “kau berani kembali lagi, kau akan pulang ketempat seharusnya… penjara!” pernyataan ini akan lebih menyeramkan lagi jika kau mendengarnya langsung dari logat hibridanya.

Pilihan buntu yang membuat aku harus meninggalkan pujaan hatiku yang tinggal di kampung halaman. Aku harus putus sekolah. Aku harus pergi tak tahu arah.

Di hari itu hidupku berakhir, karena hari-hari selanjutnya tak lain dari upayaku mengutuki kejadian itu. Membayangkan peruntungan kalo saja… seharusnya…dari masa lalu yang di modif-modif dikit, setiap kali ada kesempatan untuk melamun. Hal-hal yang telah dilahap waktu dipaksa menampakan diri dengan cara yang selalu aneh, penuh reduksi, gamang, kadang dibeberapa tempat terkesan gelap. Ada gairah yang terbatas yang secara dia ingin tapi dengan jelas dihadapannya terdapat seabrek kata tidak mungkin; dengan berani menelusur setiap lorong-lorong ingatan. Ruang dan waktu itu merekam bagaimana teko mengisi gelas dengan teh manis yang dimaksudkan untuk menghangatkan pagi, kemudian gairah itu berusaha keras mengingat sesosok wajah yang melambaikan tangan setelah bibir teras aku lewati sepuluh langkah. Setiap kali aku terbangun kenangan itu terasa baru saja kemarin terjadi.

Kau bisa mengacungkan jari tengahmu kearahnya, karena tak bisa ditampik, mengingat kenangan dapat merangsek dadamu dengan kepedihan yang diembannya. Tapi bagiku tak ada kemewahan lain daripadanya setelah apa yang pernah aku miliki secara berangsur menghilang. Ada yang pergi ke pemilik lain; ada yang pergi dengan mengantongi rasa dengki; ada yang terbuang di selokan nasib. Saking rapatnya peristiwa-peristiwa itu terjadi membuat ketahanan mental menghadapi sebuah perpisahan semakin lirih dan nyaring. Semakin kuat hatiku, tak ada yang bisa melukaiku, semakin aku butuh mengingat lagi masa lalu. Tapi untuk kau yang belum pernah merasakan bagaimana nakalnya sepi dan keseimbangan yang meresahkan, tolong simpan saja komentarmu, kenikmatanku akan kesendirian dapat melayangkan satu bogem untuk satu komentar.

Satu minggu yang lalu, aku dan motorku melaju seperti perahu tanpa dayung yang maju mengikuti angin. Hari itu aku mengingat seorang gadis yang pernah mengajaku mengikat janji setia sampai mati. Mengingat bibirnya yang seketika menebal ketika ia tersenyum, bulu matanya yang padat dan lentik, dan seluruh badannya yang ikut bergetar ketika ia tertawa. Aku mengingat setiap ucapannya yang penuh sihir. Kenangan itu begitu asik, saking asiknya aku tak sadar ada anak SD yang hendak menyebrang jalan, tak ada waktu untuk mengelak, motorku menyeruduknya sampai anak itu terpental ke selokan dengan kepala yang jatuh terlebih dahulu.

Kemarin lusa terdengar kabar bahwa anak itu telah sadarkan diri, tetapi mengalami kebutaan permanen dan amnesia disosiatif. Dengan cepat aku memutuskan mendonorkan mataku.

Besok operasinya akan dimulai. Hari ini segala-galanya akan jadi yang terakhir, jangan sampai meme hari ini terlewati. Kerja-pagi-pulang-sore berangkat ke rumah sakit. Cek tagar tren terkini di Twitter, ngintip akun-akun penyuplai meme andalan. Pulang kerumah lanjut memutar lagu-lagu Mupet dan tentu nomor andalan dari Morrisey: Heaven Know I’m Misarable Now. Membeli makanan dan minuman mahal, mengingat lagi masa lalu: kenangan ibu, bocah ingusan mengejar cinta, opor babi, dan anjing itu. 

Angin sedu-sedan merayap ke seluruh dinding. Aku coba halau dengan kepulan asap dari roko yang aku hisap. Sepetak kamar ini rupanya tetap memberi suasana limbung. Aku terka beberapa jam lagi keadaan masuk dalam puncaknya; menemui tujuan untuk kesedihannya sendiri. Aku mencoba tak terbuai olehnya dengan naik ke bubung dan memandang langit. Beberapa bintang memancarkan ketentram sejenak. Bagaimanapun, kamar indekos yang aku sewa adalah tempat teraman dan ternyaman yang aku punya, tak berselang lama aku kembali.

Tanpa terdengar rintik hujan, bingkai suasana yang ada membuatku merasa ganjil. Aktivitas mengingat kenangan jadi berantakan lantaran kecemasan esok hari juga muncul. Ini tak biasa. Aku meyakinkan diri bahwa ini bukan rasa takut akan kematian yang aku pilih di esok hari. Entah apa yang kini terasa, aku menebak lagi, mungkin begini rasanya tempo aku bayi baru keluar dari rahim ibuku jika sudah memiliki kesadaran penuh: kecemasan yang aneh dan kekagetan yang dahsyat. Aku pikir wajar airmataku menetes, setidaknya tidak meraung-raung seperti dulu. Mataku terpejam tapi pikiranku tidak sama sekali. Aku membuka mata untuk melihat jam dinding, ternyata sudah lima jam terlewati. 

 

 

Ikuti tulisan menarik Rokky Rivandy lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu