Ada jalan setapak hampir sama sekali tak pernah di lewati. Hanya ada rumput liar dan sepasang kunang-kunang di malam hari.
Keduanya saling beradu cahaya melengkapi gelapnya malam. Tanpa bulan dan bintang yang hadir walau hanya sekedar menyapa kegelapan.
Kurasa awan hitam sudah diatas kepala, Namun bentuk dan warnanya masih tertutup dengan gulita. Di tambah angin yang kemungkinan mengabarkan bahwa hujan akan segera turun tiba-tiba.
Perjalanan ini cukup mencekam, hati ini bergetar, nafas tersengal dan jantung berdegub kencangnya, Mataku bergeliat tajam memandangi ke segala arah. Suara jangkrik pun tak luput ikut memancing rasa ketakutan. Aku melaju dengan cepat, ranting dan duri ku lalap tanpa alas kaki.
Ahh. Aku kehilangan jejak sepasang kunang-kunang yang kulihat. Kemana? Kemana ia pergi? Ketiadaan cahaya membuatku berdiam diri melipatkan Kedua kaki di tangan ini.
Tak berapa lama syup kelopak mataku. Lalu tertutup rapat dan aku kaget mana kala ranting kecil jatuh tepat mengenai pundakku. Akal ku berujar “Baru lima atau sepuluh menit mungkin aku terlelap”. Mataku tertuju pada satu cahaya baru. Apakah itu fajar? Ah tidak mungkin.
Aku hanya tertidur sejenak. Yaahh. Ternyata itu benar-benar mentari pagi menjemputku dengan hati-hati. Hampir saja subuhku terlewat, Ku sucikan diri sembari berdoa kepada ilahi. Kulanjutkan perjalanan sembari menoleh kanan dan kiri. Tampak jelas mana arah yang akan menyelamatkan ku pada kesesatan satu malam ini.
Terima kasih, Kisah naluri.
Wahyu Kurniawan
Ikuti tulisan menarik Wahyu Kurniawan lainnya di sini.