x

Ilustrasi debat atau konsultasi. Gambar oleh Gerd Altmann dari Pixabay

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Kamis, 25 April 2024 06:10 WIB

Bahayanya Menafsirkan Kata Secara Harfiah

Tuhan mengajari kata-kata kepada Adam agar manusia mengenal batas. Dengan mengenal batas ia menyadari kemakhlukannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tuhan mengajari kata-kata kepada Adam agar manusia mengenal batas. Dengan mengenal batas ia menyadari kemakhlukannya. Sadar bahwa ia bukan Tuhan, sebab tuhan tidak memiliki batas-batas. Kata yang terdiri dari simbol-simbol berupa huruf itu adalah salah satu cara kita memahami bahasa. Tidak ada bahasa tanpa kata-kata. Dan fungsi utama dari sebuah kata adalah untuk membatasi. Namun, tidak berarti bahwa setiap kata harus ditafsirkan secara letterlijk-harfiah.

Kata-kata ada untuk membeda-bedakan. Tampak di mata kita kalau sesuatu yang berdaun hijau berbeda wujudnya dengan sesuatu yang berjalan dengan empat kaki atau dua kaki, selain manusia. Maka kita bedakan keduanya dengan kata "tumbuhan" dan "binatang". Karena tujuan utamanya adalah untuk membatasi dan membedakan, maka sifat terbatas itu juga menempel pada kata-kata. Buktinya sampai sekarang kata-kata tidak dapat mewakili bagaimana keadaan, situasi dan suasana saat kata-kata itu diucapkan. Penafsiran teks secara letterlijk tidak pernah dapat menampung konteks. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Patung Moai, Si Kepala Batu Secara Letterlijk

Kata "anjing" misalnya, tidak dapat ditafsirkan sama antara orang yang mengucapkannya sedang marah, sedang biasa saja, atau sedang bertanya. Maka para ahli bahasa mencoba mengakali dengan menciptakan tanda baca yang menyimbolkan intonasi. 'Anjing!', 'Anjing' dan 'Anjing?' memiliki 3 intonasi yang berbeda yaitu sedang marah, biasa saja, atau bertanya. Namun, tanda baca ini tidak dapat sepenuhnya menggambarkan konteks. 'Anjing!' (dengan tanda seru) yang mengisyaratkan kemarahan dapat dimaknai lain jika dituturkan dalam konteks sebagai berikut:

Dalam sebuah pameran lukisan, seseorang berkata kepada temannya: 'Anjing! keren banget.'

Kegagalan teks untuk menceritakan konteks ini juga dapat dilihat dalam berbagai riwayat mengenai nasihat Nabi Muhammad tentang apa amalan terbaik kita sebagai manusia. Dalam beberapa riwayat, ketika ditanya 'Apa amalan yang terbaik, ya Rasulullah?', beliau memberikan jawaban yang berbeda-beda. Di suatu riwayat beliau menjawab : shalat tepat waktu. Di lain riwayat jawabannya: melunasi hutang. Di riwayat lain lagi: berbakti kepada ibu.

Jika hanya dimaknai secara letterlijk, seolah-olah jawaban beliau ini tidak konsisten. Mana ada nabi yang tidak konsisten? Namun jika melihat konteksnya, kita akan mengerti.  Untuk orang yang malas ibadah amalan terbaiknya adalah shalat tepat waktu, orang yang memiliki hutang amalan terbaiknya adalah melunasinya dan orang yang kurang berbakti kepada ibunya, amalan terbaiknya adalah berbakti. Dalam konteks kita menemukan hal yang jauh lebih penting daripada teks: fakta bahwa bahwa amalan terbaik setiap orang itu berbeda-beda dan nabi memberikan nasihat terbaik untuk masing-masing sahabatnya, tergantung siapa yang bertanya.

Fakta bahwa ada kata-kata yang memiliki makna konotatif seperti 'bermulut tajam', 'kepala batu', dan 'buah bibir' juga membuat mustahil apabila setiap teks ditafsirkan secara letterlijk.

Dalam kaidah ilmu mantiq, cara membuat definisi adalah mencari genusnya terlebih dahulu dan menemukan ciri khusus pada dirinya yang tidak dimiliki oleh anggota genus selainnya. Misalnya, manusia. Manusia masuk ke dalam genus binatang dan ciri khusus yang membedakan manusia dengan anggota genus (binatang) selain dirinya adalah berpikir. Maka definisi manusia adalah 'al insan hayawanun natiq', binatang yang berpikir. Kurang lebih begitulah kaidah berpikir logis dari Al-Ghazali dalam membuat definisi. Namun, ini akan jadi masalah jika ditafsirkan secara letterlijk, sebab pengetahuan modern mengakui bahwa burung gagak adalah hewan yang juga berpikir.

Mengingat ketertarikannya pada pemikiran filsafat, mungkin Al-Ghazali menyerap kaidah pembuatan definisi ini dari Plato. Sebab, di masa lalu Plato pernah mendefinisikan manusia dengan cara yang hampir mirip. Definisi manusia menurut Plato adalah featherless bipeds, binatang tak berbulu (atau sedikit bulu) yang berjalan dengan kedua kaki. Meski kemudian definisi pernah diolok-olok oleh Diogenes.

Diogenes, seorang filsuf eksentrik penganut Mahzab Sinisme ini sengaja mencabut habis bulu seekor ayam dan melepaskannya dihadapan Plato sambil berteriak, "Lihatlah, Plato. Ada manusia!" sambil mengejar ayamnya. Plato tertawa sebab ia tahu kalau yang dilakukan Diogenes adalah mencela kelemahan definisi apabila kata-kata ditafsirkan secara letterlijk. Bahkan untuk menghormati Diogenes, Plato menyebutnya 'Sokrates yang Pemarah'. Sebab Diogenes memang sebijak Sokrates, gurunya Plato.

Penafsiran kata-kata secara letterlijk juga sangat berbahaya jika dihubungan dengan kehidupan politik, dimana kebohongan berselimut keindahan, dan kata-kata seringkali digunakan untuk menutupi pengkhianatan. Kisah ini dapat kita temui dalam kisah sejarah mengenai Timur Lenk. 

Timur Lenk, juga dikenal sebagai Timur si Pincang, adalah seorang penakluk dan penguasa Dinasti Timuriyyah keturunan Turki-Mongol dari wilayah Asia Tengah. Ia terkenal pada abad ke-14, terutama di Rusia Selatan dan Persia.

Dalam suatu ekspedisi militer, dia memimpin pasukannya dalam penaklukan kota Shivas. Kota ini terletak di wilayah Persia dan menjadi target strategis bagi Timur. Pertempuran sengit pun terjadi saat pasukan Timur mengepung dinding kota. Setelah 2 bulan dikepung, tembok kota Shivas akhirnya menunjukkan tanda-tanda menyerah. Melihat kesempatan ini, Timur mengirimkan surat kepada penguasa kota yang berisi: 'Buka gerbangmu. Aku berjanji tidak akan menumpahkan darah.' Melihat tanda-tanda kekalahan dan peluang damai dengan tentara Timur Lenk, penguasa kota akhirnya memerintahkan untuk membuka gerbang.

Apa yang terjadi? Timur Lenk memerintahkan agar pasukan kota Shivas ditangkap dan dikubur hidup-hidup di bawah tembok kota. Mereka dikurung dalam lubang tanah, dan tembok tersebut diruntuhkan di atas mereka. Ketika ditanya, Timur Lenk secara letterlijk menjawab, "Aku telah memenuhi janjiku untuk tidak menumpahkan darah."

Dari uraian diatas, saya menyimpulkan bahwa tidak semua kata dapat ditafsirkan secara letterlijk. Sebab penafsiran dengan metode seperti itu memiliki banyak sekali dampak negatif yang berbahaya. Untuk melihat sesuatu secara lebih utuh, kita harus melihat konteks, tidak hanya teksnya. Semakin luas dan dalam kita memaknai segala sesuatu, semakin apa adanya segala sesuatu itu di mata kita. Dengan cara ini kita tidak mudah ditipu oleh kata-kata, dalam bentuk bualan-bualan bohong, retorika rendahan maupun janji-janji palsu setiap rezim politik.

Tuhan yang bersemayam dalam keagungan dan kesunyian tidak memerlukan kata-kata. Ia melihat segala sesuatu dengan utuh, setiap dan seluruhnya, dari permulaan sampai masa berakhirnya. Orang yang melihat pohon dari ujung akar sampai ujung daun, tidak akan membutuhkan detil-detil mengenai 'apakah akarnya serabut atau tunggang?', 'apakah batangnya memiliki serat kayu atau tidak?', 'apakah daunnya hijau atau kuning?'. Tidak ada lagi pertanyaan atas bagian-bagian, sebab ia telah menyaksikan keseluruhan. Orang yang melihat hutan dengan utuh tidak membutuhkan kata 'pohon', 'air', 'hewan', 'rimbun dan lebat' dan sebagainya untuk menjelaskan. Yang telah menyaksikan semuanya, tidak memerlukan detil-detil.

Tapi kita sebagai makhluk, sesuai dengan sifat-sifat makhluk, merasa perlu untuk membuat definisi untuk membatasi. Definisi sendiri berasal kata bahasa latin 'de' yang berarti mengurangi, dan 'finite' yang berarti sesuatu yang terbatas. Maka definisi itu bukan ditujukan untuk meluaskan pengertian, tetapi mempersempitnya. Mengeksklusifkan sesuatu. Definisi itu digunakan untuk membeda-bedakan. Maka lahirlah kata-kata. Sejak itulah kita memasuki ilusi terbesar dalam sejarah peradaban manusia: ilusi keterpisahan. 

Padahal semakin membeda-bedakan, mengategorikan, dan memecah-mecah, maka semakin terperangkaplah kita pada ilusi tersebut. Semakin mencari kesamaan, mengeneralisasi, dan menyatukan, maka semakin kita dapat lolos darinya. Langit-bumi, baik-buruk, sedih-bahagia adalah hal yang berbeda namun mereka berpasangan dalam kesatuan. 

Maha Suci (Allah) yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka sendiri maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin: 36)

Ciri-ciri makhluk adalah berpasangan. Selama ia berpasangan: memiliki kesamaan atau dapat dibedakan satu dengan yang lainnya, maka ia adalah makhluk. Sebuah ciptaan yang diwujudkan oleh sang pencipta, Yang Wujud. Sedangkan wujud dari Yang Wujud itu sendiri unik. Tidak sama dengan segala sesuatu, sekaligus tidak dapat dibedakan dari segala sesuatu, dalam segala sesuatu. Dan mohon, kata-kata saya ini jangan diartikan secara letterlijk.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler