Belajar Menjadi Guru dari Sirat dan Gopel

Minggu, 5 Desember 2021 12:02 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
SIRAT ATAU GOPEL
Iklan

Sirat tidak baik didiamkan dalam waktu yang lama karena mudah basi. Sirat harus dipantau terus kematangannya. Demikian juga Gopel, jika dikonsumsi berlebih maka dapat membuat panas dalam. Saat makan, Sirat dan Gopel harus ditakar dengan baik untuk menjaga keseimbangan agar tidak menyakiti tubuh. Demikian perumpamaan Guru sebagai manusia dan profesional yang semestinya berjalan beriringan. Apabila profesi Guru adalah panggilan jiwa, maka dia tidak akan mudah "sakit". Guru tipe SIRAT adalah sosok ideal yang diharapkan lahir dari program Merdeka Belajar, namun Guru tipe GOPEL adalah sisi manusia dari Guru itu sendiri. GOPEL diperlukan untuk menimpali SIRAT agar berjalan dengan wajar. Tetapi harapan kita semua, Guru SIRAT lah yang akan lebih banyak dimunculkan di masa depan.

 BELAJAR MENJADI GURU DARI SIRAT DAN GOPEL

 

Sirat dan gopel merupakan dua jajanan tradisional khas daerah Karangasem, Bali. Sirat adalah nama untuk olahan yang dikukus, kemudian ditaburi gula aren cair. Gopel adalah nama untuk olahan yang digoreng, ditaburi gula aren yang dibuat mengering. Tidak banyak orang menyadari bahwa keduanya dapat dipandang sebagai wujud kemerdekaan. Mengapa demikian? Karena dengan bahan yang sama, pemanis yang sama, orang dapat memilih sensasi yang berbeda. Mau yang basah ataupun kering, mau yang dikukus ataupun digoreng, sesuai selera saja. Itulah prinsip dasar dari konsep merdeka. Merdeka adalah kebebasan. Suatu kondisi yang kita nikmati dengan hati. Merdeka identik dengan kenyamanan dan kebahagiaan. Sama seperti kesempatan untuk menikmati makanan, merdeka adalah kebutuhan semua orang di dunia.

Dalam dunia pendidikan Indonesia, prinsip kemerdekaan itu sudah diperkenalkan oleh Ki Hadjar Dewantara melalui istilah sistem among, yakni melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitasnya (Dwiarso dalam Jurnal Filsafat Indonesia, Vol 3 No 3 Tahun 2020). Beliau memandang pendidikan sebagai pendorong bagi perkembangan siswa, yaitu pendidikan mengajarkan untuk mencapai perubahan dan kebermanfaatan bagi lingkungan sekitar.  Jadi konsep merdeka belajar ini sudah ada sejak zaman dahulu, namun implementasinya yang nyata baru bergema kini. Kemerdekaan belajar ini akhirnya seperti hujan di sasih kapat*. Perasaan yang sama disaat kita memandang langit Jakarta ketika pandemi.

Sebuah kabar bahagia saat program Merdeka Belajar direalisasikan oleh Kemdikbudristek. Seperti pesan kerinduan terhadap kemilau masa silam. Episode pertama lahir di akhir tahun 2020, menyalakan sinyal kreativitas yang sarat kualitas. Sudah saatnya merubah pendidikan menjadi wadah dan bukan sekadar pemenuhan target. Rancangan pembelajaran bukan lagi terfokus pada setumpukan rumus ataupun sekumpulan bab yang dijejalkan kepada peserta didik. Peserta didik bukan mesin yang diatur hanya untuk kelulusan ujian. Kelas merdeka ini diselenggarakan untuk menjadi wadah pengembangan potensi dan penanaman karakter.

Menurut Menteri Pendidikan Riset dan Teknologi, Nadiem Makarim, terdapat delapan prioritas dalam program Merdeka Belajar ini. Prioritas prestasi dan penguatan karakter serta digitalisasi sekolah,  kami sambut sebagai ruang untuk berinovasi. Para Guru mulai gencar mempelajari teknologi pendukung pembelajaran yang menarik. Aplikasi seperti zoom, g-meet, classroom, kinemaster dan lainnya, bukan lagi semacam alien. Semua kami pelajari demi membuat peserta didik memperoleh pengalaman terbaik di bangku sekolah. Peserta didik mendapat cukup tempat untuk menikmati, berekspresi, berkolaborasi, berkomunikasi, serta mengembangkan level berpikir.

Mengenai level kemerdekaan di sekolah, sejatinya tidak banyak perbedaan dengan level kemerdekaan dari Sirat ataupun Gopel pada cerita sebelumnya. Hal ini dikarenakan keduanya memberikan pilihan dan menyediakan kebebasan. Hanya saja, pada kemerdekaan belajar kebebasan bukan sesuatu yang dijalankan semaunya. Kebebasan disini dijalankan tetap mematuhi etika dan bukan selera. Untuk mempermudah memahami hubungannya, kita akan menciptakan dua tipe Guru sebagai analogi yaitu Sirat dan Gopel. Keduanya lahir sebagai hasil perkawinan antara program Merdeka Belajar dengan tantangan pandemi Covid-19. Bagaimanakah Guru yang masuk kategori Guru tipe SIRAT dan siapakah yang disebut Guru tipe GOPEL ?

Guru tipe SIRAT. SIRAT dalam hal ini merupakan sebuah akronim dari Solusi, Bicara, dan Giat. Sebagai nama dari makanan, sirat memiliki karakter yang mudah basi. Sirat harus dipantau kematangannya setiap saat. Dalam kbbi.lektur.id, kata Sirat juga dapat berarti jembatan. Sebuah penghubung menuju jalan kemerdekaan yang benar. Guru tipe SIRAT adalah Guru yang berfokus pada solusi. Mencari cara untuk menyelesaikan masalah dan bukan mencari anak mana yang salah. Sang Guru akan mengajak peserta didik untuk bicara dari hati ke hati dalam menyelesaikan suatu persoalan. Guru memberi ruang pada peserta didik untuk berpendapat dan mengekspresikan diri. Guru SIRAT memiliki pemikiran terbuka bahwa setiap persoalan dapat diselesaikan dengan berbagai bentuk solusi. Guru bukan pasal 1 yang selalu benar. Guru akan giat mencoba berbagai metoda, mengembangkan berbagai model, dan mengikuti berbagai pengembangan diri untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pembelajaran dirancang untuk memotivasi peserta didik menggali berbagai sumber belajar dan menjadi lebih kreatif.

Guru tipe GOPEL. GOPEL dalam hal ini merupakan sebuah akronim dari Galak, Oper tugas, dan Lesu. Sebagai makanan, faktanya Gopel lebih banyak dipilih. Namun gopel tidak boleh banyak dikonsumsi karena dapat  menyebabkan panas dalam. Kata Gopel ternyata juga ada dalam bahasa Sanskerta yang berarti sama dengan rompes atau cuwil, yaitu terdapat bagian yang rompak sedikit di bagian tepinya. Ini melambangkan sesuatu yang belum sempurna. Guru tipe GOPEL banyak lahir sebagai akibat dari learning loss ciptaan fully daring. Kemerdekaan yang dimanfaatkan dengan drama membuat Guru tipe ini terpaksa hadir. Beberapa “oknum” peserta didik terkadang memanfaatkan situasi pandemi untuk tidak memenuhi kewajibannya. Karena kasih sayang yang luar biasa, kepedulian akan masa depan mereka, maka kegalakan itu muncul. Sesekali harus tarik napas panjang saat mendapat respon yang menggemaskan dari peserta didik maupun orang tua. Beberapa Guru bahkan harus oper tugas, meminta uluran tangan Guru lain yang lebih “kuat”. Bagi pemikir positif, ini dapat dimaknai sebagai kolaborasi. Namun, beberapa dari kami juga mengalami kelesuan. Lesu yang muncul akibat respon yang sama dalam waktu berkepanjangan. Memang ada juga yang memiliki kelesuan alami yang sudah mendarah daging. Guru tipe ini memerlukan motivasi untuk beranjak dari zona nyaman.

Lalu, apakah Guru tipe SIRAT berarti baik dan Guru tipe GOPEL adalah buruk ? Maaf, ini bukan soal hitam dan putih. Kedua tipe ini ada dalam diri Guru itu sendiri. Guru SIRAT acapkali berubah menjadi GOPEL dan GOPEL juga bisa menjadi SIRAT. Di kelas dengan anak-anak kurang fasilitas, Guru harus fokus pada pendekatan dengan anak, strategi untuk membuat mereka tertarik dan tetap bersemangat belajar. Tak jarang Guru harus menyusuri gunung dan melawan hujan badai untuk bertemu dengan peserta didik yang “menghilang”. Sementara itu, di kelas dengan anak-anak berfasilitas serba lengkap, Guru harus fokus pada pengembangan diri, pengembangan metoda yang kekinian agar dapat sefrekuensi dengan peserta didik. Tak jarang Guru menangis karena kesulitan mengikuti perkembangan teknologi. Darisini dapat disimpulkan bahwa keduanya memiliki tantangan yang sama serunya. Kehadiran Guru tipe SIRAT diupayakan menguat, tetapi Guru tipe GOPEL wajar saja muncul.

Guru tipe SIRAT adalah sosok ideal yang diharapkan lahir dari program Merdeka Belajar, namun Guru tipe GOPEL adalah sisi manusia dari Guru itu sendiri. Secara manusiawi, GOPEL diperlukan untuk menimpali SIRAT agar berjalan dengan wajar. Namun, Seperti pendapat Robert Frost, pendidikan adalah kemampuan untuk mendengarkan semua hal tanpa kehilangan kesabaran atau kepercayaan diri. Untuk itu GOPEL jangan sampai lebih sering terjadi. Sama halnya pengalaman memakan jajan, apabila Gopel dikonsumsi berlebihan, maka Guru akan “jatuh sakit”. Sebaliknya, sirat juga dapat membuat "sakit" apabila tidak dipantau terus kematangannya. Penyakit ini tidak mudah disembuhkan dan sulit ditinggalkan. 

Pada intinya, Sirat dan Gopel harus ditakar dengan baik untuk menjaga keseimbangan. Guru sebagai manusia maupun sebagai profesional semestinya dapat berjalan beriringan. Ketika profesi Guru memang merupakan panggilan hati, maka Guru sewajarnya tidak akan mudah “sakit”. Tentu saja harapan kita semua, Guru SIRAT lah yang akan lebih banyak dimunculkan di masa depan. GOPEL perlu membantu SIRAT agar lebih kuat eksistensinya. Terlebih di era ini, tidak ada waktu mempertentangkan siapa SIRAT dan siapa GOPEL. Saat ini, karakter peserta didik benar-benar sedang dipertaruhkan akibat pandemi. Semangat juang untuk bersekolah terus dikikis. Mereka sedang dalam tahap krisis. Oleh karenanya, semangat para Guru! Merdeka Belajar adalah kunci generasi untuk bangkit dan bukan malah mapamit*.  

 

*) sasih kapat = bulan keempat dalam hitungan kalender Bali, bulan yang ditandai dengan musim panas. *) mapamit = undur diri, menyerah, yang dimaksud adalah putus sekolah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bagikan Artikel Ini
img-content
Laraz Kinee

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Belajar Menjadi Guru dari Sirat dan Gopel

Minggu, 5 Desember 2021 12:02 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler