Dosen pada Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd Flores_Nusa Tenggara Timur.\xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd\xd \xd\xd\xd\xd\xd\xd Alumni Doktoral Prodi Studi Islam Kajian Dialog Antar Iman di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Ritual Pendidikan, Ketimpangan Digital dan Belajar Kontekstual
5 jam lalu
Anak-anak Solor belajar di antara nisan demi masa depan, menantang sistem pendidikan yang belum mampu mendengar suara dari pinggiran.
Oleh: Anselmus DW Atasoge_Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende
Di sebuah pemakaman umum di Solor Barat, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, anak-anak Sekolah Dasar mengikuti ujian nasional berbasis komputer. Mereka duduk bersila di antara nisan, menatap layar laptop, karena sinyal internet tak menjangkau ruang kelas mereka.
Pemandangan ini bukan sekadar potret keterbatasan infrastruktur, melainkan simbol keberanian dan ketekunan belajar dalam kondisi yang tak lazim. Dalam terang teologi pendidikan, peristiwa ini mengundang refleksi mendalam tentang martabat manusia, keadilan struktural, dan spiritualitas belajar.
Ivan Illich (1971), dalam karya monumentalnya Deschooling Society, menggugat sistem pendidikan formal yang terlalu terpaku pada institusi, kurikulum, dan sertifikasi. Ia membayangkan proses belajar yang tumbuh dari relasi, pengalaman, dan kebutuhan nyata. Anak-anak Solor, dengan tubuh mungil dan tekad besar, telah mewujudkan gagasan tersebut secara konkret, meski sistem belum mampu mengakui keberanian mereka. Dalam perspektif pastoral, mereka adalah saksi iman yang belajar di tengah keterbatasan, menjadikan ruang kematian sebagai tempat pertumbuhan harapan.
Perbedaan antara anak-anak di kota besar yang mengerjakan ujian di ruang ber-AC dan anak-anak Solor yang berjuang di bawah langit terbuka menunjukkan adanya ritualisasi pendidikan yang seragam dan terpusat. Padahal, pendidikan sejatinya adalah proses yang hidup, kontekstual, dan berakar pada realitas lokal (Freire, 2005). Ketika sistem terlalu menekankan keseragaman, ia berisiko mengabaikan martabat dan potensi manusia yang tumbuh dalam keberagaman geografis dan sosial.
Data terbaru menunjukkan bahwa 55 Sekolah Dasar di Flores Timur masih berada dalam kawasan blankspot internet (Pikiran Rakyat Flotim, 2025). Ketiadaan akses digital ini bukan sekadar masalah teknis, melainkan cermin dari ketimpangan struktural yang masih mengakar. Ketika wacana nasional mulai mengarah pada kecerdasan buatan dan digitalisasi kurikulum, anak-anak di wilayah terpencil masih bergulat dengan papan tulis dan buku usang. Ketimpangan ini menuntut respons yang lebih dari sekadar pembangunan infrastruktur; ia menuntut perubahan paradigma yang berakar pada keadilan sosial dan solidaritas pastoral.
Flores Timur memang memiliki tantangan geografis yang kompleks—pulau-pulau kecil, desa terpencil, dan topografi yang sulit dijangkau. Namun, tantangan ini tidak boleh menjadi dalih stagnasi. Sebaliknya, ia menuntut pendekatan inovatif seperti pemanfaatan internet satelit, BTS berbasis komunitas, dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah pusat, daerah, operator telekomunikasi, dan masyarakat sipil perlu membangun sinergi untuk menjembatani kesenjangan ini. Pendidikan adalah hak universal, bukan privilese geografis (UNESCO, 2021).
Dalam jangka pendek, solusi berbasis komunitas menjadi langkah yang paling dekat dan mungkin. Flores Timur memiliki kekuatan sosial yang tinggi. Pendekatan partisipatif seperti sekolah digital mandiri, jaringan Wi-Fi desa, atau relawan teknologi dapat menjadi jembatan sementara sambil menunggu pembangunan besar. Anak-anak tidak boleh menunggu sinyal untuk membangun mimpi-mimpi mereka. Dalam terang teologi pembebasan, pendidikan harus menjadi ruang emansipasi, bukan dominasi (Gutierrez, 1988).
Jika Ivan Illich menyaksikan kisah dari Pulau Solor ini, barangkali ia akan tersenyum getir. Anak-anak Solor telah belajar lebih dalam daripada yang bisa diukur oleh ujian. Mereka telah menunjukkan bahwa belajar bisa tumbuh di mana saja, asal ada kemauan, komunitas, dan harapan. Tugas kita bukan hanya membangun menara sinyal, tetapi membangun sistem pendidikan yang memahami, menghormati, dan menemani setiap anak di mana pun mereka tumbuh.

Penulis Indonesiana
2 Pengikut

Rekonsiliasi Ingatan Bangsa
2 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler