x

Ilustrasi Pigura. Pixabayy

Iklan

Rahmasiwi Utami

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Minggu, 5 Desember 2021 12:56 WIB

Lukisan

Entahlah mana yang lebih menyakitkan. Hidup ataukah mati.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rambatan cahaya dari jendela kamarnya yang berada di lantai 10, apartemen kelas menengah di daerah ibukota itu memberikan pencahayaan remang-remang terhadap lukisannya yang masih basah diantara kegelapan yang dibuat oleh sang malam.

Luna, selalu lebih memilih ditemani oleh cahaya rembulan dibandingkan oleh matahari.  Menurutnya matahari bersinar terlalu terang, dengan angkuh bertengger di langit, menyudutkan eksistensi Luna yang gerawan. Sedangkan bersama rembulan, ia dengan leluasa dapat berbaur, berteman dengan sinar rembulan yang lembut. Mungkin juga karena nama Luna yang memiliki arti rembulan, menciptakaan kesan sebagaai bagian dari diri Luna yang menemani di malam gelap.

Luna menatap lukisannya yang tampak berkilauan karena catnya yang masih basah, baru saja ia tambahkan beberapa duri tajam diantara tumbuhan merambat yang menyelimuti potret seorang lelaki cantik dengan rambut pirang keemasan yang duduk bersedekap di antara tumbuhan melingkar yang mengelilingi

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lelaki itu tampak sedih, walaupun hanya lukisan, tetapi sorot matanya pilu.

“Apakah harus kutambahkan sedikit darah? Sama seperti darah yang baru aku dapatkan hari ini?” tanya Luna pada dirinya sendiri.

Ia menatap lurus ke pergelangan tangan kanannya, yang ia gunakan untuk memegang kuas cat, dibalut perban yang dipasang dengan asal, masih menyisakan noda darah yang menembus.

“Apakah aku menyakitimu?” tanya Luna lagi sambil menatap lurus kearah si lelaki di lukisan itu.

Lelaki itu bergeming. “Apakah kamu bisa merasakan sakit yang aku salurkan? Kau tahu kan kalau kuas yang menciptakanmu selalu terkena tetesan darah milikku? Kau tercipta dari rasa sakit yang aku rasakan.” Selepas berbicara seperti itu, kedua bibir kecilnya membentuk lengkungan, menciptakan senyuman kecil yang lemah.

Senyuman itu diberikan seolah lelaki itu adalah teman baiknya, seperti saudara yang begitu dekat, menyatu sebagaimana darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Luna mengelus pipi si lelaki dengan lembut.

Luna menghela nafasnya, menghirup oksigen yang bercampur dengan aroma cat basah. Matanya berkilauan ditimpa sinar rembulan, terlihat berkaca-kaca, tapi tidak mengeluarkan air mata. Lagi-lagi teringat akan sebuah kisah menyedihkan yang melekat di otaknya. Tidak bisa hilang, sekalipun ia berusaha menghapusnya, bahkan thinner yang ampuh digunakan untuk menghapus lukisannya tidak membuahkan hasil apa-apa.

Luna melangkah menuju nakas yang ada di sebelah ranjangnya, mengambil sebuah buku berukuran 29x30 cm, dengan sampul tebal berwaran merah gelap. Walaupun diletakkan di tempat yang mudah diambil, tapi terlihat jelas bahwa buku itu tidak pernah dibuka oleh pemiliknya, atau setidaknya orang yang memasuki kamar itu. Jika ada.

Lembar pertama berisi gambar yang dibuat oleh anak kecil, terlihat dari gambar tiga orang yang dapat diasumsikan sebagai potret satu keluarga yang berisikan ayah, ibu dan seorang anak kecil dengan dua kuncir rambut yang tinggi. Terdapat label nama di bawah gambar tersebut; Ayah, Ibu dan Luna.

Betul, itu adalah album foto keluarga Luna.

Lembar berikutnya adalah potret pernikahan ayah dan ibu Luna, terlihat dua pengantin tampan dan cantik yang saling bersanding di kursi pelaminan. Menatap kamera dengan senyum merekah, pasangan bahagia yang akan menarik perasaan bahagaia bagi siapapun yang melihatnya. Luna ingat, dulu pernah bertanya kepada ayah kenapa ia tidak ada di dalam foto itu? Kenapa Luna tidak diajak? Jawaban Ayah, karena Luna waktu itu masih tertidur pulas dan sedang diasuh oleh alam semesta, Ayah bilang, Luna sedang menunggu waktu yang tepat untuk bangun dan bertemu dengan ayah dan ibu.

Lembar berikutnya kebanyakan berisikan tentang potret diri Luna yang masih kecil, dari potret dirinya dengan pipi gembul berwarna kemerahan dan mata yang belum terbuka sampai dengan Luna kecil yang tertawa bahagia dengan memegang sebuah piala kecil dan lukisan indah di masing-masing tangannya ditemani oleh ayah dan ibu di sisi kanan dan kiri Luna. Terpancar kebahagiaan dari keluarga kecil yang bahagia itu.

Hingga, tibalah di lembar berikutnya yang tidak berisikan foto, melainkan sebuah tulisan pendek yang ditulis dengan tidak beraturan. Masih terlihat seperti tulisan seorang anak kecil, goresannya tidak teratur, bentuknya pun berantakan.

Luna harus menjadi perempuan kuat.

Luna harus menjadi perempuan hebat seperti ibu.

Luna tidak boleh menangis.

Luna hanya boleh menangis dalam pelukan ayah.

Lembar berikutnya kosong, tidak terjamah sama sekali, bahkan warnanya masih tetap berwarna putih bersih, sekalipun buku itu terlihat sudah sangat lama.

Tulisan itu, membawa Luna kepada tahun-tahun terakhir ia ditinggalkan oleh ibu ketika masih kecil, permulaan dari kehidupan suram Luna yang terus ia jalani sampai hari ini, awal dari hancurnya hati ayah yang sangat dicintainya perlahan-lahan kehilangan jiwanya, kehilangan semangat hidupnya.

Hari itu, pusat kehidupan Luna telah pergi.

Ayah yang dirundung pilu, mulai melakukan tindakan kasar kepada Luna, ia bersikap normal di siang hari layaknya kepala rumah tangga yang tegar dan bertanggung jawab, kemudian menjadi monster di malam hari. Seperti memiliki kepribadian ganda, dan Luna, gadis kecil malang itu menjadi korban dari kehancuran sang ayah.

Luna tumbuh, tepat seperti pesan ayah dulu ketika ibu dimakamkan, bahwa Luna harus menjadi perempuan kuat, tidak boleh menangis, hanya boleh menangis di pelukan ayahnya. Tidak pernah ia sekalipun mengeluarkan air mata, pun ketika ada debu yang masuk melalui hembungan angin, ia hanya mengusapnya kasar menggunakan saputangan dan membiarkan sclera matanya memerah. Tidak pernah film sedih di bioskop atau kematian orang lain menembus dinding di hatinya yang sudah mengeras perlahan-lahan.

Tidak pernah ada yang menemaninya selain lukisan-lukisan buatannya, yang kemudian satu persatu juga pergi dibeli orang. Tidak pernah ada sesuatu yang kekal yang menemaninya, tidak ada penyokong air di hatinya yang sekering padang pasir.

Pun, ayah.

Ayah yang dicintainya, satu-satunya yang bernyawa dihidupnya ikut pergi, tepat satu jam yang lalu ketika Luna baru bangun dari tidurnya. Mendapatkan pesan dari rumah sakit melalui ponsel ayah bahwa ayahnya telah meninggal dalam kecelakaan mobil.

***

Luna mengembalikan album foto keluarganya di nakas, wajahnya menengadah keatas, menahan air mata yang sudah bertahun-tahun tidak dikeluarkan. Menunggu-nunggu waktu, ketika ayah sudah melunak hatinya, membiarkan Luna mengeluarkan semua rasa sakitnya melalui air mata di pelukan sang ayah.

Sekarang, ayah sudah pergi.

Di pelukan siapa ia harus menumpahkan air matanya?

Terdengar helaan nafas yang berat, tapi sebentar! Itu bukan berasal dari Luna. Dengan cepat Luna berbalik, mencari sumber suara itu.

Entah darimana, muncul seorang anak lelaki berkulit putih pucat, rambutnya berwarna pirang keemasan, terlihat berantakan tapi juga terlihat cocok di kulitnya yang halus. Ia menggunakan kaos putih panjang yang sedikit kebesaran. Lelaki itu menunduk, menangkup kedua kakinya di depan dada.

Terlihat tidak asing.

Terlihat seperti lukisan yang belakangan selalu dijadikan curahan rasa sakit Luna.

Luna tercengang, apakah artinya lukisannya telah hidup?

“Kau siapa?” tanya Luna dengan suara parau, tidak beranjak satu langkahpun dari tempatnya berdiri. Masih terlalu takut untuk mendekati lelaki itu.

Si lelaki mengangkat wajahnya, terlihat fitur wajah yang sangat dikenalnya, wajah si lelaki cantik yang ia lukis, lelaki cantik yang ia jadikan manifestasi atas rasa sedih dan rasa sakit hatinya. Perwujudan air mata yang tidak bisa ia keluarkan, saksi atas mengalirnya bulir bulir darah yang terus jatuh tatkala Luna mengiris pergelangan tangannya.

Si lelaki begitu tampan, pria paling tampan yang pernah Luna lihat, bola matanya berkilauan seperti permata bening berwarna biru, bulu mata lentik, fitur hidung paling indah yang ada di wajah manusia manapun serta bibir tipisnya yang memukau.

Ia tersenyum sambil menatap lurus kearah Luna, kendati demikian matanya masih menyorotkan kekosongan. Sebuah hasil karya yang indah sekaligus menyakitkan.

“Aku adalah lelaki yang kau lukis, yang selalu menenamimu tiap malam,” jawabnya dengan suara selembut sutra.

“Bagaimana bisa kau hidup?”

“Aku menjawab keinginan terdalam hatimu. Kemarilah, kau bisa sepuaskan mengeluarkan airmatamu di pelukanku,” ujarnya sambil merentangkan kedua lengannya, masih dengan senyuman indah dan mata besar yang kosong.

Luna ragu, tapi kakinya memilih untuk melangkah mengikuti perkataan lelaki itu. Hati kecilnya tidak sadar, ia ingin mengeluarkan penat secepat mungkin. Satu langkah, dua langkah, langkah ketiga ia berlari menghambur ke pelukan si lelaki dengan cepat.

Airmatanya berhamburan, keluar tanpa ada yang menghalangi. Tangan lembut lelaki itu mengusap rambut lurus Luna, kemudian menenangkan punggung Luna yang bergetar.

“Kenapa hidup rasanya sesakit ini? Sakit sekali, rasanya seperti otakku terus menggerogoti organ tubuhnya, hatiku rasanya seperti dicabik-cabik, kenapa?”

“Kamu tahu berapa lama aku menahan-nahan semuanya? Kamu tahu rasa sakitnya punggungku tiap ayah mulai mengeluarkan sabuk, kamu tahu rasa sakitnya tiap ayah mulai menjambak rambutku?”

“Dari semua itu, tau apa yang paling menyakitkan? ayah terus terusan menyalahkan aku atas kematian ibu. Aku tahu dia butuh pelampiasan, tapi apa aku layak untuk disalahkan? Memang apa salahku? Dia kira aku dokter untuk menyembuhkan rasa sakitnya?”

“Aku tidak sekuat itu”

Suaranya bergetar, kakinya lemas tapi tidak melepaskan pelukan si lelaki .

“Kau mau menghentikan rasa sakitmu? Aku bisa menghentikan rasa sakitmu, rembulanku”

Luna mendongak, menatap wajah si lelaki. Mengangguk menyetujui tawaran dari si lelaki.

“Uhuk”

Tiba-tiba keluar darah segar dari perut Luna, tanpa Luna sadari. Tapi entah kenapa, rasanya mati, tidak ada rasa sakit yang keluar bersamaan dengan cucuran darah yang tidak kunjung berhenti.

“Dengan ini, rasa sakitmu akan hilang,” ucapnya dengan senyuman hangat, bola mata kosongnya menghandirkan sebuah warna hangat di ujung sana.

Luna ikut tersenyum, dan perlahan tubuhnya merosot, mengucurkan darah deras dari perutnya, tanpa perlawanan seolah memang inilah yang Luna inginkan.

***

“Anak malang, sepertinya hidup jauh lebih berat daripada mati,” ujar salah seorang polisi yang menangani kasus bunuh diri seorang perempuan muda di apartemen lantai 10.

Diduga, perempuan itu depresi akan hidupnya dan memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri menggunakan pisau dapur yang masih baru. Lukisan seorang lelaki cantik di depannya terkena percikan darah, mengubah rambut pirang miliknya menjadi merah.

Akhir dari perlawanan seorang perempuan beranama Luna melawan hidup.

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Rahmasiwi Utami lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu