x

Iklan

Habibah Salsabilla

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 10 November 2021

Rabu, 8 Desember 2021 10:40 WIB

Rumput Sendu

Ini adalah sepenggal kisah tentang bagaimana Queeny Sundrea bertahan atas kehidupan yang begitu keras. masalah datang ketika Romeo Axelson, orang satu-satunya yang menaburkan benih kebahagiaan bagi Rea.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

RUMPUT SENDU

        Hamparan karpet hijau alam terbentang luas seisi wilayah. Dandelion bermekaran menari nari mengikuti lantunan angin, sibuk menabur benih harap-harap tak akan punah. Daisy merambat memenuhi sekeliling padang hijau, menambah estetika tersendiri sungguh memanjakan mata. Ditengahnya terdapat pohon beringin besar yang tumbuh mungkin ribuan tahun lalu, ntahlah tak ada seorangpun yang mengetahuinya. Ia berdiri kokoh berhias untaian rotan yang terlilit dijadikan ayunan. Penghuni sekitar kerap menyebutnya rumput sendu.

                 Tetesan embun pagi menerpa telapak tangan seiring empunya berjalan menyusuri rerumputan, mendorong rodanya sesekali kesulitan dikarenakan gundukan batu. Kain putih tulang dengan renda disekitar dada membalut indah tubuh sang belia. Juntaian rambut panjang lurus namun sedikit memerah sengaja ia kepang menambah kesan elok baginya. Namun sayang kesempurnaan rumput sendu hanya gelaran hitam pekat baginya. Gelap menyelimuti tiada henti, hanya ada setitik cerah yang membawa pelangi untuknya. Queeny Sunndrea, ia terlahir indah namun setiap harinya berbalut hitam. Satu alasan ia tak ingin pergi, keberadaan seseorang pengganti jutaan manusia dari luasnya antero. Keberadaan Romeo Axelson menarik kuat datangnya surya dengan pelanginya. Pria berbalut stelan rumahan namun tak mengurangi kaadar ketampanannya itu berdiri kokoh senantiasa mendorong roda-roda Rea. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“ Queen sekarang kita lagi di rumput sendu.” Lapor Axel kepada Rea diselingi senyuman indah

“Queen mau naik ayunan Meo! Ayo antar Queen naik ayunan!” pinta Rea kepada Axel antusias.

                   Sematan tak biasa terucap oleh sesiapa diterapkan penanda sayang untuk mereka. Axel yang berharap menjadi King bagi Queennya dengan Rea mendambakan Romeo menemani Julietnya. Pertemuan kemudian berangsur menjadi sahabat telah terjalin sedari belia, tanpa sadar mengikat janji yang ntah bagaimana tampak astral keduanya sama-sama tidak menjamin ke realitasannnya. Ditengah pancaran senyuman, hatinya gundah kala memutar kembali memori semalam.

“Axel, bulan depan kamu sudah memasuki delpan belas tahun. Kamu ingat akan ada apa dengan hari itu?” Pungkas ayah Axel yang tengah duduk diatas kursi kerjannya. Axel tersentak, ia menyadari betul apa yang akan terjadi.
“Axel ingat ayah, tapi bagaimana dengan Queen?” terpampang jelas raut khawatir didalamnya. Meninggalkan Queennya? Memikirkannya saja sudah membuat kepala Axel hampir pecah, bagaimana jika ia benar-benar menghilang?
“Dihadapan Queen Cuma ada gelap dan sunyi,Ayah.” Lanjutnya pilu.
“Ayah sudah memikirkan itu karena ayah tau kamu tidak akan suka rela pergi tanpa mengetahui kabar Rea. Tenang saja, gadis itu akan aman selama kamu pergi.”

Setetes air jatuh dari asalnya tanpa persetujuan sang empu. Sesak tertahan meluap pelan tanpa ringisan, Axel diam membisu tak menjawab lontaran kata Rea. Merasa janggal, Rea mengerutkan dahinya dengan alis tertekuk dan mata sendunya, perlahan ia meraba-raba sekitar mencari keberadaan Axel. Digenggamnya erat dengan usapan lembut menyertai.

“Meo kenapa? Kok diem? Kalau ada masalah cerita sama Queen,masih ada Queen.” Terkejut pelan, Axel menghempas kasar air mata yang menggenang, ditariknya senyum simpul meski ia tahu lawan bicaranya tak mempu melihatnya.

“Hah? Engga papa, jadi Queennya Romeo mau naik ayunan ngga nih?.” Tanya Axel berusaha mengalihkan asitensi Rea.

“mau!!! Ayo Romeo nanti dorong yang kenceng ya biar Queen terbang tinggi.” Berhasil, sesederhana itu membujuk Rea.

“Okey, kenceng tapi kita pulang atau pelan tapi kita tetep main? Semua keputusan ada di kamu Queen.” Sudah seperti tadisi temurun yang diwariskan keluarga Axel, semua dikaruniai kemampuan canggih dalam memberi opsi.

“Mulai, liciknya mulai yaudah pelan aja tapi tetep sama Romeo!!!.” Pipinya perlahan mengembang dengan bibir tertekuk sebal. Tangannya ia lipat pertanda emosi tengah memuncak. Axel yanng menyadari itu hanya terkikik geli.

Dengan telaten Axel mengangkat Rea hati-hati seolah tengah mengangkat guci mahal yang mudah rusak, mendudukkannya dalam pangkuan untaian rotan. Semilir angin berpadu dengan gesekan ranting menjadi musik penenang, mata lentik Rea ia pejamkan menkmati setiap inci usapan angin beriringan dengan ayunan yang mulai bergerak. Keduannya sama terdiam menikmati sentuhan setiap momen, menyimpan memori tersebut baik-baik dalam bagian hati. Tak melepas pandang bola mata Axel barang sedetikpun dari sosok belia yang tengah tersenyum gembira dihadapannya. Menikmati betapa indahnya lukisan tuhan yang terpatri dalam pesona Rea.

“Queen,” Rea mendongak ke atas meski tak nampak berusaha mencari sumber suara Axel.

“Hm?” Alis Rea terangkat sebelah.

“Mau janji sesuatu sama Meo?” alis Rea kembali terangkat penasaran apa yang ingin dikatakan Axel.

“Mau, janji apa?”

“Janji kalau salah satu dari kita pergi jauh, kita harus saling setia.” Pungkas Axel dengan raut serius.

“Seperti daisy dan dandelion?.” Tanya Rea lagi yang hanya dibalas anggukan kepala oleh Axel.

“Aku janji akan jadi daisy yang selalu setia kepada dandelionnya karena kitakan sahabat selamanya.” Deretan pagar putih rapi terpancar cantik dari Rea.

“Akupun Queen.” Kemudian keduanya menautkan kelingking mereka sebagai simbol.

Satu minggu berlalu selama itu pula Axel tak pernah menampakkan batang hidungnya. Berangsur lenyap terterpa helaan berat angin tak meninggalkan setitik debupun tercetak. Menciptakan ombak besar sekali lagi untuk Rea, menghapuskan pancaran-pancaran mentari dalam relung hati. Meringis pelan meluapkan sesak sejenak yang tertanam semenjak kepergian Axel. Makanan yang tersaji didepannya sekarang sudah tak beruap. Pancaran kosong menatap gemuruh gemercikan rintik hujan, langit seolah mendukung perasaan Rea saat ini. Menunduk dalam menghapus jejak-jejak air mata yang ada. Sebuah tepukan ringan mendarat dipundak Rea membangunkannya dari renungannya.

“Rea makan dulu ya? Nanti makanannya nangis liat Rea ngga mau makan.” Suara lembut perempuan paruh baya memecah keheningan tak lupa tangannya mengelus lembut surai Rea sayang.

“Rea ngga mau makan, Rea mau Romeo ibu.” Pinta Rea dengan isakan sesekali lolos dari mulutnya. Hatinya meringis tatkala melihat sebegitu besar arti Romeo Axelson bagi sang bungsu. Mendekap erat-erat mutiara berharga miliknya hingga keduanya menangis dalam diam menyatu dengan butiran hujan.

“Iya, tapi sekarang Rea makan ya?” Rea mengangguk lemas

Tubuh indah milik Rea kini menyisakan sedikit daging yang menempel pada tulangnya, pipi bulat yang terbungkus semburat merah hari-harinya kini menyisakan tulang. Mata seindah gemerlap bintang, telah menyayu berhias lingkaran hitam disekitarnya. Tak henti-hentinya ia menunggu dandelion datang menghampiri kembali, ditempat yang sama setiap hari. Terhitung sebulan sudah Romeonya menghilang tanpa jejak, hari-hari Rea terasa begitu datar.

“Selamat ulang tahun Romeo Axelson, jika memang tuhan berkehendak kita dapat bertemu lagi. Queen sekarang sendiri Meo, Queen sudah tidak punya tujuan untuk tetap disini. Dimanapun kamu berada semoga selalu bahagia.” Monolog Rea.

Tanpa Rea sadari dandelion yang dinanti menyaksikan pertunjukan menyayat hati yang ditampilkan. Membekap mulutnya rapat-rapat agar tak sedikitpun isakannya lolos meski dengan derai air mata mengucur.

“Maaf, Queen ini semua demi kamu.” Lirihnya ikut merasa sesak kemudian pergi meninggalkan Rea sendirian. Tepat setelah kepergian Axel dari pintu masuk nampak siluet pria bertubuh jangkung berjalan setengah berlari menghampiri Rea.

“Oy Re!.” Sapa orang itu melambaikan tinggi-tinggi tangannya, tersadar akan perbuatannya ia menurunkan kaku tangannya. Mengembangkan senyuman manis secantik mungkin menghampiri Rea.

“Siapa?” tanya Rea.

“Parah lo ngga ngenalin orang tampan.” Jawabnya sedikit menyombongkan diri.

“Emang kamu tampan?Kan aku ngga bisa liat kamu.” Lelaki itu diam merutuki ucapannya yang mungkin saja menyakiti hati Rea.

“Eeee... maaf Re, ini Reon.”

“Reon? Reonaldi Abraham? Kok bisa disini? Bukannya kamu keluar negeri?.” Tanya Rea penasaran pasalnya teman recehnya itu sudah tak lagi menempati tempat ini dari beberapa tahun lalu.

“Bisalah kan gue teleportasi Re.” Rea terkekeh pelan merespon Reon meski hatinya tengah gundah.

“Si Axel kemana Re? Kemarin gue datengin rumahnya sepi banget tuh makin mencekam, ngeri gue.” Pungkas Reon mengadah keatas membayangkan keadaan hari lalu. Tubuh Rea menegang tanpa sadar menumpahkan bendungan air mata, Reon yang melihat itupun kalang kabut.

“Eh jangan nangis dong Re, cerita aja siapa tau gue bisa bantu.” Ucap Reon.

“Sudah satu bulan lebih Romeo menghilang ngga ada kabar sama sekali. Hidup aku udah gelap ditambah Romeo hilang lengkap banget hahaha.” Rea tertawa hambar. Reon tau sebesar apa arti Axel bagi Rea, ia turut bersedih atas gadis itu.

“Sebenarnya Re, satu minggu gue dapat surat misterius disitu tertulis pengirimnya Romeo Axelson. Pas gue baca intinya dia nitip lo ke gue untuk waktu yang tidak ditentukan, tapi dia janji bakal balik lagi ke lo. Karna gue baru pindahan jadi gue baru sempet nemuin lo sekarang.” Rea mendengarkan dengan seksama pernyataan dari Reon. Keduanya hanya mampu diam terfokus pada pemikiran masing-masing.

Derap langkah kaki bergemuruh mengisi dendang telinga disertai pekikikan anak-anak berteriak senang, setidaknya itu yang dapat ditangkap telinga Rea. Duduk tenang menatap kosong kejauhan hamparan luas gelaran rumput hijau. Pacaran mentari malu-malu menyumbulkan cahayanya melalui celah pohon beringin.

“Gelap.” Sudah menjadi teman hidup yang tak pernah terlepas oleh keadaan apapun bagi Rea. Selamanya, mungkin.

“Ngga ada Meo, makin gelap.” Menutup matanya sejenak menghirup banyak-banyak oksigen menghempas jauh rasa rindunya walau sesaat.

Tepukan dipundak Rea memaksakan ia membuka matanya.

“Re, mata gue sepet liat lo murung mulu. Udah hampir dua tahun lo gini.” Ya, sudah dua tahun terakhir jika mengingat hari kepergian Axel. Reon sangat prihatin akan keadaan akan keadaan Rea yang sekarang. ‘Xel, lihat sebegitu besar arti lo bagi Rea sampai-sampai dia rela mengesampingkan badannya Cuma buat nunggu lo. Selamat Axelson lo udah bisa rebut Rea dari gue.’ Lanjutnya pilu dalam hati.

“Jalan-jalan sama gue aja mau ngga Re? Hitung-hitung nyari suasana baru.” Usul Reon,ahhh mengapa ide ini baru muncul sekarang dipikirannya?.

“Mau ngapain Reon? Mau seindah apapun tempat itu bakal terlihat gelap bagi aku. Mau senyaman apapun tempat itu tetap saja aku ngga akan bisa nginjakin kaki barang sedikitpun di tanah tempat itu. Dan lagi seramai apapun kalau ngga ada Meo bakal terasa sepi. Tempatku disini Yon,duduk berdiam diri di kursi roda sambil nunggu Romeo.” Jelas Rea mengeluarkan sedikit pikirannya. Yang ia butuhkan hanya seorang Romeo Axelson bukan hal lainnya.

“Ssssstttttt, udah ngga usah berisik ikut aja tenang udah gue izinin ke ibu lo.” Reon tetap pada pendiriannya membawa suasana baru bagi sang sahabat.

Tampak rumput liar berjejeran memenuhi setiap inci tanah. Jalanan berbatu menjadi penengah diantara kanan dan kiri nampak seperti tak berujung. Pancaran mentari kian membakar kulit dengan awan yang semakin mengembang besar menyertai diatasnya. Tak tertangkap panca indra satu individupun yang melintas didaerah itu, nampak sepi dan mencekam. Lama perjalanan membuahkan tampilan bangunan gudang tua dengan cat merah yang hampir sepenuhnya mengelupas.

“Turun!.” Rea terlihat kaget tas nada dingin yang terlontar dari Reon.

“Reon, tolong bantu aku turun.” Pinta Rea, ketara sekali raut ketakutan terpancar. Dengan malas reon membantu Rea

“Ini dimana?.” Gumamnya.

Tanpa aba-aba Reon mendorong kursi roda rea masuk ke dalam. Aroma debu begitu menyeruak dengan aroma bangkai tikus dipenjuru ruangan. Barang-barang kuno berjejeran tertutup kain putih yang menyoklat dengan debu-debu memenuhi. Reon menarik tangan Rea kuat meninggalkan bekas cengkeraman tangan yang memerah. Melemparkan tubuh ringkih Rea diatas tumpukan matras bekas.

“Re, lo bodoh banget! Kenapa lo ngga nyadar Rea!” suara Reon menggema memekik memenuhi gendang telinga.

“M-maksud kamu apa Reon? Ayo kita pulang aja.” Sungguh Rea tak mengerti situasi apa sekarang ini. Mengapa orang didepannya ini berteriak tanpa sebab?.

“ GUA SUKA LO REA! GUE CINTA SAMA LO! TAPI AXEL DENGAN LANCANGNYA BISA MERASUKI OTAK BAHKAN HATI LO RE.” Bentak Reon kembali. Jujur saja Rea tersentak mengetahui pengakuan dari Reon, tak berekspetasi akan perkataan sang teman karib.

“Reon...” lirih Rea.

“Kalau gue ngga bisa milikin lo, artinya Axel juga sama.” Nada begitu rendah mengalun memasuki telinga berakibat bulu kuduk Rea berdiri, ini bukan Reon.

Plaaakkk...

Satu tamparan mendarat dipipi Rea menimbulkan sensasi panas setelahnya.

“Kamu siapa?! Balikin Reon!.” Tanya Rea masih mencoba berfikir positif bahwa setidaknya orang didepannya bukan Reon.

“Gue Reon, Rea. Jiwa Reon yang ngga pernah lo temuin, dan ini alasan gue pindah rumah.” 

“Romeo... tolong.” Isakan demi isakan turut menggema dengan Reon yang memegang pisau. Ia tak berdaya,kondisinya memaksa Rea pasrah.

“Jangan sebut nama itu dedepan gue Rea!.” Perintah reon bersamaan dengan belati yang menyayat bagian pinggir perut Rea. Darah bercucuran keluar tak mau berhenti menimbulkan sakit luar biasa.

Setelah itu dapat dirasakan dingin besi menembus lengan Rea. Melawanpun tak ada gunannya dengan kondisinya sekarang.

“Cukup Main-mainnya Reon.” Suara yang tak asing menghentikan kegiatan Reon yang hendak menghunuskan belati untuk sekian kalinya.

“Meo...” Lirih Rea sebelum batuk darah mengalir mengalihkan pandangannya yang kian memburam. Atensi Axel teralihkan, mendapati Queennya berlumuran darah merah membuat emosinya meningkat.

Segera Axel berlari menerjang tubuh Reon dengan sekali terjang. Tubuh itu tumbang.

“Meo...” Axel menghampiri rea.

“Romeo disini Queen, maaf terlambat.” 

“Daisy udah nepatin janji,sekarang saatnya aku pamiit. Selamat tinggat Roemo.” Setelah mengatakan itu Rea tidur untuk selamanya. Setelah pengobatan kanker yang dideritannya, kini ia kehilangan Daisynya. Mereka sama-sama sakit namun dengan luka yang tak sama. Daisy pergi menunggu Dandilionnya dikeabadian

Ikuti tulisan menarik Habibah Salsabilla lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler