Pelajaran dari Bapak

Rabu, 8 Desember 2021 21:00 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

PELAJARAN DARI BAPAK

Oleh: Lintang Kurnia Rahmah Caesary

 

          “Keulang lagi kan pak,” aku menghela nafas pelan kala melihat bapak yang terbatuk hebat. Sementara bapak tersenyum ke arahku, melambaikan tanganya seakan mengisyaratkan padaku kalau beliau baik baik saja.

Selalu, Reaksi sama yang selalu kudapatkan dari bapak. Aku bisa memahaminya. Karena bagaimanapun, bapak sama seperti ayah-ayah lainnya, beliau tidak pernah ingin membebani anaknya dengan banyak pikiran. Tapi, ini untuk kesekian kalinya bapak merespon begitu, dan aku tidak bisa untuk tidak menghawatirkannya.

“Elang selalu bilang apa ke bapak” ucapku, seraya menuntun bapak untuk duduk di kursi teras. “Bapak sekarang udah tua, udah mulai sakit-sakitan. Jadi, tolong bapak jangan banyak aktivitas”.

“Udah tua apanya, lang,” seperti biasa, bapak selalu mengelak. “Orang umurnya bapak juga baru tahun depan 50, udah dibilang tua “.

“Justru karena umur bapak udah segitu pak,” aku tersenyum, mencoba memberi pengertian pada bapak. Kutaruh segelas wedang jahe diatas meja di depannya. “Bapak harus banyak-banyak istirahat, jaga kesehatan. Fisik bapak udah nggak sekuat dulu lagi”.

 “Bapak disini udah sering istirahat lang, nggak ada yang bikin bapak kecapekan karna kamu selalu bantu bapak,” bapak lagi-lagi tersenyum ke arahku, sambil sesekali meneguk wedang jahe di hadapannya. “Kamu udah tumbuh jadi anak yang baik lang, bantu bapak ini-itu, nggak usah khawatir sama bapak. Bapak masih sehat, masih bugar, masih kuat,” bapak menatapku jenaka, mengangkat kedua tangannya seakan menunjukkan betapa kuatnya bapak lewat kedua tangan yang sudah keriput itu.

 Aku tertawa, Bagaimanapun, bapak tetaplah bapakku. Beliau adalah orang yang selalu berhasil membuatku tertawa. Bapak selalu berhasil menghiburku, walau beliau tidak pernah berhasil membuatku berhenti khawatir padanya.

 Akhir akhir ini, bapak sering batuk. Mulanya, sekitar sebulan lalu, batuk bapak dimulai dengan batuk-batuk ringan. Lebih seperti orang yang terkena flu. Tapi, seminggu terakhir batuk bapak berubah menjadi semakin parah. Batuk berdahak yang membuat bapak terguncang. Ditambah lagi akhir-akhir ini bapak sering merasa dadanya sakit, sesak.

Sebagai anak kandungnya, aku punya kecurigaan kuat terhadap gejala yang terjadi pada bapak. Naluriku mengatakan aku harus menjaga bapak dengan baik. Termasuk membuat beliau tidak merasa keapekan.

 Tapi bapak dan watak jenakanya selalu berhasil mencairkan suasana serius yang seringkali kuciptakan. bapak selalu berhasil membuatku merasa seperti anak kecil lagi.

“Ketawa kan kamu,” goda bapak, disertai dengan tawa yang menguar ke seluruh penjuru rumah. “Dulu, kalo bapak udah ngelawak kayak gini, kamu bakal minta bapak ngelawak lagi. Bahkan pernah kamu dengerin lawakannya bapak sampai kamu tidur tengah malem. Besoknya ibuk marah-marah gegara kamu telat sekolah”.

 “Itukan waktu Elang masih kecil, pak,” aku berujar, mencari pembelaan. Karna bapak, sama seperti ayah-ayah lainya. Suka sekali mengingat masa lalu anaknya, lalu diceritakan kembali, diingat lagi, diceritakan lagi, lalu diingat lagi, lalu diceritakan lagi. Begitu terus sampai anaknya sudah tidak tau pasti berapa kali menanggung malu pada hal yang sama. “Elang sekarang udah besar pak, udah bisa bantu bapak cari uang bahkan”.         

Bapak tertawa, mengangguk. Menyetujui ucapanku.

“Gimana kantormu lang?” Tanya bapak. Mengusak bagian atas kepalaku sayang. Aku selalu suka kalau bapak kembali memandang serta memperlakukanku seperti anak kecil.

Rasanya hangat dan nyaman.

“Baik pak” jawabku, balas tersenyum ke arah bapak. “Pekerjaan Elang lancar, Temen-temen Elang juga baik. Nggak ada yang bermasalah sejauh ini”.

“Terus kapan kamu mau bawa calon ke rumah ini lang?”.

Aku terdiam, menatap bapak datar. Lagi-lagi, bapak pasti sedang mengerjaiku. Bapak tau dengan pasti kalau aku sangat tidak suka kemana topik pembicaraan ini mengarah.

Benar saja, buktinya sekarang bapak tertawa saat melihat wajah tertekukku. Bapak menepuk pundakku pelan. “Nggak usah cemberut gitu. Bapak nggak bakal maksa kamu lang. tapi kalo bisa, bapak pingin bisa liat cucu bapak. Setidaknya sebelum bapak meninggal.”

Kali ini wajahku berubah menjadi murung mendengar ucapan bapak. “Jangan ngomong gitu pak”.

“Ajal nggak ada yang tau nak,” bapak tersenyum kecut ke arahku. “Siapa tau bentar lagi giliran bapak. Apalagi sekarang bapak tambah tua. Udah pantes kalo mau meninggal.”

“Mangkannya bapak banyak-banyak istirahat. Nggak usah kerja lagi, biar Elang aja yang kerja,” ujarku serius. “Lagian bapak kenapa masih kerja? Padahal dari pekerjaan bapak, bapak nggak dapet imbalan apa apa. Bayaran nggak dapet, Cuma dapet capeknya doang.”

“Elang, sudah berapa kali bapak bilang ke kamu nak?” bapak jelas sekali tidak setuju dengan opiniku. Itu ketara sekali dari nada bicara yang digunakan bapak. Tapi alih alih memarahiku, bapak lebih memilih tetap tersenyum padaku. “Bapak ngajari mereka bukan buat dapet bayaran lang. bapak ngajari mereka agama, budi pekerti, biar mereka faham. Biar mereka ngerti. Itu amal jariyah nak”.

“Tapi ada ilmu lain yang bayarannya lebih pasti pak,” aku berujar tak terima. “Matematika misalnya”.

Aku bisa melihat bapak menggeleng-gelengkan kepalanya padaku, namun tetap dengan senyuman yang tak pernah lepas dari wajah teduhnya. “Bener ibukmu ngasih nama kamu Elang. Kamu pinter, berani, tangguh tapi kamu tetap keras kepala. Terlalu gegabah.”

Aku terdiam. Menunduk mendengar ucapan bapak. “Bapak mungkin berhasil didik kamu jadi anak yang bertanggung jawab. Tapi sepertinya bapak harus didik kamu lagi untuk masalah cara memandang hidup.” Bapak terdiam, memandangku serius. “Dulu, ibukmu selalu ngajarin bapak tentang ini. Bapak jadi kangen sama ibukmu lang”.

Aku bisa meliat sorot penuh kerinduan dari wajah bapak. Karna kalau boleh jujur. Lepas tiga tahun setelah kematian ibuk. Aku juga merindukannya dalam hidupku.                                                                                                                 ***                                                                             

Hari ini, bapak demam.

Lepas keluar dari kamar mandi, bapak mengeluh kalau tenggorokannya terasa panas dan tubuhnya terasa menggiggil. Yang lebih mengejutkan lagi, setelah diukur. Suhu tubuh bapak pas menunjukkan 40 derajat. Berbekal paracetamol yang sudah kuminumkan pada bapak. Aku pergi membawa beliau berobat.

Dan kecurigaanku terbukti, bapak terserang Tubercullosis. Dokter sudah menyuruh bapak agar dirawat inap sehingga keadaannya akan lebih terpantau. Tapi beliau tetap kekeuh untuk meminta rawat jalan. Bapak tidak ingin menginggalkan keseharian beliau walau sedang sakit.

Awalnya, bapak bilang padaku kalau bapak ingin tetap mengajar hari ini. “Bapak masih kuat kalau hanya mengajar agama lang. nggak usah terlalu mikirin bapak, nanti juga sembuh sembuh sendiri,” bapak bilang begitu padaku, tetap sambil tersenyum.

Tapi aku tahu bapak tidak sekuat itu. Bapak butuh istirahat. Jadi aku meminta bapak agar tidak kemana-mana, tetap beristirahat, setidaknya sampai panasnya turun. Cukup lama waktu yang kuperlukan untuk membujuk bapak. Tapi, bapak tetap menyetujui permintaanku dengan satu syarat.

Bapak memberiku alamat salah satu muridnya. Aku harus mengabarkan padanya kalau bapak sedang jatuh sakit.

Jadi aku menurut. Pergi mendatangi alamat yang diberikan bapak padaku. Alamat itu menuntunku ke sebuah rumah yang sebenarnya kurang layak ditinggali di zaman serba modern ini. Aku tidak berani berpendapat lebih banyak, jadi buru buru kuketuk pintu rumah itu tiga kali.        

Tak lama, seorang pemuda yang kalau kutaksir umurnya mungkin sekitar 19 tahun, sekitar 4 taun di bawahku. Pemuda itu membukakan pintu padaku, lantas menatapku heran. “Siapa?”

Aku mencoba untuk tetap tersenyum. Mencoba bersikap ramah. “Elang”.   

“Bang Elang? Anaknya bapak?” aku menggangguk, membenarkan. Murid-murid bapak memang terbiasa memanggil bapak begitu. Kata bapak, agar lebih akrab.

“Rey bang, Reyhan,” ujarnya ramah. “Bang Elang ngapain kesini? Nggak kerja hari ini?”. Aku menggeleng pelan. “Nggak, kantor libur,” ujarku ramah. “Saya kesini disuruh bapak beritahu kamu, bapak lagi sakit, hari ini beliau nggak bisa ngajar dulu”.

“Innalillahi,” Reyhan terdiam sejenak. Kelihatannya pemuda itu masih terkejut dengan info yang dia dapatkan. “Bapak sakit apa bang?”.

“TBC,” ujarku sambil tersenyum kecut. “Doa’in ya Rey”.

Reyhan mengangguk mantap. “Pasti, bang” ujarnya, tanpa keraguan. “Bapak itu guru terbaik saya bang. Pasti saya do’akan bapak cepet sembuh. Biar bapak bisa ajari saya lagi”.

Aku mengangguk, berterimakasih. Aku hampir saja pamit pulang kalau tidak melihat seorang pengemis berdiri mematung di depan rumah. Rey tersenyum tipis kala melihatnya. Dengan ringan memberikan uang pada pengemis itu, membuatnya ikut tersenyum.

Padahal, melihat kondisi rumah Rey. bisa jadi itu uang untuk menghidupi dirinya sendiri hari ini.

“Kamu punya uang buat makan nanti?” tanyaku memastikan. Dan yang kudapatkan adalah gelengan ringan dari pemuda itu.

“Terus kenapa kamu kasih pengemis tadi?”.  

“Aku ini hidup sendirian bang, kerja juga ada walau serabutan. Tapi pengemis itu, bisa jadi dia punya keluarga yang kelaparan di luar sana, bisa jadi ini memang satu-satunya pekerjaan yang dia bisa kerjakan,” Reyhan tersenyum teduh kearahku. Membuatku teringat pada bapak. “Nggak ada salahnya kan kalau aku ingin berbuat baik pada dia bang?”.

“Sebenarnya nggak ada, Rey,” aku menatap lurus kearahnya. “Tapi kamu juga harus mikirin kehidupan kamu, jangan melulu orang lain terus”.

“Tapi orang lain juga jadi alasan kita tetap hidup, bang,” Rey membalas. “Kalau masalah rezeki, gampang bang. Biar Allah yang urus. Udah, semuanya beres”.

Aku tersenyum, mengangguk setuju dengan opini yang barusan dikeluarkan Rey. Kuulurkan beberapa lembar uang kearahnya. Rey menggeleng, menolak halus pemberianku.

“Bapak nggak pernah ngebolehin kita minta-minta, bang,” itu jawaban yang kudapatkan lepas memaksanya menerima pemberianku. Aku menganguk, memasukkan kembali uangku. Bapak juga mengajari hal tersebut padaku.

“Apa saja yang bapak ajarin ke kamu?”.

”Tentang pemahaman hidup yang baik,” Rey menjeda kalimatnya sejenak. “Bapak selalu nyuruh kita buat terus berbuat baik. Jangan pernah merasa terbebani kalau berbuat baik. Bapak selalu ngajarin kita buat mikirin senyuman orang yang kita bantu”.

“Bapak selalu berhasil jadi guru terbaik buat kita. Bahkan dari hal-hal terkecil yang dilakukan bapak udah jadi pelajaran buat kita”.

“Contohnya?”

Rey tersenyum ke arahku. “Bapak mengajar tanpa dibayar bang, kebanyakan murid bapak berasal dari orang miskin seperti kita. Mana mampu kita kasih bayaran ke bapak,” Rey menghela nafas berat. Dari suaranya, aku tahu dia sedang menahan tangis.”Tapi apa kata bapak ke kita bang? Beliau bilang belajar yang benar, kalau kalian berhasil itulah bayaran bapak kelak”. Rey tergugu pelan. Sementara aku terdiam, menatap kosong kearah langit. Kini aku tahu alasan bapak menyuruhku pergi menemui Rey.

Cara Rey memandang kehidupan, sama seperti cara bapak memandangnya.                                                                                                ***                                                                                         “Sudah?” bapak tersenyum melihat kedatanganku. Sepertinya, sejak tadi beliau sudah menunggu di kursi teras.

Tempat kami selalu berbincang di setiap senggang yang ada.

Aku mengangguk. Mengambil tempat di sebelah bapak. “Makasih udah ajarin Elang ya pak”.       

“Kamu udah faham kan, kenapa bapak suruh kamu pergi ke sana?” bapak mencoba membuka topik, sementara netranya menatap lurus ke arah langit.

Aku mengangguk, ikut menatap langit bersama bapak.

“Itulah alasan bapak tetap mau mengajari mereka, tanpa bayaran sekalipun. Bapak mau hidup bapak bermakna lang. bapak mau melakukan yang terbaik dengan tanggung jawab bapak. Baik itu berarti ngajarin kamu, atau mereka”.

“Mereka itu anak-anak baik lang, sama kayak kamu,” bapak terdiam, menjeda kalimatnya sejenak. Sementara aku tetap diam, memilih mendengarkan sampai akhir.    

“Rey satu yang terbaik. Pemahaman hidupnya terbangun dengan amat sempurna. Dia hidup untuk beramal, beribadah, tidak lebih. Bapak ingin kalian semua tumbuh seperti itu, sampai akhir. Itu bayaran yang lebih dari cukup”.

“Boleh jadi besok lusa kalian hanya menjadi pegawai. Boleh jadi justru besok lusa kalian malah menjadi menteri. Tapi bapak sama sekali tidak peduli lang. selama kalian tumbuh dengan pemahaman yang baik, akhlak yang baik. Itu semua lebih dari cukup”.

Aku terisak, menatap bapak yang balas menatapku teduh.

Aku baru akan bersuara, ketika sebuah salam menghentikan minatku. Baik bapak maupun aku sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Tersenyum kala melihat siapa yang datang.    

Sepertinya itu murid-murid bapak. Tidak terlalu banyak. Hanya berkisar 5-6 orang, dipimpin dengan Rey di barisan paling depan, menyapa kami hangat. Bapak melambaikan tangannya riang, mempersilahkan mereka masuk. Dalam sekejap, mereka menghampiri bapak memberikan pelukan sayang sekaligus berdo’a untuk kesehatan bapak.

Aku tersenyum tipis. Merasakan kehanggatan yang teramat.

Bapak menoleh ke arahku, ikut tersenyum. “Hidup bapak tidak lama lagi lang, bapak tahu itu”,

“Bapak tidak bisa mengajarimu makna kehidupan lagi, dan kau juga akan tinggal sendirian, nak,” bapak menjeda kalimatnya, menatap kearah murid-muridnya, lalu ganti menatap ke arahku.  “Tapi, mereka bisa mengajarimu, bahkan lebih dari yang bapak lakukan. Ajari mereka ilmu yang kau kuasai, lalu mereka akan mengajarimu tentang kehidupan. Terutama Rey, dia akan mengajarimu banyak hal”.

“Kalau bapak pergi, maka merekalah keluargamu yang baru Elang. Terimalah mereka dengan baik, perlakukan mereka seperti kau memperlakukan saudara kandungmu sendiri. Karna mereka, akan selalu menjadi saudaramu”.

Aku mengangguk pelan, tidak ingin menangis di depan bapak. Aku memilih diam, menahan tangisan itu.      

Bagaimanapun bapak benar. Aku harus belajar lebih banyak lagi pada mereka, terutama pada Rey.

Besok lusa, aku akan belajar tentang banyak hal, tentang banyak perkara. Tentang ketabahan, keikhlasan, kesabaran, kebaikan.  

Tentang makna kehidupan.                                                                                                                                                                                ***                                     

 

 

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

 

 

                                                                                                       

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Hanifah Robbaniya

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Lilin Biru Laut

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB
img-content

Pengantin Itu Ternyata…..

Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terkini di Fiksi

img-content
img-content

Doa

Jumat, 10 Oktober 2025 09:38 WIB

img-content
img-content
img-content
Lihat semua

Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua