Menyalakan Negeri Lain, Memadamkan Negeri Sendiri?

3 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
JAGA PASOKAN LISTRIK
Iklan

Ekspor listrik ke Singapura menuai tanya: mengapa menyalakan negeri lain saat rakyat sendiri masih gelap?Kedaulatan energi butuh industri bater

Penulis:  Rifqi Nuril Huda, S.H., M.H., CLAAlumni Magister Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia. Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) dan Ketua Umum Akar Desa Indonesia

Sontak ruang konferensi menjadi riuh oleh tepuk tangan ketika Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan dalam pidatonya bahwa Indonesia resmi menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) dengan Singapura untuk ekspor listrik bersih sebesar 3,4 gigawatt pada tahun 2035. Pernyataan itu disampaikan dengan nada optimistis dalam pidato pembuka International Sustainability Forum pada 10 Oktober 2025.

Banyak yang memuji langkah ini sebagai tonggak sejarah baru diplomasi energi Indonesia di kancah global. Namun, di balik sorak-sorai keberhasilan tersebut, terselip rasa kaget sekaligus tanya besar dalam benak saya, di saat jutaan warga desa di pelosok negeri masih hidup dalam gelapnya keterbatasan listrik, mengapa justru energi bersih kita dijual keluar negeri?

Pemerintah menilai kerja sama ini membuka peluang investasi hijau, menambah devisa, dan memperkuat komitmen terhadap transisi energi global. Namun di balik euforia tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang patut diajukan bersama, apakah ekspor listrik benar-benar membawa kedaulatan energi, atau justru menjadikan Indonesia kembali sebagai penyedia bahan mentah dalam wajah baru ekonomi hijau?

Data dari Kementerian ESDM Indonesia sejatinya memiliki potensi energi terbarukan yang melimpah seperti matahari (3,264GW), angin(115GW), air(65GW), panas bumi(2GW), hingga biomassa(57GW), tetapi sebagian besar potensi itu belum dimanfaatkan secara optimal untuk kebutuhan domestik.

Ironisnya, ketika masyarakat di daerah terpencil masih bergelut dengan keterbatasan pasokan listrik, pemerintah justru membuka jalur ekspor listrik ke negara yang sistem kelistrikannya telah matang. Ini menimbulkan dilema moral dan kebijakan, mengapa energi bersih yang seharusnya menopang kemandirian nasional justru dijual keluar sebelum kebutuhan dalam negeri terpenuhi?

Lebih jauh, ekspor listrik tanpa membangun ekosistem industri penyimpanan energi hanya memperpanjang ketergantungan struktural Indonesia terhadap model ekonomi ekstraktif. Jika pada masa lalu kita mengekspor minyak mentah dan batu bara tanpa menguasai rantai hilirnya, kini kita berisiko mengulangi kesalahan yang sama yakni mengekspor energi bersih tanpa menguasai teknologi dan nilai tambahnya. Di titik inilah, MoU ekspor listrik bukan sekadar isu ekonomi, tetapi ujian bagi arah transisi energi yang sejati: apakah Indonesia akan menjadi pemain utama atau sekadar penyedia pasokan murah dalam pasar energi global.

Bahaya Ekspor Tanpa Kemandirian Baterai

Di tengah ambisi ekspor listrik, dunia sedang bergerak ke arah lain: revolusi penyimpanan energi. Laporan International Energy Agency (IEA) tahun 2024 menegaskan bahwa kapasitas battery energy storage systems (BESS) dunia harus meningkat lima belas kali lipat pada 2030 untuk mencapai target net zero emission. Negara-negara maju berlomba mengembangkan teknologi dan kapasitas industri baterai karena sadar bahwa masa depan energi tidak hanya bergantung pada pembangkitan, tetapi juga pada kemampuan menyimpannya.

Indonesia seharusnya membaca arah angin ini dengan jernih. Sebagai produsen nikel terbesar di dunia bahan utama dalam produksi baterai litium Indonesia memiliki keunggulan strategis yang seharusnya dimanfaatkan untuk membangun kemandirian energi berbasis penyimpanan.

 Namun, yang terjadi justru paradoks, kita mengekspor listrik ke luar negeri, sementara infrastruktur penyimpanan energi di dalam negeri belum terbentuk. Jika pola ini berlanjut, Indonesia berisiko kehilangan momentum menjadi pusat industri baterai Asia Tenggara, sekaligus kehilangan peluang besar untuk menstabilkan sistem energi nasional.

Tanpa baterai, energi surya hanya bersinar di siang hari dan energi angin hanya berputar saat angin datang. Dengan baterai, energi bisa disimpan dan digunakan kapan saja, menjamin stabilitas jaringan listrik, terutama di wilayah-wilayah 3T yang selama ini kesulitan akses energi. Karena itu, pembangunan battery storage bukan sekadar isu teknis, melainkan simbol kedaulatan energi nasional. Mengandalkan ekspor listrik tanpa sistem penyimpanan dalam negeri sama saja dengan menjual masa depan teknologi yang seharusnya menjadi milik bangsa.

Dalam jangka panjang, ketergantungan pada proyek ekspor listrik juga berpotensi memperlemah kemampuan Indonesia membangun resilience energi domestik. Ketika sebagian besar investasi diarahkan untuk memenuhi kebutuhan negara lain, kapasitas nasional dalam membangun sistem kelistrikan berkelanjutan justru tertinggal. Negara seperti Singapura akan memperoleh manfaat berupa pasokan listrik bersih stabil, sementara Indonesia hanya memperoleh pendapatan jangka pendek tanpa transformasi struktural dalam sektor energi.

Transisi energi tidak boleh berhenti pada perdagangan listrik lintas batas. Ia harus menjadi momentum untuk membangun ekosistem industri penyimpanan energi nasional dari riset kimia baterai, manufaktur sel, hingga integrasi sistem penyimpanan dalam jaringan tenaga listrik nasional. Tanpa itu, kita hanya mengganti bentuk ketergantungan lama dengan wajah baru yang lebih halus.

Strategi Energi yang Berkeadilan

Indonesia memiliki dua jalan dalam menentukan masa depan energinya. Jalan pertama, menjadikan diri sekadar “penyuplai energi bersih” bagi negara maju dengan harga kompetitif, mengulang sejarah ekspor sumber daya tanpa nilai tambah. Jalan kedua, membangun kemandirian energi melalui kebijakan terintegrasi: industri baterai nasional, riset penyimpanan energi dan sistem kelistrikan yang mampu memanfaatkan energi terbarukan secara berkelanjutan. Pilihan pertama mungkin menawarkan keuntungan cepat, tetapi rapuh. Pilihan kedua membutuhkan kesabaran, investasi jangka panjang, dan keberanian politik—namun menjamin kedaulatan di masa depan.

Langkah awal dapat dimulai dari kepastian hukum mengenai status battery storage sebagai bagian integral sistem tenaga nasional. Tanpa dasar hukum yang jelas, proyek BESS akan terus terhambat dalam skema perizinan dan kontrak jual beli listrik. Selain itu, pemerintah perlu menghadirkan insentif fiskal dan nonfiskal seperti tax holiday, pembiayaan hijau, dan kemudahan impor alat riset untuk mempercepat tumbuhnya ekosistem industri penyimpanan energi domestik.

Bersamaan dengan itu, universitas dan lembaga riset harus diberdayakan menjadi pusat inovasi baterai nasional yang meneliti kimia baru, sistem daur ulang, dan battery management system yang sesuai dengan kondisi tropis Indonesia.

Lebih penting lagi, kebijakan energi harus berpihak pada rakyat dan lingkungan. Penambangan nikel untuk kebutuhan industri baterai harus dilakukan dengan prinsip keberlanjutan, partisipasi masyarakat, dan transparansi. Energi bersih tidak boleh dibangun di atas tanah yang rusak dan laut yang tercemar. Transisi energi yang adil mensyaratkan bahwa keuntungan ekonomi tidak hanya dinikmati oleh investor, tetapi juga masyarakat di wilayah penghasil sumber daya.

Indonesia perlu menyadari bahwa energi bukan sekadar komoditas perdagangan, melainkan pilar kedaulatan bangsa. Ekspor listrik mungkin memberikan pujian internasional dan devisa jangka pendek, tetapi tanpa kemandirian dalam teknologi penyimpanan energi, Indonesia hanya akan menjadi transit country dalam peta besar ekonomi hijau global.

Sejarah telah mengajarkan bahwa bangsa yang menjual bahan mentah tanpa menguasai teknologi akan terus tertinggal. Dalam konteks transisi energi, ekspor listrik ke Singapura tanpa membangun kapasitas penyimpanan dan industri baterai domestik adalah bentuk baru dari ketergantungan struktural. Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pusat kekuatan energi Asia Tenggara bukan dengan mengekspor listrik, tetapi dengan menguasai teknologi yang menyimpannya.

Energi bersih sejati bukan sekadar soal mengalirkan listrik dari satu negara ke negara lain, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa mampu menyalakan masa depannya sendiri. Jika kedaulatan energi adalah tujuan, maka ekspor listrik bukanlah jawaban pembangunan industri baterai nasionallah yang seharusnya menjadi jalannya.

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifqi Nuril Huda

Penulis Indonesia, Pegiat Desa, Pengamat Energi

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler