Ketika Hari Pangan Diselimuti Radiasi

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
cengkeh 1
Iklan

Jejak radioaktif di cengkeh Lampung mengguncang kepercayaan publik. Keamanan pangan bukan sekadar soal mutu,tapi juga kedaulatan dan transparan

Penulis: Rifqi Nuril Huda, S.H., M.H., CLA. Alumni Magister Hukum Sumber Daya Alam Universitas Indonesia. Direktur Eksekutif Institute of Energy and Development Studies (IEDS) dan Ketua Umum Akar Desa Indonesia

Di tengah semangat memperingati Hari Pangan Sedunia, ketika dunia bersatu menyerukan pentingnya kedaulatan pangan dan sistem produksi yang berkelanjutan, Indonesia justru diguncang kabar yang mengusik nurani publik. Dari Provinsi Lampung, ditemukan jejak elemen radioaktif cesium-137 di salah satu perkebunan cengkeh.

Pemerintah segera bergerak melakukan penyelidikan, menangguhkan sementara penjualan hasil panen, dan mengumumkan bahwa kadar radioaktif yang ditemukan tergolong rendah dan bersifat lokal. Namun kabar ini datang di saat yang tidak menguntungkan sebab kasus kontaminasi radioaktif pada produk udang dari wilayah yang sama belum juga diselesaikan secara tuntas.

Maka, muncul pertanyaan besar di tengah masyarakat: sejauh mana negara benar-benar siap menjamin keamanan pangan rakyatnya di tengah ancaman pencemaran yang tak kasatmata?

Temuan ini bukan sekadar persoalan teknis atau sains murni, melainkan menyentuh dua ranah yang sangat sensitif bagi public yakni keamanan pangan dan kredibilitas negara di pasar global. Cengkeh bukanlah komoditas sembarangan, ia memiliki nilai sejarah, ekonomi, dan simbolik yang dalam. Sejak abad ke-16, rempah-rempah seperti cengkeh menjadi saksi kejayaan perdagangan Nusantara sekaligus tulang punggung ekonomi rakyat di Lampung, Maluku, dan Sulawesi.

Karena itu, ketika produk yang menjadi simbol “aroma Nusantara” tersebut tiba-tiba dikaitkan dengan radioaktivitas, maka dampaknya tidak hanya mengguncang petani dan pelaku ekspor, tetapi juga mengusik citra Indonesia sebagai negeri agraris yang kaya dan aman secara lingkungan. Dalam konteks ini, isu radioaktif bukan hanya soal kadar radiasi, tetapi juga soal kedaulatan pangan, transparansi negara, dan hak rakyat atas informasi yang jujur.

Jejak Tak Kasatmata

Nama cesium-137 mungkin terdengar asing bagi masyarakat umum, tetapi bagi kalangan ilmuwan, isotop ini adalah salah satu zat radioaktif paling diperhatikan di dunia. Ia merupakan hasil reaksi fisi nuklir biasanya berasal dari aktivitas reaktor tenaga nuklir, limbah medis, atau sisa uji coba senjata nuklir masa lalu.

Dengan waktu paruh sekitar 30 tahun, zat ini bisa bertahan di alam dalam jangka panjang dan berpindah melalui udara, air, serta tanah. Karena bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak dapat dideteksi tanpa alat khusus, keberadaannya hanya bisa diketahui melalui uji laboratorium berstandar tinggi.

Dalam konteks Lampung, Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN) masih menelusuri sumber kontaminasi tersebut. Kemungkinan bisa datang dari residu industri, tumpahan limbah laboratorium, atau kebocoran dari kegiatan tertentu yang menggunakan bahan radioaktif. Namun, fakta bahwa zat ini muncul di wilayah yang sama dengan kasus udang terkontaminasi sebelumnya menimbulkan dugaan adanya celah serius dalam sistem pemantauan lingkungan dan pangan.

Pemerintah memang menyatakan kadar yang ditemukan tidak membahayakan secara langsung, tetapi pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana zat radioaktif bisa masuk ke ekosistem pertanian rakyat? Apakah melalui air irigasi, hujan asam, polusi udara industri, atau sisa limbah yang tertimbun tanpa pengawasan?

Lebih dari itu, mengapa kontaminasi ini baru diketahui setelah panen berlangsung? Pertanyaan-pertanyaan ini menyingkap kelemahan mendasar dalam sistem deteksi dini dan pengawasan pangan kita. Jika sistem monitoring berjalan efektif dan terintegrasi, seharusnya keberadaan zat berbahaya semacam ini bisa terdeteksi sebelum hasil panen beredar di pasar. Sayangnya, selama ini pengawasan sering kali bersifat reaktif baru bergerak setelah masalah muncul ke permukaan bukan bersifat preventif dan berbasis risiko seperti yang diterapkan di negara maju.

Secara normatif, Indonesia sebenarnya memiliki payung hukum yang kuat dalam hal pengawasan bahan radioaktif. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran mewajibkan negara melindungi masyarakat dari paparan radiasi berbahaya. Aturan ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang keselamatan pemanfaatan tenaga nuklir serta sejumlah regulasi turunan yang dikoordinasikan oleh BAPETEN dan Badan POM dalam konteks keamanan pangan. Namun, sebagaimana kerap terjadi di banyak bidang lain, regulasi yang baik di atas kertas tidak selalu berbanding lurus dengan efektivitas di lapangan.

Salah satu masalah paling krusial adalah minimnya integrasi antar lembaga. Pengawasan bahan radioaktif, pengendalian pencemaran lingkungan, dan keamanan pangan sering kali bekerja dalam silo birokrasi masing-masing. Akibatnya, sistem deteksi dini yang seharusnya bersifat lintas sektor menjadi tidak sinkron.

Dalam kasus Lampung, pemerintah memang bergerak cepat setelah temuan muncul, tetapi penyampaian informasi kepada publik masih bersifat parsial, teknis, dan cenderung tertutup. Masyarakat hanya mendapat potongan pernyataan seperti “kadar rendah” atau “lokasi dalam pengawasan”, tanpa penjelasan yang lebih substansial mengenai sumber, dampak, dan langkah mitigasi yang jelas.

Padahal dalam konteks governance pangan modern, transparansi merupakan elemen paling vital untuk membangun kepercayaan publik. Negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan telah belajar dari tragedi Fukushima, mereka tidak hanya memperkuat standar keamanan, tetapi juga menerapkan kebijakan keterbukaan data. Setiap hasil uji radiasi terhadap produk pangan dipublikasikan secara berkala agar publik dapat mengawasi langsung. Indonesia semestinya belajar dari praktik semacam itu. Di era keterbukaan informasi, transparansi bukan ancaman bagi stabilitas, melainkan fondasi bagi kepercayaan.

Selain itu, kapasitas teknis laboratorium dan tenaga pengawas juga perlu dievaluasi secara serius. Pengujian isotop radioaktif memerlukan peralatan berpresisi tinggi serta tenaga analis dengan kompetensi spesifik. Bila sistem pengawasan hanya bergantung pada pemeriksaan acak atau reaktif, maka kontaminasi berskala mikro bisa saja luput hingga mencapai rantai distribusi.

Apalagi Lampung merupakan daerah dengan aktivitas industri dan pelabuhan yang tinggi di tengah kawasan pertanian rakyat sebuah kombinasi yang meningkatkan risiko pencemaran silang antara aktivitas industri dan pangan. Dengan demikian, Indonesia perlu beralih dari paradigma pengawasan yang reaktif menjadi pengawasan proaktif berbasis risiko lingkungan.

Diplomasi Pangan dan Krisis Reputasi

Dampak dari temuan jejak radioaktif di Lampung tidak hanya berhenti pada aspek teknis, tetapi juga merembet ke ranah ekonomi dan diplomasi pangan internasional. Di pasar global, isu keamanan pangan merupakan faktor sensitif yang dapat menentukan nasib ekspor suatu negara.

 Negara-negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Uni Eropa menerapkan standar maksimum residu Maximum Residue Limit (MRL) yang sangat ketat untuk memastikan keamanan pangan dari cemaran kimia maupun radioaktif. Sekali saja ditemukan anomali, seluruh produk dari wilayah asal dapat ditolak, bahkan tanpa perlu pembuktian tambahan.

 

Kondisi ini sudah pernah dialami Indonesia dalam kasus ekspor udang dari Banten kemarin, yang sempat ditolak karena kadar isotop radioaktif melebihi ambang batas. Meski pemerintah menegaskan bahwa kontaminasi bersifat terbatas, beberapa importir memilih menunda transaksi. Kerugian ekonomi yang muncul tidak hanya dialami oleh eksportir besar, tetapi juga nelayan dan petani kecil di rantai pasok. Kini, dengan munculnya kasus cengkeh, kekhawatiran serupa kembali mengemuka.

Padahal rempah-rempah seperti cengkeh, pala, dan kayu manis merupakan bagian dari “spice diplomacy”. Upaya diplomasi ekonomi yang dipromosikan pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah Nusantara sebagai kekuatan soft power bangsa. Namun, bila pasar internasional mendengar berita bahwa “produk rempah Indonesia mengandung jejak radioaktif”, maka seluruh strategi branding yang dibangun selama bertahun-tahun dapat runtuh seketika.

Karena itu, pengelolaan komunikasi publik menjadi sama pentingnya dengan investigasi teknis. Negara harus mengirim pesan yang jelas bahwa Indonesia bukan negara yang tercemar, tetapi negara yang tanggap, bertanggung jawab, dan terbuka terhadap pengawasan publik.

Lebih dalam, kasus ini juga harus dilihat sebagai refleksi atas tata kelola energi dan lingkungan nasional. Jejak cesium-137 tidak muncul tanpa sebab, keberadaannya menandakan adanya aktivitas yang berhubungan dengan bahan radioaktif baik di sektor riset, medis, industri, maupun energi. Karena itu, penyelidikan tidak cukup berhenti pada lahan pertanian, tetapi harus menelusuri rantai penggunaan, penyimpanan, dan pembuangan limbah radioaktif di sekitar wilayah tersebut. Pertanyaan berikutnya yang perlu dijawab adalah sejauh mana pengawasan terhadap fasilitas yang menggunakan isotop radioaktif berjalan efektif dan transparan?

Kasus ini menjadi alarm penting di tengah rencana Indonesia untuk mengembangkan teknologi nuklir baru seperti Small Modular Reactor (SMR) yang tertuang pada Peraturan Pemerintah 40 tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) sebagai bagian dari strategi transisi energi bersih.

Di satu sisi, energi nuklir menawarkan efisiensi dan rendah emisi karbon, tetapi di sisi lain, tanpa tata kelola keselamatan yang ketat, ia bisa menciptakan “jejak kotor” baru bagi lingkungan. Maka, memperkuat environmental nuclear governance menjadi keharusan moral.

Pengawasan tidak boleh hanya terfokus pada reaktor besar di Serpong atau fasilitas riset, melainkan juga pada penggunaan radioisotop di rumah sakit, industri, dan kampus. Negara harus menjadikan pelaporan publik dan audit lingkungan berkala sebagai kewajiban, bukan pilihan.

Pada akhirnya, krisis radioaktif di Lampung adalah ujian kepercayaan publik terhadap negara. Masyarakat berhak mengetahui apa yang mereka konsumsi dan bagaimana pemerintah menjamin keamanannya. Ketertutupan informasi hanya akan memperbesar ketidakpercayaan, sementara keterbukaan justru memperkuat legitimasi negara di mata rakyat dan dunia internasional.

Dalam momentum Hari Pangan Sedunia ini, kita semestinya sadar bahwa ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan, tetapi juga soal jaminan keamanan, keberlanjutan ekologi, dan integritas lembaga pengawas.

Jejak radioaktif di cengkeh mungkin kecil secara ilmiah, tetapi besar secara simbolik, ia mengingatkan bahwa di balik setiap butir pangan yang kita makan, tersimpan tanggung jawab moral negara untuk melindungi rakyatnya dari ancaman yang tak terlihat. Dan jika kita gagal memastikan keamanan pangan hari ini, maka kita sedang mempertaruhkan masa depan generasi yang akan datang.

Karena pada akhirnya, pangan adalah wujud paling konkret dari kedaulatan bangsa. Bila kita lalai menjaganya, maka sesungguhnya kita sedang kehilangan kendali atas nasib kita sendiri.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Rifqi Nuril Huda

Penulis Indonesia, Pegiat Desa, Pengamat Energi

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler