Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.
Aspal Buton pun Dihapus dari Peta Ketika Kedaulatan Dikalahkan Kepentingan
2 jam lalu
Jika PSN memang bertujuan mengurangi kemiskinan dan mendorong pemerataan, maka pengabaian Buton adalah bukti kegagalan moral.
***
Indonesia baru saja menetapkan 77 Proyek Strategis Nasional (PSN) dalam RPJMN 2025–2029. Dari makan bergizi gratis hingga sea wall raksasa, semuanya terdengar megah dan futuristik. Namun, di antara deretan proyek raksasa itu, ada satu nama yang absen mencolok, Aspal Buton. Sebuah ironi besar di negeri yang justru duduk di atas tambang aspal alam terbesar di dunia.
Absennya hilirisasi aspal Buton dari daftar PSN adalah pertanyaan besar yang mengguncang logika publik. Bagaimana mungkin nikel, bauksit, garam, bahkan singkong mendapat tempat strategis, sementara aspal Buton justru dilupakan? Apakah sumber daya strategis yang selama ini menopang jalan negara ini dianggap tidak cukup penting? Atau memang ada kekuatan tak terlihat yang sengaja menghapusnya dari peta pembangunan nasional?
Di setiap pernyataan resmi, pemerintah bicara tentang hilirisasi dan kedaulatan sumber daya alam. Tetapi mengapa aspal Buton, yang merupakan bahan baku utama infrastruktur, justru tidak dianggap bagian dari agenda strategis nasional? Padahal jalan adalah urat nadi pembangunan, dan aspal adalah darahnya. Apakah bangsa ini sedang membangun tubuh tanpa darahnya sendiri?
Jika kita jujur, hilangnya aspal Buton dari daftar PSN bukan sekadar kelalaian teknokratis, ini adalah pengkhianatan strategis. Negara yang berbicara soal kemandirian industri seharusnya memulai dari sumber daya yang sudah terbukti ada, bukan terus mengemis pada impor. Indonesia telah 50 tahun menjadi pelanggan setia aspal minyak, padahal Buton punya cadangan untuk 100 tahun ke depan. Ini bukan kurang data, ini kurang kemauan.
Pak Prabowo mungkin menandatangani Perpres dengan niat baik, tetapi birokrasi di bawahnya masih dikuasai mental kolonial ekonomi. Mereka menilai dari kacamata proyek cepat cair, bukan kemandirian jangka panjang. Aspal Buton tidak menjanjikan rente besar atau kontrak asing, itulah sebabnya ia ditinggalkan. Dalam politik proyek, yang tidak bisa dibagi, tak dianggap.
Lihat daftar PSN itu: ada biorefinery, soda ash, hingga sea wall yang memakan triliunan rupiah. Semua proyek itu tampak “futuristik”, tetapi ironisnya, tanpa aspal, tidak satupun alat berat bisa lewat ke lokasi pembangunan. Aspal adalah dasar dari semua fondasi pembangunan, tetapi ia justru tidak dianggap strategis. Begitulah ketika logika pembangunan kalah oleh logika pencitraan.
Pemerintah bicara tentang Indonesia Emas 2045, tetapi tanpa swasembada aspal, yang kita bangun hanyalah jalan emas menuju ketergantungan baru. Kita mengganti penjajahan kolonial dengan penjajahan impor. Kita memuja hilirisasi di sektor lain, tetapi menutup mata terhadap potensi di bawah kaki sendiri. Inilah ironi pembangunan yang membungkus ketimpangan dengan label kemajuan.
Hilirisasi nikel memang penting, tetapi tidak ada gunanya jika jalan menuju tambang pun masih bergantung pada aspal impor. Infrastruktur bukan hanya soal membangun, tetapi juga soal keberanian menggunakan produk bangsa sendiri. Jika Buton terus diabaikan, maka kedaulatan ekonomi hanyalah jargon politik. Kita membangun gedung megah di atas tanah yang tidak dihargai.
Bayangkan jika Buton dijadikan PSN, efeknya akan mengguncang. Puluhan ribu tenaga kerja lokal terserap, pabrik-pabrik tumbuh di timur, dan Indonesia bisa mengekspor aspal ke Asia Tenggara. Tetapi mungkin itulah yang ditakuti: Buton mandiri berarti rantai impor putus, dan banyak pihak kehilangan “jatah”. Inilah alasan diam-diam mengapa Buton tidak boleh tumbuh.
Ada juga dimensi politik yang tidak bisa diabaikan. PSN sering kali menjadi arena pembagian proyek antar elite dan daerah strategis secara elektoral. Buton tidak punya suara politik besar, tidak punya lobi kuat di pusat. Maka dalam kalkulasi politik praktis, Buton tidak menguntungkan, ia terlalu jujur untuk sistem yang terbiasa dengan permainan.
Jika kita lihat dokumen PSN, mayoritas proyek berlokasi di Jawa dan kawasan industri besar yang sudah mapan. Buton? Tidak ada. Padahal kalau Pak Prabowo benar ingin membangun dari pinggiran, Buton seharusnya menjadi simbol awalnya. Sayangnya, semangat kedaulatan itu berhenti di pidato, tidak pernah sampai ke tinta kebijakan.
Hilirisasi aspal Buton sebenarnya bukan hanya proyek industri, tetapi proyek nasionalisme. Ini tentang keberanian menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi bergantung pada bahan baku luar negeri untuk membangun jalannya sendiri. Tetapi ketika hal itu tidak masuk PSN, artinya pemerintah mengakui: nasionalisme kita masih sewaan.
Di balik absennya Buton, ada aroma kuat kepentingan asing yang masih bercokol dalam kebijakan infrastruktur. Impor aspal dari Singapura, Korea, dan Tiongkok masih terus mengalir. Setiap liter aspal yang kita beli, adalah uang rakyat yang dikirim untuk memperkaya industri luar negeri. Dan setiap proyek yang mengabaikan Buton, adalah perpanjangan kontrak ketergantungan.
Buton tidak butuh belas kasihan, ia hanya butuh pengakuan. Tanahnya sudah membuktikan kualitas, teknologinya sudah siap, bahkan investor lokal sudah menunggu. Tetapi negara lebih sibuk memberi ruang pada proyek yang penuh resiko, daripada pada potensi yang nyata. Mungkin karena Buton tidak punya buzzword keren seperti “green energy” atau “smart industry”.
Jika PSN memang bertujuan mengurangi kemiskinan dan mendorong pemerataan, maka pengabaian Buton adalah bukti kegagalan moral. Karena tidak ada pemerataan tanpa keberpihakan terhadap daerah penghasil sumber daya. Ketimpangan akan terus melebar, dan Indonesia Emas akan menjadi mitos yang mengkilap di layar, tetapi kosong di hati rakyat timur.
Di masa depan, sejarah akan mencatat: di antara 77 proyek besar Pak Prabowo, satu proyek kecil yang seharusnya ada, justru akan menjadi batu sandungan terbesar. Aspal Buton yang diabaikan akan menjadi simbol betapa bangsa ini pandai membangun jalan, tetapi gagal membangun kesadaran. Jalan boleh mulus, tetapi nurani kita tetap berlubang. Itulah paradoks kemajuan yang sedang kita rayakan.
Maka pertanyaannya kini, siapa sebenarnya yang sedang dibangun oleh PSN itu? Indonesia, atau kepentingan global yang menyamar sebagai pembangunan nasional? Selama Buton tidak diakui sebagai bagian dari strategi besar bangsa, maka kemerdekaan kita hanyalah formalitas. Karena sejatinya, jalan kita masih belum dari kita sendiri.

Pemerhati Aspal Buton
6 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler