x

Sebelah mata

Iklan

SUTRI HANDAYANI

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 Desember 2021

Rabu, 8 Desember 2021 23:14 WIB

Sebelah Mata

Pandangan yang selama ini saya yakini ternyata tidak seperti yang selama ini saya pikirkan. Janganlah berpikir sesuai tanpa memepertimbangkan yang lainnya dan jangan meihat sesuatu dari satu sudut saja. Karena semua hal dalam kehidupan itu bermakna luas dan berwarna warni serta banyak sudut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SEBELAH MATA

Oleh

SUTRI HANDAYANI, S.E., M.Ak. DAN JIHAN AISY NABILA F.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sinar di celah kelambu jendela, membuatku merasa silau dan terpaksa membuka kedua mataku. Sejujurnya aku malas terbangun hari ini, bagiku hari ini adalah hari yang paling menyebalkan. Yap! Hari pertamaku masuk Sekolah Menengah Atas. Mungkin terdengar sangat lebay, tapi alasan utama aku tidak ingin bersekolah adalah sekolahku ini tidak keren, jauh dari kata mewah tetapi dekat dengan kata kampungan. Aku tidak tau mengapa Ayah dan Ibu tega mendaftarkan aku ke SMA Negeri 1 Wihara.

Sebelumnya, aku sangat antuasias saat membuka hasil nilai Ujian Sekolah Menengah Pertamaku, aku yang selalu juara kelas merasa sangat yakin jika Ayah dan Ibu pasti sudah memilihkan sekolah lanjutan yang bagus, sesuai ekspetasiku. Namun, nyatanya beda. Walaupun nilai Ujianku nyaris sempurna, tapi Ibu malah sudah mendaftarkan aku di SMA Negeri Wihara. Uh.. aku sangat kesal dengan keputusan Ibu. Ingin hati marah dan mengatakan, “Bu.. Bila daftar di SMA Negeri Pelita aja ya? Bila tidak mau di SMA Negeri Wihara karena teman-teman Bila juga banyak yang di Pelita, Bu..”, namun rayuanku hanya dianggap angin lalu oleh Ibu. Walaupun aku merengek selama lima jam di kamar, Ibu juga tak kunjung datang untuk mengganti keputusannya. Dan akhirnya datanglah hari ini. Hari yang paling kubenci.

****

“Pagi putri cantikku… Gimana semalam tidurnya nyenyak? Ah.. Ibu tau.. pasti tidak bisa tidur ya karena sudah tidak sabar masuk sekolah? Sudah deh, kamu harus tau ya kalau Ibu jelas memilihkan sekolah yang terbaik untuk kamu. Kamu jangan cuma lihat fisik sekolahnya dong. Kualitas SMA Wihara itu bagus banget sayang. Muridnya sederhana, baik-baik pula. Dan yang terpenting disana itu kamu bakal  punya teman yang sebanding sama kamu.”

Sungguh menyebalkan sekali sapaan Ibu pagi ini. Apa Ibu tidak melihat wajahku yang sudah jutek sepeti kudanil sih? “Sebanding apa sih, Bu? Sama-sama kampungnya gitu? Males banget. Paling mereka juga tidak asyik dan membosankan, beda dengan siswa-siswi Pelita.” Sanggahku. Aku malas dengan Ibu yang selalu memuji SMA Wihara. Padahal Ibu dulu lulusan SMA Pelita tetapi mengapa malah mujinya Wihara sih.

“Bila, apa yang kamu  katakan sih? Itu berlebihan sekali. Siapa yang sudah mengajari kamu tentang menilai seburuk itu? Kadang apa yang kamu anggap baik belum tentu itu yang terbaik untuk kamu begitupula sebaliknya. Mungkin awalnya kamu kesal dengan Ibu karena keputusan Ibu ini tapi Ibu yakin kok kalau kamu bakal bersyukur nanti.” Selepas mengatakan hal tersebut Ibu tersenyum dan mengelus kepalaku. Aku tidak tau apa saja alasan Ibu, tetapi rasanya semua perkataan Ibu mengandung banyak teka-teki, semoga saja keputusanmu benar,Yah.

“Sayang, Pak Tono sudah manasin mobil, gih berangkat, nanti telat loh.” Ibu mengantarku ke depan rumah, disusul dengan Ayah. Mereka berdua tersenyum manis, seperti sangat amat senang melihatku sekolah. Ah tidak… setiap hari juga Ayah dan Ibu selalu tersenyum manis padaku, tapi senyuman pagi ini rasanya lebih bahagia.

****

Sembari perjalanan menuju sekolah, aku sudah memikirkan banyak hal-hal buruk yang akan terjadi padaku di sekolah nanti. Mulai dari teman yang menjengkelkan, teman yang bodoh, sekolah yang menyeramkan dan berhantu karena bangunannya lama, kantin yang makanannya tidak sehat sampai ke guru-guru yang tidak berakreditasi. Sudahlah, kepalaku hampir pecah rasanya hanya karena memikirkan hal tersebut.

 “Non Bila.. Sekolah itu ibarat rumah kedua. Mau bagaimanapun kondisinya, itu akan tetap menjadi rumah kedua Non Bila. Non Bila harus bisa beradaptasi, Bapak tau kalau Non tidak suka disana ya? Tapi Non Bila harus betah, harus mau akrab sama teman disana dan berpikiran positif dong Non… pilihan Tuan besar tidak mungkin salah, buat Non Bila kan tidak mungkin diberikan yang terburuk. Semangat Non, intinya Non harus berbuat baik sama siapapun disana, karena kesan pertama bakal selalu diingat sama lawan bicara Non.. Nah sudah sampai, ayuk Non turun..” Ucap Pak Tono. Jujur, kata-kata Pak Tono membuatku merasa tenang sekali.. walaupun pikiran-pikiran burukku masih setia hinggap di kepala.

****

Kesan pertama menginjakkan kaki di SMA Wihara.. tidak buruk. Malah menurutku sekolah ini cukup asri dan luas. Satpamnya ramah sekali saat menunjukkan denah sekolah. Memang benar, sekolah ini tidak mewah, tetapi tidak kampungan juga sih. Sepertinya aku sedikit kepagian karena upacara Pengenalan Masa Orientasi belum dimulai dan banyak siswa yang belum datang.

Aku mengamati satu-persatu siswa yang bermunculan. Tetapi semuanya terlihat bersih dan rapi. Tidak urakan dan juga mereka sangat ramah jika bertatapan mata mereka pasti akan tersenyum dan mengangguk. Saat aku asyik melamun memikirkan beberapa kesan positif hari pertama sekolah di WIhara, tiba-tiba,

“Halo.. Salam kenal.. Aku Diandra. Maaf nih sok akrab. Boleh minta tolong titip tas sebentar tidak? Sebentar saja, janji tidak lama deh.” Ucap sosok berambut pendek dan bermata cokelat yang tiba-tiba datang dan menitipkan  tas padaku. Hei.. dia pikir aku penjaga tas gitu? Baru kenal kok nyuruh-nyuruh sih. Bikin kesal! Tetapi, ah sudahlah berbuat baik sekali tak apa deh.

Beberapa saat setelahnya, sosok yang bernama Diandra itu datang dengan wajah penuh keringat,

“Terima kasih ya, maaf  lama.. pasti kamu kesal ya. Sekali lagi maaf, ini aku ada makanan untuk kamu. Di makan ya.. itu ibuku yang bikin.” Ucap Diandra. Wajahnya nampak lelah.

“Eh.. Tidak apa-apa kok. Kamu kenapa? Kok sepertinya capek banget?“ Kan, jiwa-jiwa kepoku muncul.

“Hum… Tadi ada anak SMA Pelita nabrak murid sini. Aku langsung kesana untuk membantu mereka. Karena kecelakaanya cukup parah. Anak Pelita mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan akhirnya menabrak siswa Wihara, sayangnya.. siswa Wihara yang kalau tidak salah namanya Raka tadi..”

“Tadi kenapa.. Heii.. lanjutin dulu dong..” Tekanku pada Diandra, aku sudah tidak sabar mendengar kelanjutannya.

“Dia meninggal di tempat. Kecelakaannya cukup parah. Dan walaupun kasus ini dibawah ke pengadilanpun pasti sudah jelas putusannya.”

“Jelas gimana Di..? Jangan setengah-setengah kalau ngomong.” Diandra ini ngeselin banget. Aku sudah penasaran banget, eh.. dia malah setengah-setengah ngomongnya.

“Masa kamu tidak tau sih? Eh iya namamu siapa? Sampai lupa aku belum nanya.”

“Ih.. kok malah ngalihin topik sih. Oke.. daripada kamu nanya mulu, kenalin aku Bila. Oke sekarang lanjutin ceritamu.”

Diandra langsung menceritakan semuanya. Responku hanya menganga dan menggeleng tidak percaya. Lalu terdengar suara,

“Nak.. kok malah ngobrol mulu di taman, hayuk ke lapangan, sudah waktunya upacara ini.” Ucap salah satu guru Wiharra padaku dan Diandra. Kami langsung berlari ke lapangan sekolah dan bergegas baris secara asal karena memang belum ada pembagian kelas. Tentunya upacara pembukaan kali ini tidak akan menarik perhatianku karena pikiranku sudah tak tentu arah, memikirkan segala ucapan Diandra. Satu hal yang pasti, aku akan mencoba menjalani masa-masa sekolah di Wihara ini dengan sepenuh hati. Entah mengapa, cerita Diandra membuatku merasa tersentil, mungkin ini memang yang dimaksud “Pilihan Ibu yang terbaik” kata Pak Tono.

****

3 tahun kemudian….

Tak terasa.. hari ini adalah hari kelulusanku. Tiga tahun yang lalu aku sangat membenci sekolah ini beserta dengan isi-isinya, tetapi setelah semua berlalu menurutku sekolah ini adalah sekolah terbaik. Hari-hari yang aku lalui terasa sangat singkat. Diandra, Reinan, Naila dan teman-teman lain sungguh baik. Mereka lebih baik dari teman-teman lamaku di Sekolah Menengah Pertama dulu. Disini aku merasakan apa itu solidaritas, apa itu pertemanan sejati, dan yang jelas persaingan disini sangat ketat. Rata-rata temanku tidak lahir dari keluarga kaya. Kebanyakan mereka merupakan anak petani, nelayan dan pedagang. Mereka jauh-jauh sekolah di kota dengan tujuan ingin pandai bukan ajang pamer kemewahan. Pantas saja tidak ada satupun barang branded yang mereka gunakan. Namun, mereka berhasil dengan tujuannya. Tanpa les mahal, berbekal buku usang bekas, mereka belajar dengan giat. Saat ulanganpun nilai mereka sangat bagus. Hal ini membuatku keteteran karena terkadang nilaiku dibawah mereka. Sungguh persaingan yang sangat ketat. Guru-guru disinipun memiliki metode belajar yang berbeda dan unik. Yang jelas jika ada satu murid saja yang belum paham maka materi akan diulang sampai murid tersebut paham. Karena Wihara selalu ingin memberikan yang terbaik untuk muridnya, di luar sana percontekan,pembelian soal dan kecurangan-kecurangan lain kerap terjadi dan menimbulkan hal buruk di masa depan bagi para pelakunya. Hal tersebut membuat SMA Wihara was-was. Oleh sebab itu, SMA Wihara berusaha keras mendidik karakter dan juga memberikan ilmu yang bermanfaat di masa depan.

Masa sekolahku menjadi berwarna. Tiga tahun yang lalu, Diandra bercerita bahwa SMA Pelita merupakan SMA kalangan elite yang sering berbuat onar, seenaknya dan curang. SMA tersebut kerap melakukan diskriminasi terhadap siswa yang kurang mampu. Bahkan sampai ada aksi sogok uang diam-diam yang hanya berlaku untuk siswa kaya yang ingin mengganti nilai rapotnya agar bisa masuk ke perguruan tinggi. SMA Pelita selalu menghalalkan segala cara agar bisa menjadi SMA favorit padahal dibalik semua itu, banyak siswa yang kehilangan haknya untuk berkuliah.

“Kamu tau, Bil? Aku memiliki sepupu yatim, namanya Nina. Dia sangat ingin bersekolah di Pelita dan keinginannya terkabul. Nina itu tidak kaya Bil, biasa saja dan dia bersekolah juga agar bisa pandai. Hanya itu tujuannya. Dia gadis polos dengan segudang mimpi dan cita untuk menjadi dosen. Namun, sepertinya dia kurang beruntung disana. Di Pelita ada sistem kasta. Yang miskin akan ditindas dan dirundung, dijadikan pembantu. Guru-guru disana pun tau tentang kelakuan bejat muridnya itu tetapi mereka diam saja tidak bertindak apa-apa. Dan kamu tau, Bil? Nina sekarang dimana? Apa Nina sudah jadi dosen? Tidak, Bil. Nina meninggal. Dia diperkosa dan dibunuh oleh teman kelasnya. Sampai detik ini, kasus meninggalnya Nina tidak pernah ditindaklanjuti pihak kepolisian atau bahkan mungkin sudah ditutup kasusnya. Yang jelas almarhumah Ayah Nina disana pasti amat sedih.. ah tidak.. mereka pasti disana sudah saling bertemu. Namun jujur, aku sedih karena Nina meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Sama halnya dengan kasus Raka, biarpun sudah jelas siswa Pelita yang menabrak tapi kasus ini tidak akan sampai di meja hijau. Pelita itu bukan sekolah yang layaknya rumah Bil, Pelita itu neraka.” Ucap Diandra tiga tahun lalu sebelum upacara Masa Orientasi Siswa dimulai. Aku selalu sedih mendengar kisah buruk itu. Nina dan Raka atau mungkin masih banyak korban  lainnya, aku turut berduka cita pada mereka. Aku berharap mereka tenang disana. Dan tiga tahun yang lalu aku berharap SMA Pelita tidak seperti itu lagi.

Sepertinya doaku dulu dikabulkan hari ini, sidang pertama SMA Pelita atas 340 kasus pembunuhan, perundingan dan tindakan buruk lainnya akan dilaksanakan. Aku dengar kabar dari Reina katanya akreditasi SMA Pelita akan turun drastis, entahlah bagaimana nasib murid-murid disana.  Mungkin mereka akan sedikit kesulitan untuk mendaftar kuliah karena reputasi buruk SMAnya.

“Sayang.. Selamat ya jadi lulusan terbaik Wihara… Ibu  bangga sama kamu..”

“Ayah juga bangga sekali sama kamu, Nak! Setelah ini kita adain tasyakuran ya? Undang semua teman-teman kamu ke rumah, kita makan-makan bersama, gimana?” Tanya Ayah.

“Makasih Ayah Ibu… setuju banget sama ide Ayah. Makasih ya Ibu.. maaf dulu aku sempat berpikir jika Ibu jahat dan tega karena menyekolahkan aku disini padahal keinginan Ibu itu tujuannya baik sekali. Makasih.. kalian orang tua terbaiknya Bila..!”

“Ya sudah ayo sekarang foto-foto dulu sama teman-temanmu.” Ibu menyuruhku berkumpul dengan teman-teman angkatan dan berfoto untuk kenang-kenangan. Kata Ibu momen SMA itu momen paling indah dan dirindukan jadi harus sering diabadikan.

Aku dan teman kelas langsung berpose sebanyak mungkin saat Ayah mengarahkan kameranya pada kami. Tawa canda dan semua kenangan ini akan selalu berputar indah dimemoriku.

Menurutku, sekolah di Wihara memberi banyak kesan. Semua yang kelihatan buruk belum tentu berakhir buruk dan semua yang terlihat baik seperti Pelita belum tentu sebaik yang aku bayangkan. Dimanapun aku berpijak, aku tidak akan menilai hal-hal yang terlihat secara sekilas. Akan kurasakan setiap momen yang ada. Karena segala bentuk kebaikan, kasih sayang jauh lebih indah ketimbang kemewahan semata. Semua niat baik akan selalu berbuah baik, di Wijaya semua orang selalu berpikir positif dan memberikan aura hangat bagai keluarga dan rumah kedua seperti kata Pak Tono.

“Eh Bil, kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Kesambet setan pohon beringin ya? Kan sudah kubilang jangan suka melamun begitu.”

“Apaan sih Di… rese banget kamu.. awas ya Diandra Lisdianti!!”

Kisah hidupku terus berlanjut, aku harap bagaimanapun keadaanya semua orang yang kusayang selalu dijauhkan dari orang-orang jahat.

Ikuti tulisan menarik SUTRI HANDAYANI lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu