x

Gambar oleh stokpic dari Pixabay

Iklan

Salsabilla Cleopatra

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Desember 2021

Kamis, 30 Desember 2021 17:45 WIB

Eksklusivitas Sekolah dan Learning Loss dalam Dunia Pendidikan

Oleh Salsabilla Cleopatra, mahasiswi Pendidikan Sosiologi FIS UNJ.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pendidikan merupakan hal yang esensial dalam kehidupan. Pendidikan menjadi upaya untuk memanusiakan manusia, melalui pendidikan pula manusia pada umumnya mencari pemecahan terhadap berbagai persoalan yang ada. Kehadirannya yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat di seluruh dunia telah menjadi indikator kemajuan suatu bangsa.

Adapun pendidikan Indonesia diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 Bab II Pasal 3 yang menyatakan tujuan pendidikan nasional, dan tercantum pula dalam Undang-undang Dasar 1945 alinea keempat salah satunya yaitu bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah Indonesia melaksanakan berbagai kebijakan. Diantaranya yaitu masyarakat Indonesia sudah tidak asing lagi dengan istilah wajib belajar hingga jenjang SMA, dimana pemerintah telah memperluas akses pendidikan gratis yang awalnya Wajib Belajar 9 Tahun kemudian ditambah 3 tahun lagi. Tepatnya pada tahun 2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mencanangkan program Wajib Belajar 12 Tahun untuk seluruh warganya agar minimal berpendidikan SMA. Oleh karena itu, setiap anak dari seluruh lapisan masyarakat mulai dari usia 6-7 tahun harus menempuh pendidikan dasar, dilanjutkan dengan pendidikan menengah, hingga pendidikan akhir di sekolah yang tersedia. Namun atas dasar itulah yang menyebabkan sekolah menjadi eksklusif. Artinya, sekolah telah diyakini sebagai satu-satunya sarana dalam memperoleh pendidikan.

Hal tersebut sebagaimana inti gagasan Ivan Illich dalam kritiknya terhadap pendidikan. Ivan Illich adalah seorang teolog Eropa dan juga tokoh pendidikan yang dikelompokkan sebagai pemikir humanis radikal. Melalui bukunya dengan judul Deschooling Society (Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah) yang pertama kali terbit pada tahun 1970, Illich menuangkan kritik terhadap model pendidikan di sekolah. Bermula ketika negara tempat tinggalnya yakni Amerika menerapkan program wajib belajar 12 tahun, namun menurutnya pendidikan yang berlangsung di Amerika Latin saat itu tidak mampu menjawab bahkan menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh siswa. Meskipun pemikirannya dilatarbelakangi oleh situasi di Amerika Latin, namun rasanya masih selaras dengan kondisi dunia pendidikan Indonesia saat ini.<--more-->

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adanya pewajiban sekolah selama waktu yang ditentukan justru menimbulkan anggapan dalam masyarakat Indonesia bahwa kelompok masyarakat yang sedang menempuh pendidikan di sekolah atau telah lulus dari sekolah sebagai orang yang berpendidikan. Sedangkan sebaliknya, mereka yang tidak bersekolah dianggap terbelakang. Makna pendidikan hak setiap orang untuk belajar justru dipersempit oleh kewajiban sekolah, dimana institusi sekolah sudah dianggap sebagai lembaga yang seakan-akan identik dengan pendidikan. Realitas pemikiran masyarakat sudah terbangun bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidkan (Illich, 2000, hlm.3).

Situasi ini mendorong ketergantungan masyarakat terhadap sekolah. Orangtua dari kelas bawah menyerahkan seluruh urusan pendidikan anaknya ke sekolah agar memiliki bekal ilmu  pengetahuan yang tidak lain bertujuan untuk mendapat pekerjaan yang layak sebagai sarana mobilitas sosial. Jangankan turut mengurus pendidikan anaknya, hari-hari mereka diisi dengan perjuangan memenuhi kebutuhan termasuk untuk membiayai keperluan pendidikan anak-anaknya. Kemudian orangtua dari kelas menengah menitipkan anaknya ke sekolah agar tidak berakhir seperti anak-anak dari masyarakat kelas bawah. Sedangkan orangtua dari kelas atas beserta sumber daya yang dimilikinya dapat dengan mudah memfasilitasi keperluan pendidikan anak-anaknya di sekolah untuk mempertahankan kekayaan. Orangtua dari berbagai kalangan baik kaya maupun miskin sama-sama mengalami ketergantungan ini, sehingga pada umumnya mereka tidak mau tahu mengenai apa yang ingin anaknya pelajari. Mereka lebih peduli akan ijazah sebagai syarat mendapat pekerjaan layak untuk menghasilkan uang ketika lulus sekolah.

Sekolah membelokkan keinginan dasar manusia untuk belajar menjadi kebutuhan untuk masuk sekolah (Illich, 2000 hlm. 81). Pengajaran yang diwajibkan di sekolah membunuh kehendak banyak orang untuk belajar mandiri, pengetahuan dilakukan ibarat komoditi, dikemas-kemas dan dijajakan yang berimbas pada kemampuan belajar siswa sehingga mengakibatkan hilangnya makna belajar yang diakibatkan dari ketumpulan kurikulum itu sendiri (Illich, 1997, hlm. 143). Terdapat kurikulum tersembunyi di setiap sekolah yang menjadi kerangka kerja sistem atas perubahan kurikulum, dimana pendidikan telah berubah menjadi sebuah komoditas bagi sekolah dalam memonopoli pasar. Sehingga menimbulkan keyakinan dalam masyarakat bahwa kehidupan yang sukses dapat ditempuh melalui sekolah. Banyaknya jumlah pengajaran maka dianggap semakin baik hasilnya, atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan. Pengajaran disamakan dengan belajar, kini yang diutamakan dari pendidikan sebatas nilai dan ranking. Ijazah yang dijadikan sebagai acuan hanyalah bukti seseorang telah lulus dari sekolah, dan tidak bisa menjamin bahwa orang tersebut telah memiliki keterampilan. Padahal, belajar berarti memperoleh ketrampilan baru, sedangkan promosi peran atau jenjang sosial tergantung pada pendapat yang dibentuk oleh orang-orang lain (Ivan Illich, 1971: 4). Situasi tersebut dapat disebut dengan learning loss.<--more-->

Kondisi tersebut merupakan realitas yang selama ini terjadi dalam dunia pendidikan Indonesia, selaras dengan pernyataan Illich bahwa sekolah mengelompokkan orang dari segi umur berdasarkan pada tiga premis yang diterima begitu saja: hadir di sekolah, belajar di sekolah, dan hanya bisa diajar di sekolah. Sekolah memakan waktu sepanjang tahun, dan harus hadir di kelas selama beberapa jam sehari (Illich, 2002 hlm. 127). Sekolah bukan lagi kegiatan yang dilakukan di waktu luang, malah sebagai waktu inti dalam kegiatan sehari-hari. Justru hampir seluruh waktu anak-anak dihabiskan untuk kegiatan sekolah. Hal itu diperparah ketika Indonesia dihadapkan dengan pandemi covid-19 dan sektor pendidikan terkena imbasnya. Kurang siapnya pemerintah dalam mengatasi kemungkinan terburuk dalam dunia pendidikan: sebelumnya tidak pernah disangka adanya kehadiran pandemi yang melumpuhkan seluruh kegiatan publik. Kebijakan pembelajaran jarak jauh membuat pendidik maupun orangtua tentu merasakan kesulitan yang nyata, dimana guru kesulitan dalam menenrukan media yang sesuai unruk menyampaikan materi pembelajaran, sedangkan orangtua yang selama ini bergantung kepada sekolah mau tidak mau harus meluangkan lebih banyak waktu untuk mengurusi pendidikan anak-anaknya. Akhirnya proses pembelajaran tidak mendapatkan esensi dari pendidikan itu sendiri sehingga tidak dapat meningkatkan kualitas peserta didik.

Padahal pendidikan dapat diperoleh dimanapun dan kapanpun. Masih banyak sarana pendidikan selain sekolah: alam sekitar dan lingkungan sosialnya. Dibuktikan ketika orang-orang didesak untuk menjawab pertanyaan dari manakah mereka mendapatkan pengetahuan yang berharga bagi dirinya, mereka mengakui bahwa hal itu lebih banyak diperoleh di luar sekolah daripada di dalam sekolah. Pengetahuan mereka mengenai fakta, mengenai kehidupan dan cara kerja lebih banyak diperoleh dari persahabatan dan cinta, menonton film, membaca, contoh dari teman sebaya atau dari tantangan yang mereka jumpai di jalan dan lain-lain. Bagi Illich, pendidikan itu tentang kebebasan pendidik dan peserta didik menentukan apa yang ingin mereka pelajari kapanpun mereka mau. Pendidikan bersifat universal yang berarti tidak bisa dibatasi oleh umur, kelas, ataupun waktu.

 

Referensi

Mu’ammar, M. A. (2016). Gagasan Pendidikan Ivan Illich (Sebuah Analisis Kritis). At-Ta'dib, 3(2).

Muthohar, S., Syukur, F., & Junaedi, M. (2020). PEMIKIRAN PENDIDIKAN PROGRESIF IVAN ILICH DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM DI ERA MILLENIAL. EL TARBAWI, 13(1).

Zulfatmi, Z. (2013). Reformasi Sekolah (Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ivan Illich). JURNAL ILMIAH DIDAKTIKA: Media Ilmiah Pendidikan Dan Pengajaran, 14(1).

Ikuti tulisan menarik Salsabilla Cleopatra lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB