x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 4 Januari 2022 07:20 WIB

Pada 2016, PKL Bandung Bunuh Diri di Kota Ramah HAM

Tulisan lama tahun 2016 terkait kejadian bunuh diri tersebut dalam konteks penghilangan JPO Asia Afrika desember tahun 2021 ini sekaligus narasi penghilangan memori kolektif warga kota Bandung seorang PKL yang bunuh diri akibat proses penggusuran dan penghancuran ruang nafkah karena proses beautifikasi Alun-Alun Bandung oleh walikota Ridwan Kamil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada Desember 2021 Jembatan Penyebrangan Orang (JPO) di jalan Asia AfrikaBandung itu akhirnya dihilangkan. Selain tidak berfungsi layaknya JPO juga mengurangi estetika lansekap alun-alun dan jalan Asia Afrika yang bersejarah termasuk menutupi dua gedung heritage, yaitu Gedung Pos pertama di Indonesia dan Gedung Swarha yang dikenal sebagai hotel ketika konferensi Asia Afrika tahun 1955. Sejak tahun 80an beralih menjadi toko sandang hingga sekarang.

Penghancuran JPO ini pun seolah menjadi penutup jejak memori historis warga yang berada atau banyak melakukan aktivitas di sekitar alun-alun kota Bandung.

Di era pemerintahan walikota Ridwan Kamil, alun-alun kota Bandung dipermak menjadi area turisme dan wahana selfie walau dengan kosmetik rumput plastik. Istilah modernisasi, menghilangkan kekumuhan dan menaikan indeks kebahagian warga seolah menjadi jargon utamanya. Impikasinya adalah pembersihan dan penggusuran area alun-alun dan sekitarnya dari PKL seperti yang terjadi di Dalem Kaum tahun 2016 lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hubungan dengan JPO ini sebagai memori kolektif warga alun-alaun adalah terdapat jejak warga seorang PKL yang bunuh diri karena dagangannya di rampas lalu dibakar oleh aparat atas perintah walikota Ridwan Kamil dalam proses penertiban dan beautifikasi area komersial alun-alun Bandung. PKL ini distigma sebagai penduduk illegal, sampah masyarakat, bukan orang yang ber KTP Bandung hingga dianggap berjualan di tempat illegal. Stigma rasis dan fasis ini seolah tidak memperbolehkan warga yang tidak ber KTP Bandung untuk mencari rejeki di kota ini, stigma terhadap warga miskin yang tidak boleh ada di kota oleh kelas menengah yang ingin kotanya terlihat nampak bersih, cantik dan modern.

Sebelum JPO Asia Afrika di alun-alun ini di bongkar di akhir tahun 2021,  tahun 2016 lalu, warga kota Bandung dikejutkan dengan beredarnya video berdurasi 39 detik di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang berada dekat Alun-Alun Kota Bandung, Jumat (1/7/2016). Video tersebut memperlihatkan orang jatuh dari atas JPO dengan ketinggian sekitar 15 meter, sekitar jam 13.00 selepas salat Jumat di Masjid Agung.

Asumsinya hanya dua, kecelakaan atau bunuh diri. Sebab, yang bersangkutan hanya sendiri berada di lokasi tersebut. Maka bunuh diri menjadi narasi yang kemudian diamini oleh publik. Namun, kita mesti lihat juga kenapa hal tersebut sampai terjadi di kawasan Alun-Alun Kota, di pusat keramaian perniagaan/perdagangan dan wisata religi Masjid Agung.

Kejadiannya terjadi di JPO yang berada di sisi kiri Masjid Agung dan Alun-Alun Bandung, tepat di depan gedung PT Pos dan berada di samping Pos Polisi. Terlihat minim sekali upaya pihak berwenang (Satpol PP/Polisi) dalam pencegahan dengan cara komunikasi atau misalnya dengan cara menghentikan/mensterilkan sebagian ruas jalan arus lalu lintas sementara untuk melakukan advokasi terhadap warga tersebut ketika secara tidak lazim naik ke atas megatron di atas JPO tersebut sebelum menjatuhkan diri. Akhirnya video (bunuh diri) itu tersebar luas melalui viral media sosial.  Lokasi ini juga hanya berjarak sekitar 100 meter dari rumah dinas Walikota Bandung saat ini, Ridwan Kamil.

Kejadian ini juga hanya berjarak sekitar 200 meter dari Gedung Merdeka tempat berlangsungnya Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 yang mendorong adanya persamaan dan penegakan HAM yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dalam upaya menentang kolonialisme dan memperjuangkan persamaan hak dasar sebagai bagian dari peradaban manusia. Soekarno juga yang mencetuskan Marhaen, yang dalam salah satu pengertiannya sama dengan “wong cilik”.

Dalam buku otobiografi Soekarno yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, di kota Bandung inilah Soekarno tergabung dalam kelompok diskusi “Algemene Studie Club” dan mulai menggunakan istilah Marhaen dalam diskursus kelas atau susunan sosial masyarakat Indonesia. Dalam buku yang sama, Soekarno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai Marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan.  Citra PKL menggunakan gerobak, maka PKL adalah Marhaen.

Di Gedung Merdeka ini pula Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung mengumandangkan “Bandung sebagai Kota Ramah HAM” dalam rangkaian acara Konferensi Asia-Afrika ke-60 pada tahun 2015 yang meriah dan gegap gempita itu. Juga penggunaan citra Soekarno yang diduplikasi secara visual oleh pemimpin kota Bandung tersebut.Murujuk relasi Soekarno dalam konteks KAA dan atribut lainnya yang menempel akibat peristiwa itu, maka Pemerintah Kota Bandung mengubah Jalan Cikapundung Timur menjadi Jalan Sukarno pada November 2015 dan membiarkan jalan Cikapundung Barat menjadi sendirian, alias jomblo, sejalan dengan ungkapan jomblo yang sering dilontarkannya.

Merujuk kondisi di atas, kejadian bunuh diri tersebut berada di Jalan Asia-Afrika. Merupakan jalan paling tua dan bersejarah dalam pembentukan kota Bandung yang juga merupakan ruas bagian dari Jalan Groote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibangun pada tahun 1811 oleh Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Belanda. Soekarno dalam KAA 1965 mengumandangkan perlawanan terhadap kolonialisme di jalan ini yang secara tidak langsung merujuk kepada perilaku Daendels dalam membangun jalan ini yang telah memakan banyak korban jiwa.

Kematian warga di jalan ini mengingatkan kepada sejarah jalan ini yang membentang sepanjang 1000 km melintasi Pulau Jawa dan menelan sekitar 30 ribu koeli pribumi. Kalau diambil rata-rata maka setiap kilometer menelan 30 korban jiwa. Jalan Asia Afrika ini sekarang hanya sepanjang 1,5 km dari persimpangan Jalan Sunda menuju ke persimpangan Jalan Oto Iskandardinata. Dan di jalan ini juga terdapat Tugu Titik 0 (Nol) Bandung yang bersejarah itu.

Jadi bila menggunakan persamaan 1 km = 30 korban jiwa pada zaman Daendels, maka menggunakan analogi sempit, pada zaman Ridwan Kamil pada Jalan Asia-Afika sepanjang 1,5 km ini secara tidak langsung sudah mencatat ada 1 korban jiwa. Keduanya berada di ruas jalan yang sama dan telah memakan korban akibat pemberlakuan kebijakan walaupun berbeda jenisnya. Yang satu kerja paksa membangun dan yang satu pemaksaan pendisiplinan warga untuk sisi lain kesuksesan pembangunan.

Karena sepanjang kepemimpinan walikota di Bandung dari dulu hingga sekarang, baru kali ini ada penertiban PKL yang berakhir dengan PKL-nya bunuh diri.  Apakah pola kerja penguasa kota dan pembangunan di Bandung akan kembali pada era Daendels yang tidak ramah HAM? Upaya Soekarno dalam KAA 1955 dan juga kumandang Bandung Kota Ramah HAM 60 tahun kemudian terjadi di jalan yang sama dengan peristiwa bunuh diri ini. Kejadian kematian warga ini sungguh telah mengkhianati itu semua.

Ketika penguasa membiarkan/membuat warganya mati dalam melindungi hak penghidupannya di kota, maka apa arti HAM dalam benak penguasa kota yang mendengungkan kotanya ramah HAM. Warga tersebut bukan tanpa identitas. Tapi bernama Ciptadi yang berasal dari Kebumen dan berusia 54 tahun. Ciptadi adalah PKL yang hanya berjualan teh botol dan minuman ringan dengan gerobak dorong di ujung Jalan Dalem Kaum yang bersimpangan dengan Jalan Oto Iskandardinata, sebelum Jalan Dalem Kaum itu dibersihkan dari PKL yang menurut peraturan berada pada zona larangan berdagang

Pembersihan PKL di jalan ini dilakukan demi kepentingan KAA tahun 2015 oleh penguasa kota untuk menunjukkan citra kota Bandung yang ‘indah’ di mata para pengunjung dan media internasional yang teribat dalam perhelatan akbar tersebut. Jalan Dalem Kaum kadung telah menjadi lokasi perdagangan komoditi yang merakyat dan mampu diakses oleh kelas masyarakat menengah ke bawah.

Selain pusat perkulakan busana, salah satu komoditi yang khas di Dalem Kaum adalah DVD film atau CD musik bajakan. Maka area lapak Kota Kembang di Jalan Dalem Kaum merupakan destinasi wajib dikunjungi selain area belanja busana, alun alun itu sendiri, dan Masjid Agung.  Akhirnya lapak CD/DVD emperan ini memang menjadi ciri khas yang lain dari Dalem Kaum, sebelum kedai-kedai film bajakan elit bermunculan di lokasi-lokasi lain dalam bentuk café, showroom, atau di mall megah.

Ketika masuk dari arah Pasar Baru, yaitu Jalan Oto Iskandardinata, maka kita akan parkir kendaraan (khususnya motor) di seberang Toko Bakmi Parahyangan atau Toko Emas ABC. Di sebelahnya kita akan menemukan satu pos parkir yang dikelola oleh Dishub untuk retribusi parkiran mobil dengan tarif Rp2000 kadang sampai Rp5000 yang berderet sepanjang Jalan Dalem Kaum. itu pun kalau kebagian. Kalau tidak, terpaksa memutari alun-alun untuk kembali ke lokasi masuk semula.

Parkiran motor pengunjung dengan tarif Rp1000 sampai Rp2000 akan terbentang sepanjang pertokoan dari arah Jalan Oto Iskandardinata hingga lapakan CD/DVD bajakan tadi. Tarif parkir ini tentu saja lebih mahal dari tarif parkir resmi. Dan itu sudah lumrah terjadi. Tapi tidak apa demi kepuasan belanja, piknik, dan hiburan murah-meriah.

Di lokasi parkiran motor tadi persis di dekat pos dan toko emas, Ciptadi berjualan teh botol dan minuman ringan lainnya. Walaupun Ciptadi tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) kota Bandung dan dianggap penduduk ilegal, apakah sebagai warga Indonesia yang tidak menyusahkan negara atau kota yang dia tinggali untuk hidup dan memperbaiki hidup, warga seperti Ciptadi, tidak berhak berada dan hidup di kota Bandung?

Ciptadi tentu saja seorang Marhaen, yang dibela oleh Soekarno. Mirisnya, dia meninggal dengan bunuh diri di lokasi tidak jauh di mana Soekarno berkumandang tentang kelas masyarakat yang dibelanya dulu dan juga di depan deretan poster Soekarno yang berjajar sepanjang Jalan Asia-Afrika yang disetting oleh penguasa kota untuk selebrasi penghormatan atas Soekarno. Miris, memang.

Kabar yang beredar, Ciptadi  ini adalah tunawisma. Tapi mesti dilihat juga, tunawisma yang bagaimana? Apakah gelandangan tanpa kerja? Atau memiliki kerja walau pada sektor informal seperti PKL namun memang tidak memiliki rumah tinggal tetap karena tidak mampu untuk memiliki rumah atau mengontrak kamar sempit?

Saya rasa, Ciptadi berada di kategori kedua. Sebagai tunawisma dengan kerja sebagai PKL yang tidak membebani negara/kota. Pekerjaan sebagai PKL dilakukan karena keterbatasan kemampuan dan ketidakmampuan negara/kota menyediakan lapangan kerja formal untuk warganya tapi warga tersebut harus tetap bertahan hidup untuk dirinya atau untuk keluarganya.

Pilihan hidup dan pekerjaan informal di jalan agar tetap dekat dengan barang dagangannya juga tidak boleh  dianggap sebagai tunawisma semata. Bisa juga memang karena ketidakmampuan tadi. Ketika negara/kota tidak mampu menyediakan akses kebutuhan warganya, pekerjaan ataupun hunian, maka tidaklah pantas untuk memperlakukan seperti kriminal dengan melakukan tindakan represif mereka  yang hanya coba bertahan hidup. Apalagi menggunakan militer atau paramiliter hanya untuk menjaga citra kota demi kejayaan pembangunan modernitas kota yang tidak semua warga merasakannya.

Ciptadi bukan loncat karena lari dikejar Satpol PP. Terlepas dari permasalahan pribadinya, ada hal yang nyata terjadi bahwa dia bunuh diri karena frustasi barang dagangan diambil Satpol PP pada hari Jumat pagi hari (1/7/2016).

Pada waktu yang bersamaan, para PKL di Jalan Dalem Kalum melakukan protes kepada Satpol PP yang kantornya berada di ujung Jalan Dalem Kalum, bersebelahan dengan Masjid Agung. Protes PKL dilayangkan terkait tindakan penggusuran PKL dan pengambilan barang dagangan mereka yang sudah sering terjadi. Dan akhirnya protes tersebut berujung bentrok dan rusuh.

Nah, apakah pemicu rusuh ini juga terkait dengan terdengar kabar bahwa salah satu rekan PKL mereka, Ciptadi, telah meninggal akibat bunuh diri? Waktu protes dan bunuh diri terlampau pendek, hanya berselang hitungan antara 1-2 jam saja pada lokasi yang  sangat ramai oleh aktivitas salat Jumat di Masjid Agung dan bisnis perniagaan. Sehingga rentang waktu kejadian sangat singkat.

Wajar saja jika hubungan kejadian itu ditarik dalam satu frase kejadian. Terlebih dua kejadian itu bermuara sama, akibat upaya pendisiplinan PKL yang dilakukan secara represif pada waktu pelaksanaannya. Akibatnya tidak hanya Satpol PP yang dikerahkan untuk melakukan pendisiplinan ini,militer pun keluar dari baraknya lengkap atribut dan senjata laras seolah akan menuju medan tempur melawan publik tidak bersenjata di ruang publik.

Kalau pun Ciptadi seorang tunawisma dan tidak ber-KTP Bandung, memangnya boleh dikejar sampai ketakutan hingga jatuh mati? Sebenarnya peristiwa  seperti ini juga pernah terjadi di kota Bandung beberapa tahun silam. Menyangkut pengayuh becak yang bunuh diri karena becaknya diambil Satpol PP.

Definisi tunawisma juga terkadang kabur. Apakah tunawisma akan selalu diidentikkan dengan masyarakat miskin kota yang pantas dikejar-kejar? Apakah tunawisma juga tidak melekat kepada para turis yang selang melancong ke kota ini, atau para mahasiswa yang sedang belajar di kota ini? Mereka juga tidak mempunyai hunian tetap di kota ini, hanya kebetulan mampu saja menginap di hotel atau mengontrak kamar kost. Sedangkan Ciptadi menginap di masjid atau emperan toko sekalian berdagang. Mereka semua pun sama tidak juga ber-KTP kota ini dan tidak ada kepemilikan hunian tetap. Maka silakan juga perlakukan dengan sama, bukan hanya orang seperti Ciptadi yang diperlakukan demikian.

Tentu kesemrawutan mesti ditata dan dikelola baik. Hukum mesti ditegakkan. Tapi apakah kekuasaan kota tidak mampu melahirkan solusi-solusi kreatif dan alternatif seperti yang selama ini didengungkan sebagai  bagian dari identitas kota Bandung yang “smart and creative” terkait PKL ini?

Solusi untuk mewujudkan keadaban kebijakan yang humanis, bukan solusi yang malah membiarkan warganya mati dengan cara bunuh diri hanya karena kebijakan yang tidak akrab dengan hidup dan penghidupan warganya, khususnya PKL rendahan seperti Ciptadi. Kejadian ini menjadi preseden buruk citra kota Bandung sebagai kota pintar, kreatif, humanis, religius, dan tentu saja sebagai kota ramah HAM.

 

Frans Ari Prasetyo, urbanist dan pemerhati kebijakan publik. 

 

Keterangan Foto :

Foto diambil Februari 2012, merupakan salah satu momen suasana Jalan Dalem Kaum sebelum penertiban/penggusuran PKL yang sering dilakukan seperti untuk kepentingan Peringatan KAA ke-60 tahun 2015 lalu; dan foto yang diambil Juli 2016 menunjukkan suasana Jalan Dalem Kaum pasca penertiban/penggusuran PKL yang berakhir rusuh.

 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler