x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 14 Agustus 2023 15:35 WIB

Arsitektur Masjid Al Jabbar Plagiat?

Dibalik kemegahan Masjid Al Jabbar ternyata mengendapkan polemik soal desainnya karena mirip dengan masjid lain. Selain itu ada perdebatan seputar cacat birokrasi dan administrasi tata ruang, dan lain-lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Gambar : Masjid Al Faisal, Islamabad-Pakistan (kiri) ; Masjid Al Jabbar, Bandung-Indonesia (kanan). 

Di akhir tahun 2022, hitungan hari menjelang kemeriahan menyambut tahun baru 2023 digunakan oleh Fubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meresmikan Masjid Al Jabbar, Bandung. Ridwan Kamil sekaligus juga arsitek masjid yang kemudian mendapatkan atensi publik melimpah sebagai momentum menjaga trend populisme menjelang tahun-tahun politik elektoral-pemilu 2024.

Di balik kemegahan Masjid Al Jabbar, Bandung-Indonesia ternyata mengendapkan polemik  terkait kemiripan desain jika tidak ingin disebut plagiat dari masjid lain. Selain itu mencuat pula polemik seputar cacat birokrasi dan administrasi tataruang serta proses teknis pembangunannya. Kualitas bangunan dan lansekap yang disajikannya kepada publik khalayak juga menimbulkan perdebatan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, secara arsitektural, Al Jabbar ini mirip Masjid Faisal di Islamabad, Pakistan yang dibangun tahun 1966 dengan lansekap terdiri bangunan inti, empat tiang minaret 90m dan taman sekelilingnya dengan luas keseluruhan 13Ha yang dapat menampung 100 ribu jemaah di bagian dalam dan 200 ribu Jemaah di halaman.

Arsitektur Al Jabbar yang dibangun sejak tahun 2017 diarea lahan 25 Ha dengan kapasitas keseluruhan mencapai 60 ribu orang yang dilengkapi ornamen empat tiang/minaret setinggi 99 meter di setiap sudutnya. Dengan biaya Rp1,6 Trilyun dengan komposisi Rp1,2 T untuk bangunan dan Rp430 milyar untuk pembelian lahan dengan menggunakan dana APBD provinsi Jawa Barat, menjadikannya mesjid termahal se-Indonesia. Belum lagi terdapat biaya pembuatan konten yang sebesar 20 Milyar dengan praktik KKN yang kentara. 

Konsep yang sama dengan Al Jabbar, hanya saja yang membedakannya adalah keberadaan kolam dan koridor gazebo disekelilingnya. Namun arsitektural bangunan inti dan keberadaann 4 tiang minaret itu sama persis hanya berbeda detail yang tidak begitu significan dalam sebuah produk karya arsitektural raksasa. Misalnya desain pada banguanan inti yang memiliki sudut dan guratan tarikan garis geometris yang berbeda tapi tetap menyerupai cangkang mangkok terbalik. Begitu pun dengan ke-4 minaret hanya berbeda dimensi lekuk sudut  vertikal dan horisontalnya serta sisi bagian puncaknya, sisanya sama berupa konstruksi tiang dengan ketinggian yang hampir serupa- 90an meter. Ini seperti bagaimana motor bebek Honda Jepang ditiru oleh Jialing China yang pernah marak di awal 2000an, pembedanya stiker, variasi warna dan tentu saja kualitas material mesin dan body. Apakah ini plagiat? Publik bisa menilainya.

Mesjid Faisal yang ditiru Al Jabbar ini mengambil nama dari Raja Arab Saudi, Faisal bin Abdul-Aziz, merupakan hasil kompetisi arsitektur 17 negara dengan 43 desain proposal yang dimenangkan oleh arsitek Vedat Dalokay dari Turki. Desainnya mencerminkan tradisi panjang kombinasi arsitektur Islam asia selatan dan asia barat berupa garis desain kontemporer modern dengan merujuk pada tenda Bedouin bangsa Arab, sedangkan ke-4 minaret itu meminjam tradisi menara vertikal bangsa Turki yang mempertegas gaya arsitektur Utsmaniyah berkontur Neo-futurism.

Arsitektur masjid Faisal ini diganjar penghargaan bergengsi Aga Khan Award for Architecture. Saat ini Masjid Faisal menjadi masjid terbesar ke-tiga di dunia setelah Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Serupa Al Jabbar dengan bangunan cangkang inti dan ke-4 tiang/minaret bergaya Turki termasuk karpet mewah bagian dalam dari Al Jabbar ini pun bergaya desain motif ornamen Turki yang memang khusus dipesan dan di-import dari Turki.  Dalam dunia professional termasuk arsitektur, meniru atau plagiat karya orang lain itu sebagai aib dan tidak bisa diterima apapun dalihnya.

Kedua, Masjid Al Jabbar ini menyajikan aksitektur modern expressionist serupa cangkang dengan struktur atap sirap geometri kompleks kubah bertulang yang tampak samar serupa dengan cangkang pada Gedung Sydney Opera House karya arsitek Denmark Jørn Utzont yang dibangun ditahun 1959. Namun dengan biaya melonjak dan banyak kritik, Utzon terpaksa mengundurkan diri di tengah protes dan kontroversi. Situsi yang mirip dengan pembangunan Al Jabbar dengan biaya mahal, namun tidak ada protes apalagi sampai mengundurkan diri akibat dari kuasa anggaran, lahan dan kekuatan keinginan politik melalui kerja arsitektural.

Gedung Opera Sydney berupa cangkang concrete bertulang dengan serangkaian tulang rusuk beton menopang ribuan panel atap beton pracetak yang dilapisi dengan keramik glossy white/matte cream yang mampu bertahan hingga sekarang. Namun tampaknya tidak dengan Al Jabbar ini dalam penggunaan material walaupun desain dan teknik konstruksinya hampir serupa. Selain itu, publik tidak pernah tahu blue print kontruksi, rancang bangun, desain dan material yang dipergunakan Al Jabbar ini, padahal menggunakan dana publik yang seharusnya transparan sebagai informasi pubik yang dimandatkan Undang-Undang KIP.

Dilihat lebih detail, bagian dari sirap datar yang menutup mangkok utama Al Jabbar ini menggunakan kaca mozaik yang rentan pecah dengan tekanan air hujan maupun angin walaupun itu dapat diklaim sebagai sumber penerangan dan pendingin ruangan alami untuk bagian dalam, tapi nyatanya dibagian dalam tetap saja melimpah dengan lampu-lampu besar dan perangkat 10 AC raksasa dengan penggunaan listrik yang besar yang beoperasi sepanjang mesjid dibuka untuk umum.

Bagian cangkang sisik putih sebagai atap yang menutupi seluruh bangunan terlihat bukan menggunakan beton kuat dan tahan lama. Material yang sama digunakan untuk ormanen-ornamen dekoratif di bagian depan Masjid seperti Gapura/gazebo yang memiliki kecenderungan persamaan desain serupa dengan geometri cangkang sisik sebagai atap yang menutupi pada bangunan utama. Jadi desain dan material di Al Jabbar ini bahannnya apa dan durability berapa lama? Publik dapat menyaksikan sendiri bahwa penggunaan material yang dapat dijangkau publik terlihat asal asalan dengan mutu kualitas kerapihan yang rendah untuk sebuah landmark arsitektur gigantis dari arsitek terkenal. 

Seperti pada konstruksi dekoratif bagian depan Masjid yang berupa gazebo berderet/gapura putih itu bukan pakai beton tapi serupa seng/fiber dengan gypsum yang tentu saja rentan rusak dengan durabiliti yang rendah. Selain itu, dengan desain seperti ini, biaya perawatan dan pembersihan bagian interior dan eksterior termasuk keempat tiang utama tidak bisa dilakukan oleh cleaning servis biasa, ini harus menyewa ahli panjat, ahli ketinggian yang tentu saja berbiaya mahal, lalu darimana anggarannya? Ini membebani APBD dan pemerintahan dimasa depan. Maka soal, apa yang sesungguhnya ingin ditampilkan dan dinikmati publik dari wajah Al Jabbar, apakah publik Jawa Barat khususnya benar-benar membutuhkan arsitektur seperti ini atau hanya persoalan kuasa arsitek dengan kuasa kewenangan anggaran daerah dan kontrol penguasaann lahan publik? Publik semakin cerdas dalam membaca  arah angin politik arsitektur ini sebagai upaya politik populisme yang dihembuskan Ridwan Kamil sebagai perancangnya dalam nuansa politik elektoral menuju tahun politik 2024. 

 

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu