(1)
“Mas, sudah larut, rehatlah”
“Ya, Dinda!”
“Jangan ngopi terus-terusan. Ngrokok juga.”
“Ya.”
“Otak perlu juga jeda. Jiwa raga juga.”
“Unjuk rasa di media sosial itu, Din yang mengganggu pikiranku.”
“Ya, aku paham Mas. Tapi mau apalagi? Jalanan rusak kan tersebab faktor kepemimpinan Mas. Bukan karena APBD yang memang ada tapi tidak direalisasikan. Ada faktor lain. Faktor alam: hujan yang mengguyur selama sepekan ini. Di Pantura terjadi Rob. Imbasnya kan ke daerah kita juga Mas.”
“Tapi itu janji yang harus mampu kutunaikan. Perbaikan jalan rusak itulah yang membuatku menang suara dan didukung banyak simpatisan.”
“Paham, Mas.”
“Tapi aku belum menemukan solusinya.”
“Perkara wilayah ini kan bukan hanya Mas penguasanya. Bukan hanya menjadi persoalan pribadi. Ayo ajak mikir: pamong desa, camat, komunitas, dan LSM itu.”
“Ya, Din.”
“Rehatlah. Besok Mas mesti ketua anggota Dewan, menghadap Gubernur, dan lain-lainnya.”
“Ya!”
(2)
Media sosial marak mengunggah unjuk rasa. Ada yang menjembreng spanduk, dengan tulisan yang provokatif: ”Salah? Ya Seleh!” “mana janji gombalmu, Pak? Rakyat butuh bukti bukan sekedar bakti. Rakyat bosan dengan PHP ... “
Video-video para pengguna jalan yang celaka akibat jalanan berlubang. Ada video pedagang sapu yang membawa dagangannya dan terperosok. Pedagang telur dan cabe yang dagangannya ambyar karena terpelanting saat berkendara menuju pasar.
Ibu-ibu yang jalan kaki,dan terciprat kendaraan yang lewat. Si Ibu memaki,sementara pengendara yang anak muda itu malah tertawa-tawa.
Ada pula yang sedang mengamen dengan gitar diiringi gitar, seruling, dan icik-icik. Grup ngamen itu berdendang di area jalan becek dan berlubang. Nyanyinya sih lagu yang sedang viral itu: “Pecah Seribu.” Tak ada hubungannya dengan protes. Wong lagu itu berkisah tentang kegalauan orang yang sedang jatuh cinta, kok. Penyanyikenes itu sambil bergoyang berdendangmelalui refrein:
Ibarat bunga
Aku takut banyak kumbang yang hinggap
Aku tak mau
Patah-patah, tangkaiku patah
Aku tak mau
Di desa sebelah, penyanyi dengan dandanan seadanya dan diiringi organ tunggal menyanyi dengan suara sekenanya melalui pelantang yang sember. Lagunya yang dibawakanlebih nggak nyambung lagi: “Cinta Berawan”. Simak penggalan liriknya:
Jauh sudah langkah cinta kita berdua
Walau disadari tertutup awan gelap
Bertambah ia bertambah
Bertambah hitam dan gelap awan yang menutupinya
Sampai detik ini gelap masih membayang
Bilakah berlalu langit kembali cerah
Berakhir segalanya
Berakhir awan hitam yang menutup cinta kita berdua
Lelah lelah ku menanti
Bersinarnya rona pelangi
Lama lama kumenunggu
Hari hari gelap membisu
Dimanakah kau pelangi
Kau datanglah menyinari
Jangan biarkan gelap terus melanda
Betapa besarnya pengorbanan dirimu
Dalam penantian saat cinta berawan
Menanti segalanya
Menanti awan hitam yang menutup cinta kita berdua
Sejumlah orang dengan berlumuran lumpur sekujur tubuhnya, berjajar sepanjang mulut-mulut desa. Mereka seolah menjadi patung yang menyapa para pejalan dan pengendara yang melintas.
Ini dilakukannya, saat mereka menganggukkan kepala secara konfiguratif, mulai dari ujung jalan hingga batas desa sebelahnya. Bahasa tubuhnya memaknai diri: “Selamat datang di desa kami. Mari nikmati kebersamaan ini, tanpa keluh tanpa kesah!”
(3)
Jam menujukkan pukul 03:00 WIB.
“Maaaas”
Suaminya menoleh, setengah kaget.
“Ini saat yang tepat, Mas tahajud. Berdoa dan pasrahkanlah kepada SangMahasegalaMaha. Tutup gawai jinjing itu. Matikan ponsel. Saatnya menghadap-Nya!”
Suaminya, menurut.
(4)
“Mas. Rehatlah. Tak usah kaucemaskan yang mereka unjuk rasai. Biarkan mereka berunjuk rasa sebagai bentuk katarsis. Nanti, kalau sudah lelah toh mereka akan berhenti. Lakukan yang terbaik. Bukan lari dari tanggung jawab. Semua warga di dunia juga tahu. Kita baru saja digempur habis-habisan oleh Pandemi Covid-19.”
“Ya.”
“Semua orang juga melek, kita baru saja terkena dampak banjir.”
“Ya.”
Dinda istri tercintanya dipeluk erat. Ratusan jangkrik sekejap berhenti berkonser. Kokok ayam jantan pembuka pagi bersahutan, dari desa ke desa sebelahnya. Aneka suara burung bak paduan suara, koor, menyambut pagi
Ikuti tulisan menarik Slamet Samsoerizal lainnya di sini.