x

Putu Wijaya 4, Ilustrasi cerpen Hukum Putu Wijaya

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 11 Oktober 2022 16:05 WIB

Kegelisahan Sang Pengadil dalam Cerpen Hukum Putu Wijaya

Seorang pelacur cantik mati ditembak anak walokota. Media massa memuat besar-besaran. Warga kota marah. Sang Hakim Ketua gelisah. Teman-temannya mendesak agar ia membuat putusan yang berani. Tapi ia hakim yang jujur yang membuat putusan karena undang-undang. Bukan karena tekanan politik atau kebijaksanaan. Bagaimana akhirnya sang hakim membuat putusan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hubungan antara sastra dan hukum sudah berlangsung lama. Salah satu wujudnya adalah dalam bentuk tema yang dimunculkan dalam karya. Dan salah satu pengarang yang cukup sering membuat atau memasukkan hukum dalam karya-karyanya adalah Putu Wijaya. Dalam bentuk drama, misalnya, Putu menulis Dor yang ceritanya tentang proses peradilan seorang anak pejabat yang diduga membunuh seorang pelacur. Ia juga bicara soal keadilan dalam drama tersebut. Lalu dalam cerita pendek (cerpen), ada karyanya yang berjudul Amnesti yang berkisah tentang bromocorah yang sangat kejam dan siap menjalani hukuman.

Kini, saya menemukan salah satu cerpen Putu Wijaya yang berjudul Yth. Warga Kota, yang isinya tentang proses peradilan juga. Ditulis Putu Wijaya pada Desember 1970, isinya tentang kegelisahan seorang ketua hakim, Tubagus Negara, yang hendak membuat putusan atas suatu kasus pembunuhan. Rony Ribu, anak Walikota Ribu, dituduh telah menembak seorang pelacur bernama Nurma. Wartawan membuat publikasi besar-besaran, warga kota marah, dan teman-temannya berharap Tubagus membuat putusan yang maksimal. Bagaimana akhirnya hakim ketua itu membuat keputusan?

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Begini ringkasan ceritanya. Bagaikan anjing mengorek tong sampah, hakim tua itu meneliti berkas perkara di depannya. Seorang pelacur dari daerah yang paling eceran telah terbunuh pada 10 November tahun yang lalu, dengan peluru pistol yang mengenai dada dan rahimnya. Masyarakat warga kota berpendapat bahwa peristiwa itu adalah pembunuhan yang paling keji selama tiga tahun terakhir sejak Walikota Ribu, seorang Mayor pensiunan, menduduki jabatannya dengan dukungan kuat dari partai-partai politik setempat. Pembunuhnya bernama Rony Ribu, 22 tahun, mahasiswa fakultas ekonomi,  anak sang walikota.

Hakim itu meraih sebuah surat kabar dari kursi rotannya. Di halaman pertama ada potret korban ketika diketemukan berlumuran darah di sebuah gubuk di pinggiran kota.  Hakim itu merasa mendapat tekanan berat. Belum pernah selama pengalamannya sebagai hakim ia menghadapi sorotan yang setajam itu.

Sampai di rumah, ampas kopi dalam gelas di mukanya seperti lumpur yang sedang bergerak di kepalanya.  Imah pelayannya datang mengganti gelas yang sudah dirubung semut, dengan segelas kopi yang masih hangat. Sudah pukul sebelas malam. Imah sudah hafal apa yang diperlukan oleh hakim tua yang membujang itu. Kadang-kadang kalau dia melihat orang tua itu capek, dia memijit punggung dan kakinya tanpa minta izin atau disuruh terlebih dahulu, sementara hakim itu terus bekerja. Atau dia mematikan lampu untuk menyuruh agar Tubagus segera beristirahat. Tetapi telah tiga malam ini Imah tak berani mematikan lampu dan memijit punggungnya karena dia melihat ada semacam ketegangan. Di luar kebiasaaanya sebagai seorang yang beriman, hakim itu memperlihatkan kebiasaan baru sebagai pemarah.

Dalam suatu sesi persidangan, Rony Ribu berkata: “Hakim Yang Mulia. Jaksa yang terhormat, dengan ini saya menerangkan bahwa memang benar saya memperlihatkan kepadanya bagaimana bohongnya adegan dalam film-film cowboy Itali. Memang malam itu juga saya mengajak Tapa Sudana untuk jalan-jalan tapi ia menolak. Dan memang benar malam itu saya bertemu di pinggir jalan dengan Nurma ketika saya memarkir mobil untuk membeli rokok. Tetapi, tetapi lalu saya pergi. Saya pergi. Ya pergi dari situ dengan mobil saya sendirian. Saya bersumpah....”

Waktu itulah, mata dan telinga lebih dari empat ratus orang tertuju kepadanya. Ia menunduk diam. Mulutnya yang tadinya lancar terganjal. Jelas bahwa kata-kata yang diucapkannya hanya sekadar hapalan. Ruang sidang menjadi senyap. Lalu terdengar tangis anak muda itu tertahan. Hakim tua itu melihat bahwa anak itu masih bergantung di susu ibunya. Ia sama saja dengan pemuda-pemuda Indonesia yang lain, masih kanak-kanak.

Setelah menjalani beberapa kali sidang, para hakim anggota sepakat bahwa Rony Ribu terbukti bersalah. Tubagus Negara juga telah selesai membuat redaksi surat putusan. Rony dijatuhi hukuman 12 tahun penjara. Dia terbukti membunuh. Bahwa terdakwah selama hidupnya baru sekali melakukan kejahatan,  hal itu merupakan hal yang meringankan.

Tubagus terkatung-katung dalam impiannya. Pikirannya kosong setelah selesai menyusun surat keputusan. Kertas-kertas tertumpuk rapi di sebelah kanannya. Ia tak berani mengutik-utik hasil kerjanya itu. Ia kembali membalik-balik surat kabar yang memuat laporan-laporan persidangan. Lalu ia menarik beberapa helai surat dari map pribadinya. Surat-surat itu datang dari para sahabtnya. Ada juga surat kaleng.

Salah satu surat itu datang dari sahabatnya yang sekarang menjadi pemimpin redaksi. Isinya ingin menguatkan hati Tubagus Negara. Ia meyakinkan agar Tubagus membuat keputusan yang berani. Katanya, masyarakat akan mendukungnya. “Agus, aku mengerti bahwa sampai kini engkau selalu teringat kepada peristiwa pembunuhan Lan Fa. Di mana tertuduh atas keputusanmu setelah menjalani hukuman 8 tahun terrnyata tak bersalah dan dibebaskan. Perkara itu sungguh sulit, setiap orang akan melakukan kesalahan yang sama. Tetapi sekarang lain. Sekarang bukti-bukti lengkap. Kalau toh ada problem sesungguhnya itu adalah problem moral. Moral telah dikorup di negara kita. Engkau tentu.....”

Tubagus meletakkan surat itu. Ia meraih sebuah surat lain yang dikirim oleh Ibu Walikota. Sudah pasti surat itu telah dikirim tanpa sepengetahuan suaminya.  Isinya mengharapkan agar Tubagus membuat keputusan yang bijak. Sang ibu mengakui bahwa anaknya memang kadang nakal. Tetapi dia tidak percaya anaknya melakukan kekejaman itu. Rony, katan sang ibu, anak yang baik, anak yang pandai, dan tahu membawa diri.

Malam melenggok dengan sepi. Hakim tua itu meneguk kopi tanpa merasa mengantuk sedikitpun. Ia meneguhkan hatinya. Ia merasa sebagai hakim yang jujur. Ia berani bersumpah bahwa ia tak terpengaruh terhadap semua tekanan atau surat-suat yang datang. Tanpa semua itu, keputusannya akan sama. Ia menjalankan hukum,, bukan kebijaksanaan, politik, atau lainnya. Bahkan kegagalannya, yang menjadi penyesalan abadi dalam peristiwa Lan Fa dahulu, tidak ikut membayanginya dalam  peristiwa kali ini. Ia hakim yang jujur. Tetapi kejujuran itulah yang membuatnya melamun setiap kali selesai menyusun keputusan.

                                                                      ***

Sebagai “orang hukum”, Putu mengerti prosedur persidangan. Maka tidak ada yang janggal dalam menggambarkan sebuah proses persidangan pidana dalam cerpen ini. Tetapi, sebenarnya mengenai prosedur semacam itu, bisa dipelajari oleh siapa saja, terutama penulis novel. Yang justru perlu didorong adalah lahirnya karya sastra dengan tema-tema yang berkaitan dengan hukum tersebut.

Kita memang belum punya penulis novel semacam John Grisham,  Arthur Conan Doyle, Agatha Christie, dan lain-lain yang banyak  menulis novel-novel detektif atau yang berkaitan dengan hukum. Padahal, soal tema – bahkan yang berbasis kisah nyata—kita mestinya punya berlimpah-ruah. Sebut misalnya kasus baru seperti Kopi Sianida yang menyebabkan kematian Mirna. Lalu sekarang yang sedang ramai tentang kematian Brigadir Joshua.

Lalu, jika yang saya sebut di atas adalah pertautan antara sastra dan hukum dalam bentuk karya, bagaimana kalau sebaliknya, yakni pertautan antara hukum dan sastra dalam dunia nyata di pengadilan? Menurut saya, salah satu peluang bagi terdakwa atau pengacaranya adalah pada saat membuat pleidoi. Selama ini, sebagian besar pleidoi dibuat dalam bahasa hukum yang kering. Padahal, bisa saja pembelaan terakhir itu dihiasi dengan peribahasa, pantun, pepatah-petitih, anekdot, atau penggunaan diksi yang sastrawi.

***

Jika dalam banyak cerpen, novel, atau dramanya yang lain Putu melakukan “teror mental” atau “teror moral” yang keras kepada pembaca atau penontonnya, dalam cerpen ini tampak lebih halus. Di sini, menurut saya,  Putu hanya sekadar membuka beberapa “kemungkinan” yang bisa terjadi.

Digambarkan: Hakim itu merebahkan kepalanya ke sandaran kursi. Sudah pukul dua belas. Terbayang olehnya pelacur eceran yang barangkali kini telah membusuk dimakan tanah. Wanita  itu telah mendorong warga kota untuk memikirkan keadilan. Dari foto-fotonya, wanita itu mempunyai wajah yang cantik. Pastilah dia melakukan pekerjaannya bukan hanya terdorong oleh uang saja. Hakim itu mengenal perempuan-perempuan semacam itu pada masa mudanya. Ia mempunyai riwayat yang cukup kotor untuk mengetahui wanita macam apa korban itu.

Terbayang juga oleh Tubagus wajah Rony. Seakan-akan terlihat olehnya bagaimana untuk pertama kalinya pemuda itu kenal dengan Nurma. Terlihat pula olehnya bahwa karena kekosongan jiwa, pemuda itu mencari kedamaiannya dalam nafsu-nafsu Nurma. Ia telah jatuh cinta. Ia seorang idealis seperti kebanyakan pemuda. Ia dengan cita-cita luhur ingin mengangkat Nurma menjadi anggota masyarakat terhormat.

Tubagus juga membayangkan  bagaimana gerak mulut Rony sewaktu mencumbu Nurma. Mencumbu dengan segala jiwa raga dan kejujurannya. Sementara pelacur yang cantik itu hanya diam saja tak menjawab. Kepercayaan  Rony semakin kukuh. Ia bertambah yakin karena merasa bahwa perbuatannya adalah terpuji. Rahmat Tuhan berada alam kesucian perbuatannya,.

Orang tua itu memejamkan matanya. Tangannya terkepal. Ia melihat Rony dengan pistolnya menghentikan mobil di pinggir jalan,. Ia melihat Rony terkejut melihat wanita itu mengecerkan dirinya kembali dengan rendah. Ia melihat betapa tiba-tiba keruntuhan melanda semangat pemuda itu. Ia melihat Nurma menjadi galak karena diperlakukan begitu di depan orang lain.

Hakim tua itu seakan-akan mendengar pertengkaran mereka yang seru. Ia melihat pula pemuda itu menunggu di mobilnya sampai Nurma mau diajaknya pergi. Jelas sekali ia melihat bagaimana Rony kemudian karena tak sabar meluap marah menyeret wanita itu ke movilnya dan melarikannya ke luar kota. Lantas di dalam gubuk di luar kota, ia mendengar perdebatan mereka. Ia mendengar kemarahan Rony. Tangannya gemetaran. Ia mendengar pula wanita itu dengan angkuhnya mempersetan segala harapan Rony yang jujur. Dia begitu angkuh. Dia tak mau diikat. Dia adalah seorang yang sombong. Seorang yang mempunyai kehormatan. Rony terpukul bagaikan kaca yang pecah. Seorang pelacur sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia merasa dirinya sangat.tak berharga. Ia menjadi kalap. Pistol itu diangkat. Ditembanknya wanita itu. Ditembaknya... Ditembaknya...

***

Setelah tersadar dari lamunannya yang amat dalam, Tubagus Negara  tersadar. Mula-mula ia heran melihat keadaan dirinya. Ketika ia dapat melihat Imah, pembantunya, ia merasa sesuatu terjadi dengan jantungnya. Kepalanya pening dan tubuhnya berlumuran keringat. Ia hampir terjatuh kalau tidak dipapah oleh Imah. Wanita itu mendudukkannya lalu memijit punggungnya dengan balsem.

Orang tua itu tergolek beberapa lama. Ia membiarkan saja Imah memijit. Kemudian ia merasa dirinya ringan sekali. Ia merasa aneh. Ini membuatnya curiga. Dengan menguat-nguatkan dirinya, ia meraih secarik kertas. Imah melihat kegiatan tuannya merenggutkan kertas itu. Tapi orang tua itu mengulangi perbuatannya.

         “Biar, biar aku,” katanya dengan suara yang pelan dan capek, “Jantungku. Barangkali aku akan mati...”

Ia hendak menulis, tapi tenaganya tak ada. Ia memberi isyarat Imah menuliskan kata-katanya. Imah pun menulis.

           “Yang terhormat warga kota. Saya jalankan undang-undang untuk saudara-saudara. Tetapi saya tidak rela atas nama pribadi saya... karena saya kenal siapa wanita itu.... Baginya sudah adil.... Kenapa...”

Orang tua itu terkulai. Imah cepat-cepat memijit pundaknya kembali. Air matanya bercucuran.

                                                                            ***

Apa maksud kalimat terakhir Tubagus Negara itu? Apakah ia menyesal memberi putusan 12 tahun penjara kepada Rony? Bagaimana dia merasa kenal dengan pelacur yang menjadi korban penembakan itu? Apakah dia pernah menjadi pelanggan Nurma atau pelacur lain? Atau dia pernah mengalami ditolak ketika mengajak kencan pelacur? Apakah kematian dengan tembakan pistol itu sudah adil bagi Nurma? Apakah warga kota kini sudah mendapatkan keadilan dengan hukuman 12 tahun penjara itu? Silakan Anda membuat jawaban atau kesimpulan sendiri, agar cerpen ini semakin “hidup”.                                                                               

  • Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni.

###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler