x

Aum. Foto Dodo Karundeng.

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 9 Januari 2023 18:24 WIB

Aum Teater Mandiri: Imajinasi yang Meneror

Teater Mandiri kembali mementaskan drama AUM dengan perubahan di sana-sini. Ciri khasnya tetap terasa: teror mental dengan diselingi humor agar penonton tidak tegang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seperti kata Sapardi Djoko Damono dalam Sosiologi Sastra, karya sastra tidak jatuh dari langit. Ia adalah gambaran kehidupan. Karya sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dihayati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh kelompok sosial tertentu yang pada gilirannya menyangkut pendidikan, agama, adat istiadat, dan segenap lembaga sosial yang ada di sekitarnya. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa adalah ciptaan masyarakat. Sastra menampilkan gambaran kehidupan; dan kehidupan tak lain adalah suatu kenyataan sosial.

Sekarang tinggal bagaimana sastrawan mengungkapkan “kehidupan” itu ke dalam karyanya. Ada karya yang “sekadar” menyuguhkan suatu peristiwa nyata, ada yang berusaha “menghubungkan” karyanya dengan suatu peristiwa nyata tertentu; dan ada pula karya yang “memfiktifkan” kisah nyata. Selain itu, ada juga karya yang “memberikan reaksi terhadap suatu keadaan nyata sehingga penulisnya menentukan sendiri arahnya; dan akhirnya ada karya yang dihasilkan melalui suatu “proses imajinasi yang tinggi” sehingga yang lahir  adalah karya yang seakan-akan tak berhubungan dengan peristiwa yang menjadi sumber ceritanya.

Menurut saya, AUM yang dipentaskan pada Kamis lalu (05/01/23) di Taman Ismail Marzuki (TIM), merupakan salah satu contoh karya yang dihasilkan melalui proses imajinasi yang tingi itu.  Seperti dikatakan  oleh Putu melalui brosur yang dibagikan, AUM yang ditulis pada 1981 itu terinspirasi oleh pembunuhan massal pengikut Peoples Temple di Guyana yang dipimpin pendeta James Warren Jones pada 1978.  Ditambah lagi dengan aneka berita“ganjil” di koran, seperti seorang ibu melahirkan sembilan bayi kembar di Bangladesh; sekawanan burung menabrakkan dirinya ke sebuah tembok; dan satu suku bangsa di Afrika yang anggotanya mati satu demi satu hingga punah.  Tentu saja juga kejadian-kejadian aneh lain di tanah air. Semua itu terakumulasi sehingga menjadi naskah AUM.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hasilnya, di dalam AUM,  ada kepala melayang, ada banyak perempuan yang tak lagi bisa berbadan dua.  Tugas hamil itu telah diambil-alih oleh para lelaki dan sudah merupakan bagian dari perbuatan kepahlawanan mereka terhadap keluarga. Di luar AUM alias di dunia nyata belakangan ini, juga diberitakan aneka kejadian “ganjil”  atau tak masuk akal. Ada anak membunuh ibunya, ada bapak memperkosa anaknya, ada pemuda menyetubuhi ibu dan adiknya sendiri, dan seterusnya.

                                                                             ***

Drama dibuka dengan adegan di halaman rumah bupati. Sejumlah orang “udik” bergerombol ingin menemui bupati. Mereka telah menempuh ratusan kilometer untuk bisa menghadap guna mengadukan berbagai persoalan yang dilihatnya, yang dialaminya.

Setelah terjadi aneka kericuhan dan kelucuan di antara sesama hansip; lalu hansip dengan tamu-tamu; serta hansip dengan bupati yang sedang lari pagi; akhirnya tibalah kesempatan para warga menyampaikan pertanyaan.

Taksu, salah seorang dari gerombolan itu, berkata: “Kekuasaan yang menghimpit kita, sudah tidak mau lagi memberikan jawaban dari mana asalnya, kenapa dia datang, dan apa tujuannya. Kita terpaku terus di tembok yang rapuh. Bergerak sedikit, seluruh alam ikut bergetar dan batu-batu yang keras makin banyak berjatuhan melukai tubuh kita yang bukan milik kita lagi. Seluruh umat manusia menjadi mayat-mayat berjalan. Dan di alam kuburan yang besar ini, kejujuran akan menjadi senjata-senjata yang membunuh diri kita sendiri. Tak ada sedikit pun harapan .... ”

Bupati bingung harus menjawab apa. Kalimat panjang Taksu lebih mirip sebuah pernyataan daripada pertanyaan. Bupati hanya bisa menerka-nerka. Jangan-jangan ini bagian dari rencana pemberontakan. Kalau toh yang ingin ditanyakan adalah “kekuasaan yang makin menghimpit”, barangkali juga bukan kapasitas bupati untuk menjawabnya. Tapi rakyat kecil itu terus menuntut jawaban.

Keluhan berikutnya disampaikan oleh seorang perempuan bernama Mawar, dia menceritakan bahwa tubuh suaminya membengkak, dan ternyata – sang suami itu – sedang hamil tujuh bulan.

Suasana makin gaduh. Semua orang berbicara sesuai versi masing-masing. Bupati akhirnya meninggalkan tempat untuk mengambil seragam dan pistolnya. Terjadi perdebatan seru di antara rakyat yang menuntut jawaban itu dengan dua hansip penjaga. Lalu terjadi perkelahian, dan ada kepala melayang di udara. 

Layar putih turun menjadi latar berlakang. Di baliknya aneka bayang-bayang aneh bermunculan. Nenek atau Kepala Keluarga kemudian berseru“.... Tuhan seru sekalian alam, Yang Maha Besar...... Ribuan, jutaan, bermiliar-miliar pertanyaan dalam bongkah kecil dan paket-paket raksasa telah sesak di sini menghimpit kami, mengalir setiap waktu. Tak satu pun yang benar-benar telah terjawab. Dokter-dokter kami, profesor kami, para cendikiawan, tokoh-tokoh masyarakat, para pejabat, dan bahkan juga orang-orang pinter kami yang arif dan bijaksana telah mencoba menjelaskan dengan segala upaya mulut mereka. Tapi semua itu ternyata belum memuaskan. Itulah sebabnya, hari ini, bagaikan orang murtad, bagai pemberontak dan pembangkang, aku langsung mengetuk gerbang-Mu dan menanyakan langsung: satu, kenapa kelebatan sinar-Mu tidak sama besarnya di hati kami sehingga kami berkelahi sepanjang zaman. Dua, dua a – apa maksudmu yang sebenarnya. Dua b – berapa lama semua ini akan berjalan seperti ini, dalam kurung, seorang anak pernah bertanya, apakah Kamu benar-benar netral atau berpihak? Dan pertanyaan yang terakhir, apa artinya segala yang mokal-mokal itu?” katanya sebelum memutuskan untuk bunuh diri beramai-ramai.

                                                                         ***        

Naskah AUM yang dipentaskan di TIM kali ini mengalami beberapa perubahan atau modifikasi dari naskah “asli”-nya. Mungkin hal ini dilakukan oleh Putu dengan beberapa pertimbangan, seperti materi pemain, waktu persiapan latihan, biaya produksi, atau kondisi sosial yang sudah berubah. Misalnya, kali ini tak ada orang “bertangan seribu” yang mirip oktopus (digantikan adegan aneka bayang-bayang di balik layar putih). Lalu tak ada tokoh mantri kesehatan yang di naskah aslinya juga diminta pendapat soal omongan orang-orang udik itu.

Perubahan adegan juga terjadi di bagian akhir drama ini.  Begini dulu naskah aslinya: Terdengar suara gong. Sebuah bungkusan berwarna putih diturunkan. Lalu selubungnya dibuka. Terlihat di dalamnya ada makhluk ajaib. Seorang manusia terkurung dalam kerangkeng. Manusia itu bertangan ribuan bagaikan oktopus dan masing-masing tangan kelihatan buas, hendak mencakar-cakar. Makhluk itu mengaum, menjerit, sakit dan pedih, seperti tak terima pada nasibnya.

HANSIP:

Astagafirullah al azim (jatuh piungsan, tapi kemudian bangun lagi dan memerhatikan dengan seksama. Ketika orang dalam kurungan itu mengaum, hansi itu jatuh lagi). Edan!

KEPALA KELUARGA:

Hunus kerismu, anak-anak!

(Semua berjajar dan memegang kain putih. Posisi nenek paling depan menghunus keris. Sementara di belakangnya, dalam barusan garis lurus, orang-orang udik itu memegang kain putih yang merentang bagai dinding panjang. Mereka juga menghunus keris mereka).

KEPALA KELUARGA:

Tuhan Seru Sekalian Alam, kini kami menanti jawaban-Mu. Ujung keris ini telah lama kami simpan. Apabila Kau pun tidak menjawab atau memberikan jawaban yang tidak menyalakan sesuatu yang terang di hati kami, izinkan kami mengakhiri perjalanan yang Kamu karuniakan ini, secara serentak, hari ini juga. Waktu yang bisa kami berikan hanya sepuluh kali ketukan. Sesudah itu kami akan bunuh diri ramai-ramai.

(Salah seorang anak berlalu hendakl mengurungkan niatnya. Tapi salah satu kemudian segera mengejar dan menangkapnya).

(Barisan itu kelihatan bergolak. Ada seseorang yang hendak melarikan diri. Terjadi pergumulan, dan akhirnya orang itu terpaksa dipukul. Pingsan. Tapi salah satu anak lagi lari. Beberapa orang hendak memburu, tapi Kepala Keluarga mengangkat tangan dan berseru:)

KEPALA KELUARGA:

Kembali.

(Semua kembali dalam formasi siap bunuh diri)

KEPALA KELUARGA:

Tiga...... Ada yang sudah mendengar sesuatu? (tak ada yang menjawab). Betul? Jadi Dia belum bicara. Jadi Kau belum mau bicara, sampai kapan? Empat.....

(Terdengar bupati masuk berlari-lari. Ia muncul dengan pakain seragam seadanya).

KEPALA KELUARGA”:

Empat...

BUPATI

Maaf, maaf saya ambil pakaian seragam tadi.

HANSIP:

Pak, jangan buru-buru. Ini pistolnya ketinggalan. Ini tanda pangkatnya juga.

BUPATI:

O, ya, bisa sampai lupa. Maaf. Ayo, tolong pasang.

HANSIP:

Sepatunya dong Pak, lihat, yang satu warnanya lain.

BUPATI:

O, ya, kau bawa pasangannya?

HANSIP:

Bawa, tapi ini kok terbalik memakainya.

BUPATI:

Aduh, aduh, aduh, Maaf dulu. Ayo minggir dulu.

KEPALA KELUARGA:

Lima......

(Intinya, terjadi kehebohan dan kelucuan di atas panggung. Hansip yang satu mengusap matanya. Tapi begitu ia melihat manusia dalam kerangkeng itu, ia juga langsung pingsan lagi -- PEN).

BUPATI:

Mana?

HANSIP;

Itu, itu yang tangannya banyak itu apa.

BUPATI:

Ah, tai kucing, kau ini selalu mengganggu. (kembali kepada Kepala Keluarga). Jadi ibu, masalah ini sebenarnya sangat sederhana. (baru teringat sesuatu). Nanti dulu, nanti dulu. Apa yang kamu lihat itu (berbalik) Astagafirullah apa ini, apa ini?

HANSIP:

(memegang). Pak, jangan pingsan, Pak.

HANSIP:

Apa ini. Kenapa begitu banyak tangannya. Siapa sini?

(Bupati mendekat)

BUPATI:

Kamu siapa, kamu siapa? Kamu siapa (jatuh pingsan)

(Kedua hansip bengong. Bupati kemudian bergerak lagi lalu mencabut pistolnmya tapi salah ambil. Yang dicabut saputangannya. Ia menembak). Drama pun berakhir. Selesai.

Sementara itu, dalam versi baru, setelah gerombolan itu benar-benar melakukan bunuh diri,  Sang Bupati berkata: “Beginilah  keadaan dan kenyataannya. Lompatan teknokogi yang terlalu cepat membuat seluruh dunia gamang. Terutama saudara-saudar kita sendiri yang di udik, di pedalaman. Mari kita temani mereka agar tak sesat dan agar selamat.” Jadi ada penambahan “misi” di naskah baru ini. Maklum, sekarang zaman digital, zaman media sosial. Dan literasi tentang hal itu memang belum merata di Indonesia. Salah-salah menggunakannya, bisa fatal akibatnya.

                                                                  ***

Salah satu ciri gaya berteater Putu Wijaya adalah penggunaan metode obyektif dalam pengisahan, dan gaya stream of of conciousness (orang Prancis sering menyebutnya sebagai le monoloque interieur) dalam pengungkapannya. Maksudnya, dalam hal perwatakan tokoh, Putu sekan-akan  tidak pernah menyentuhnya. Para tokoh dibiarkan bergerak dengan tindakan dan pikiran mereka sendiri. Jadi, yang tampak pada penonton  seolah-olah Putu hanya sekadar pengamat obyektif para tokoh yang ada di dalam cerita. Pengarang sebagai subyek, seakan terpisah dari karyanya.

Perwujudan teknik itu dalam drama biasanya dilakukan dalam tiga bentuk, yakni monolog (tokoh berbicara panjang sendiri tentang suatu peristiwa yang sudah lewat); soliloque (tokoh berbicara tentang peristiwa yang mungkin atau akan terjadi); dan aside (tokoh mengomentari pembicaraan tokoh lain atau peristiwa yang sedang berlangsung). Dari ketiga hal itulah karakter para tokoh terkuak dan dikenali oleh penonton. Teater Mandiri sudah lama melakukan hal itu.

Mengenai materi pemain, bakat-bakat baru sudah mulai kelihatan. Tapi secara keseluruhan belum setara dengan “kakak-kakak” senior mereka di tahun 1980-an. Generasi baru ini tampaknya harus lebih keras untuk latihan olah vokal dan olah tubuh. Celetukan salah seorang aktor lama yang sesekali mengguguk menirukan suara anjing (dipernakan oleh Ucok) itu bisa menjadi contoh kualitas vokal khas Teater Mandiri. Tata rias dan kostum (Penny Moehaji) sudah cukup bagus dan mampu menampilkan ciri khas Teater Mandiri. Sementatra permainan cahaya baru terasa ketika layar putih diturunkan. Dan yang layak mendapat acungan jempol adalah M. Ramdhan, penata musiknya: Tidak berisik dan pas seiring dengan kebutuhan adegannya.

Akhirnya, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Putu Wijaya dan Teater Mandiri tetap berhasil menampilkan tontonan drama yang bermutu (*).

  • Atmojo, Pencinta Seni.
  • Foto: Dodo Karundeng

                                      

                                                              ###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler