x

ilustr: ACR

Iklan

Cut Tsabita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 Desember 2022

Sabtu, 17 Desember 2022 07:18 WIB

Mengatasi Trauma Ditinggal Orang Tersayang

Saat kehilangan orang tua, remaja merasa syok dan trauma karena itu berarti juga ia kehilangan sosok yang dicintainya, terlebih jika peristiwa kematian tersebut terjadi kepada sosok seorang ayah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Tuhan, tolonglah sampaikan sejuta sayangku untuknya, ku t'rus berjanji takkan khianati pintanya.” - Yang Terbaik Bagimu (Jangan Lupakan Ayah), ADA Band
 
Banyak orang yang mengalami PTSD atau bisa disebut Post-traumatic Stress Disorder karena kehilangan orang tersayang terutama orang tua.
 
Mengapa sangat sedih ditinggal Ayah meninggal?
Saat kehilangan orang tua, remaja merasa syok dan trauma karena itu berarti juga ia kehilangan sosok yang dicintainya, terlebih jika peristiwa kematian tersebut terjadi kepada sosok seorang ayah. Mengapa sangat sedih ditinggal ayah, sebab ayah adalah sosok yang sangat berarti bagi seorang anak. Sosok ayah di keluarga merupakan pemimpin, dan seringkali ayah dijadikan sebagai contoh untuk anak-anak agar dapat belajar mengenai hidup. Ditinggal sosok pemimpin dikeluarga, memang sangat menyedihkan dan dapat membuat anak menjadi kehilangan arah dan juga dapat menyebabkan luka batin bagi anaknya.
 
Bagaimana cara menghindari dampak negatif yang ada?
Dampak negatif yang signifikan terhadap psikologis remaja akan berlangsung dalam jangka panjang, namun hal ini dapat dihindari apabila remaja mampu mengelola kesedihan dan menyesuaikan diri dengan baik pada situasi baru tanpa kehadiran orang tua (Biank & Werner-Lin, 2011). Didukung dengan kemampuan remaja untuk menyelesaikan konflik dalam diri serta menyelesaikan masalah tanpa bantuan orang tua atau orang dewasa lain (Hurlock, 2003).
 
Remaja mempunyai kemampuan lebih untuk mengatasi perasaan kehilangan akibat peristiwa kematian orang tua mereka menggunakan berbagai cara salah satunya yaitu dengan self healing.
Self-healing dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk menyelesaikan masalah serta dampak negatif yang timbul akibat peristiwa traumatik, sehingga individu mampu mendapatkan kembali kendali atas kehidupannya (Fadilah, 2020). Tujuan self-healing sendiri adalah menyembuhkan luka, kesedihan, trauma dalam diri sebagai proses pemulihan dari peristiwa traumatik yang terjadi pada diri individu (Effiah, 2020).
 
Self-healing merupakan salah satu fase yang diterapkan dalam proses pemulihan diri baik dari bencana, musibah, kejadian traumatis, dan gangguan psikologis yang didorong, diarahkan dan dilakukan oleh insting diri sendiri mengusung motivasi sebagai aset utama (Hasan, 2013).
 
Meskipun motivasi merupakan aset utama, beberapa mekanisme psikologis tertentu sengaja diterapkan dapat membantu tercapainya self-healing melalui berbagai metode yaitu meditasi, intervensi musik, yoga, biofeedback, bercerita, hipnoterapi, deep breathing dan afirmasi positif. Metode tersebut bekerja untuk mengurangi keyakinan irasional, ketakutan, dan keyakinan tidak nyata yang selama ini diyakini individu, sehingga perasaan sedih, depresi dan kehilangan juga dapat berkurang.
 
Perls dalam (Lesmana, 2006), menyatakan bahwa pada dasarnya individu memiliki kemampuan untuk mengenali pengaruh masa lalu terhadap masalah pada saat ini, penekanan pada keadaan saat ini dan sekarang, serta menentukan pilihan dan tanggung jawab. Sehingga, individu mampu menyelesaikan permasalahannya sendiri dengan self-healing. Berhasil atau tidaknya self-healing ditentukan oleh tingkat motivasi dan kemauan diri untuk menyelesaikan masalah serta menyesuaikan diri di berbagai kondisi baru.
 
Bass & Davis (dalam Widyaningsih, 2004) menyebutkan terdapat 14 tahapan yang dapat dialami oleh individu sebelum tercapai self-healing. Tahapan ke-1 adalah Decision to Heal. Pada tahap ini keputusan untuk pulih merupakan keputusan penting sekaligus berat bagi remaja agar mereka dapat lepas dari perasaan sedih, kehilangan dan mampu kembali menjalani hari-harinya. Apabila keputusan ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, remaja mampu menerima diri sendiri, lebih terbuka secara emosional dan lebih tangguh dalam menghadapi permasalahan. Tahap ke-2 adalah The Emergency Stage.
 
Pada tahap ini, remaja mengalami krisis yang merupakan suatu proses alami yang harus dihadapi dan dilalui oleh remaja pasca peristiwa kematian orang tua. Krisis yang dihadapi tiap individu berbeda. Tahap ini juga perlu diikuti dengan kesadaran diri bahwa perasaan yang dirasakan remaja saat ini tidak berlangsung selamanya. Tahap ke-3 adalah Remembering. Untuk memulai proses self-healing, mengingat masa-masa sebelum terjadinya peristiwa kematian orang tua maupun saat terjadinya peristiwa kematian orang tua adalah langkah pertama.
 
Tahap ke-4 adalah Believing It Happened. Remaja harus mempercayai peristiwa kematian orang tua mereka adalah peristiwa yang benar-benar terjadi. Tentunya hal ini tidak mudah, karena remaja akan cenderung menyangkal bahwa orang tua nya telah tiada. Penyangkalan ini disebabkan rasa ketergantungan terhadap orang tua dan anggapan bahwa peristiwa kematian orang tua sebagai suatu peristiwa yang tidak mungkin terjadi kepada dirinya. Tahap ke-5 adalah Breaking Silence. Bagian penting dari self-healing adalah bercerita kepada orang lain yang dipercaya. Hal ini dapat menjadi salah satu kunci terjadinya self-healing pada remaja.
 
Tahap ke-6 adalah Understanding It Wasn’t Your Fault. Menyalahkan diri sendiri merupakan perwujudan dari pikiran yang menyesatkan. Keyakinan remaja bahwa permasalahan yang dialami adalah kesalahannya, akan membuat remaja terjebak, sehingga proses self-healing akan terhambat. Tahap ke-7 adalah Making Contact with Child Within. Agar remaja dapat menerima keadaan dan menerima diri sendiri secara utuh, remaja dapat mengingat kembali masa kecilnya. Tahap ke-8 adalah Trusting Yourself. Dalam diri semua individu, terdapat suara hati yang mengatakan perasaannya.
 
Remaja diharapkan mampu membiasakan diri untuk mendengarkan suara hatinya sendiri, sehingga ia memahami apa yang harus dan tidak dilakukan. Tahap ke-9 adalah Grieving and Mourning. Perasaan yang terpendam akan membatasi kebahagiaan remaja. Bagian penting pemulihan dari pengalaman traumatik atau musibah adalah bagaimana mengekspresikan dan membagi perasaannya. Melepaskan perasaan sedih dan memperbaiki kehidupan sangat penting bagi remaja. Dukungan dari lingkungan sekitar yang tepat juga dapat membantu remaja dalam melalui masa sulitnya. Tahap ke-10 adalah Anger. Kemarahan adalah respon alami yang terjadi pada remaja setelah mengalami peristiwa kematian orang tua. Namun, apabila remaja tidak mampu menempatkan kemarahan sesuai dengan porsinya, timbul perasaan menyalahkan diri sendiri maupun pengalihan kepada hal-hal negatif.
 
Tahap ke-11 adalah Disclousers and Confrontations. Membuka diri dan menghadapi permasalahan tentu sangat sulit. Namun, apabila remaja mulai mencoba membuka diri, menyampaikan perasaan secara langsung akan membuat pelepasan emosi yang baik. Tahap ke-12 adalah Forgiveness. Proses memaafkan yang paling penting adalah memaafkan diri sendiri. Dengan memaafkan diri sendiri, remaja akan memahami keadaan dan merasa lega. Tahap ke-13 adalah Spirituality. Agama menjadi salah satu faktor yang dapat menghindari munculnya emosi negatif berlebih.
 
Agama juga dapat menjadi petunjuk sehingga remaja dapat segera pulih dan dari segala permasalahan yang menimpanya. Tahap ke 14- adalah Resolution and Moving on. Self-healing akan terjadi ketika pandangan dan perasaan remaja mulai stabil. Remaja tidak ragu akan apa yang akan terjadi pada hidupnya walau tanpa kehadiran orang tua yang lengkap. Hal ini dapat meningkatkan ketangguhan personal remaja, sehingga ia mampu melihat diri sendiri lebih baik, mampu menerima dan belajar dari pengalaman masa lalu.
 
Apa saja faktor yang dapat mempengaruhi proses self-healing?
Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses self-healing, yang pertama yaitu adanya bentuk dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar (Ilenia & Handadari, 2011). Remaja yang mengalami peristiwa kematian orang tua, akan kehilangan sosok yang mendukung dan mengapresiasi setiap pencapaian mereka (Biank & Werner-Lin, 2011). Apabila mereka mendapatkan dukungan yang baik dari keluarga dan lingkungan terdekat, dapat membantu proses self-healing yang lebih baik. Yang kedua yaitu bagaimana hubungan remaja dengan orang tua nya semasa hidup. Remaja yang mempunyai hubungan positif dengan orang tua nya semasa hidup, akan mengalami perasaan sedih atau berduka yang lebih intens dibandingkan dengan remaja yang hubungannya tidak terlalu dekat dengan orang tua nya.
 
Hal ini disebabkan karena hubungan remaja dengan orang tua nya semasa hidup akan mempengaruhi tanggapan emosional remaja terhadap peristiwa kematian orang tua (Putranta, 2020). Yang ketiga yaitu konsep diri remaja. Individu dengan konsep diri yang positif akan yakin dengan kemampuannya mengatasi masalah dan memperbaiki diri (Rakhmat, 2003). Remaja dengan konsep diri yang positif akan memiliki kemampuan menghadapi dan menyelesaikan masalah dengan baik. Yang keempat yaitu ketangguhan personal. Individu yang tangguh secara personalitas secara efektif mampu mengatasi dan beradaptasi dengan situasi kehidupan yang penuh tekanan. Tidak hanya mampu bangkit dalam permasalahan tertentu, individu yang tangguh secara personal juga mampu menggunakan pengalaman sebagai bahan untuk meningkatkan kekuatan diri, sehingga mampu berkembang menjadi pribadi yang lebih baik setelah menghadapi berbagai permasalahan dalam hidup (Mayasari, 2014).
 
Dalam penelitian yang dilakukan oleh (ENS & BOND, 2005) menunjukkan bahwa sekitar 90% individu yang diketahui memiliki anggota keluarga yang telah meninggal mengalami masa berkabung dan menyebabkan krisis kehidupan yang serius termasuk depresi, ketakutan, kesepian, marah, sulit tidur, perubahan kebiasaan, rasa kekosongan, rasa tidak percaya, putus asa, dan rasa bersalah. Dapat diambil kesimpulan bahwa peristiwa kematian orang tua seorang remaja menyebabkan dampak psikologis yang signifkan pada remaja.
 
Hal ini juga didukung oleh penelitian serupa oleh (Biank & Werner-Lin, 2011) yang menyatakan bahwa keinginan untuk terus bersikap kekanak-kanakan seorang anak kepada orang tua tidak sepenuhnya hilang, sehingga pada remaja yang mengalami kematian orang tua, perasaan sedih dan kehilangan tersebut juga tidak sepenuhnya hilan. Edelman (2006) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa perasaan kesedihan yang mendalam ditemukan sepanjang kehidupan pada anak yang pernah mengalami kematian seorang ibu. Dalam fase sedih dan kehilangan, remaja cenderung menutupi perasaan mereka dan memilih untuk mencari pengalihan apabila ia merasa tidak mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya (Fitria, 2013).
 
Adanya kemampuan self-healing pada remaja yang mengalami kematian orang tua dapat membantu remaja untuk beradaptasi di berbagai kondisi, salah satunya yaitu menjalani kehidupan tanpa orang tua yang lengkap. Keberhasilan remaja dalam melakukan self-healing berguna agar kualitas hidup remaja meningkat, tidak terus berada dalam kesedihan atau bahkan terjerumus kedalam hal-hal negatif akibat peristiwa kematian orang tua. Dengan penjelasan diatas, didapatkan tujuan penelitian untuk mengetahui trauma ditinggal orang tersayang dalam peristiwa kematian orang tua.

Ikuti tulisan menarik Cut Tsabita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu