x

Iklan

Nugroho Widiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 22 Januari 2022

Senin, 29 Mei 2023 09:46 WIB

Perbandingan Politik Identitas Pada Pilkada Ibukota Hingga Daerah Terpencil

Indonsia adalah negara yang menjadi wilayah jalur sutra, berbagai etnis hidup didalam negeri khatulistiwa ini, baik etnis dari luar ataupun dalam negeri itu sendiri. Salah satu etnis yang mendominasi negeri tersebut adalah etnis Tionghoa. Secara historis etnis Tionghoa masuk ke Indonesia pada abad 206 SM – 220 M melalui jalur perdagangan. Bangsa Tionghoa datang bersamaan dengan eksfedisi yang dilakukan oleh laksamana Cheng Ho sebanyak tujuh kali. Pembentukan identitas dapat terbentuk baik secara parsial maupun secara interaksial. hal inilah yang akan melahirkan perubahan sosial ekonomi, sosial politik, sosial itu sendiri dan sosial budaya. Identitas etnis dan agama adalah dua hal yang menjadi elemen perubahan sosial. Proses terjadinya politik identitas keagamaan akan melahirkan dampak langsung maupun tidak langsung pada perubahan sosial begitupun sebaliknya. Sedangkan adanya politik identitas etnisitas juga secara langsung atau tidak langsung, nyata atau tersamar melahirkan perubahan sosial. Tidak terkecuali pembentukan, penamaan dan penggunaan identitas melahirkan pula perubahan sosial

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Terjadinya interrelasi antara identitas dan perubahan sosial adalah hal yang bertentangan, baik secara tersembunyi atau terang-terangan di antara warga, badan publik dan pasar. Penerapan dan pengaktualisasian identitas pada seseorang dapat saja mencerminkan atau mewakili dirinya sendiri maupun institusi. Dalam konteks etnisitas hal itu terlihat dari terbentuknya masyarakat Jawa, Madura, Bali, Tionghoa, Arab dan sebagainya. Dalam konteks agama terjadi dalam Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Tridharma atau Khong Hu Chu.

Identitas dalam diri seseorang dapat saja sekaligus mewakili institusi baik itu etnisitas, agama dan nasionalitas. Tiga kekuatan besar inilah yang secara dominan mewarnai realitas kehidupan sehari- hari. Ini  menunjuk kepada individu dan dilain pihak masyarakat. Namun lebih ditekankan yang tidak menyandang peran sebagai badan publik maupun pelaku pasar. Badan publik adalah representasi state yang dahulu bertugas untuk merealisasi welfare state. Pasar adalah pelaku pasar, konglomerasi, baik individu maupun badan-badan usaha. Yang menjadi soal justru terjadinya perselingkuhan di antara mereka dapat merusak hubungan dua di antara ketiga kekuatan besar tersebut.

Proses demokrasi di Indonesia tidak terlepas dari orientasi identitas agama dan etnis. Hal ini dapat dilihat pada keikut sertaan partai-partai politik yang mengikuti pemilu atau pilkada sebelumnya. Proses demokrasi khususnya dalam Pilkada saja seringkali tidak terlepas  dari peran serta   beragam partai dengan berbagai ideologi  yang  ikut merongrong. Berbagai ragam identitas agama dan etnis sering kali dijadikan alat politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proses keterlibatan etnis Tionghoa pada perhelatan perpolitikan di Indonesia semakin berkembang dan semakin mendominasi. Hal ini dapat terlihat jelas di era presiden Jokowi yang berhasil memenangkan pemilu tahun 2014.

Identitas Tionghoa pada masa ini mulai mendominasi di berbagai wilayah yang berada di Indonesia. Ada beberapa fakta yang menguatkan pendapat tersebut, seperti pada kasus reklamasi kita dapat melihat bagaimana dominasi etnis Tionghoa memainkan peranan dalam pembangunan reklamasi tersebut. Hal lain yang dapat di jadikan bukti adalah peranan para etnis Tionghoa yang kebanyakan memegang peranan pada penguatan ekonomi nasional. Salah satu hal yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini adalah diangkatnya Ahok menjadi gubernur DKI menggantikan Jokowi yang pada waktu itu berhenti karena ikut kontestasi politik menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Penguatan identitas politik dan representasi politik secara otomatis muncul sebagai dampak dibukannya kran partisipasi politik yang dimulai sejak era refomasi hingga sekarang (Ana sabhana dan Suryani, 2016:21). Dalam hal ini seolah terjadi pergulatan antara masyarakat pribumi dan non pribumi.

Pilkada DKI pada tahun 2017 yang dimenangkan oleh Anis Baswedan dan Sandiaga Uno menjadi potret baru bagi pergulatan politik identitas dan refresentasi politik di Indonesia. Pada waktu itu yang menjadi lawannya adalah Ahok- Djarot pada pemilihan putaran kedua. Ahok- Djarot menjadi potret identitas dan representasi non muslim dari etnis Tionghoa. Sedang Anis-Sandi menjadi representasi muslim pribumi. Agar tidak terjadi pelebaran pembahasan maka penelitian ini akan di fokuskan pada pembahasan pada kasus pada Pilkada DKI periode 2018-2022 pada putaran kedua yang di ikuti oleh dua pasangan calon Anis-sandi dan Ahok- Djarot.

Uraian diatas menggambarkan bagaimana representasi pilkada terkait politik identitas yang terjadi di ibukota, jika dibandingkan dengan politik identitas yang ada pada daerah terpencil dimana Pilkades atau pemilihan kepala desa merupakan pemilihan untuk negara yang menganut sistem demokrasi yang bisa membebaskan seorang warga negaranya untuk memiliki hak yang bebas, bebas berpendapat,bebas memilih, tidak lepas dari kaidah undang- undang yang sudah tertera, serta cara untuk pemilihannyapun dapat dilaksanakan secara langsung di desa tersebut dengan warga desa yang siap untuk memilih pemimpin desanya tersebut. Namun, pada saat pemilihan kepala desa sedang berlangsung kerap kali dibumbui dengan adanya politik identitas didalamnya agar bisa mencapai tujuannya yang pragmatis seperti pada pemilihan kepala desa rumpin pada tahun 2019 lalu. Bisa juga dengan hadirnya sebuah politik identitas etnik yang dimainkan perannya agar bisa meraup suara terbanyak dalam pemilihankepala desa tersebut. Namun, pada saat Pemilihan kepala desa akan berlangsung kerap kali dibumbui dengan adanya politik identitas didalamnya untuk mencapai tujuan yang pragmatis seperti pada Pemilihan kepala desa rumpin pada tahun 2019. Kontestasi Pilkades rumpin 2019 diikuti oleh 3 calon terdiri dari Robi Setiawan,SE. Erna Suminar,S.Sos. dan Usup Supriadi. Pilkades 2019 ini akan memungut suara pada tanggal 03 November 2019.

Untuk sebuah proses politik seperti itu bisa menyebabkan kelompok-kelompok identitas bisa untuk saling berhadapan, tidak ada yang dominan diantaranya sehingga, terlihat samar atau tidak jelas siapa yang akan menjadi seorang pemenang yang akan memaikan perannya di panggung desa itu. Pemilihan umum atau pemilihan kepala desa sendiri termasuk kedalam sebuah proses politik dimana berbagai faktor-faktor identitas bisa menjadi bahan pertaruhan. Kini kita bisa lihat bagaimana sang aktor yang sedang mengelola isu etnis dan agama bisa menjadi hal yang masuk kedalam sebuah pertaruhan. Memang tidak

 

akan berjalan dengan mulus. Dalam zaman sekarang banyak persoalan yang kita hadapi dari mulai pertama, sebuah pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara,kepala daerah, atau bahkan kepala desa sekalipun bisa ikut untuk mendorong sebuah politik identitas. Politik identitas yang sangat mengedepankan suku,ras,agama,serta identitas kedaerahan untuk yang dapat meraup suara terbanyak dibandingkan dengan program kerja yang ditawarkan pada saat pemilihan kepala desa itu untuk kepentingan masyarakat yang berorientasi kerja politik. Kemudian, akibat dari adanya politik identitas yang dimainkan akan mengakibatkan sebuah masyarakat akan terpecah belah tidak ada lagi kerukunan, karena mereka tidak lagi peduli bagimana mengembalikan sebuah persatuan sebagai bangsa yang walaupun berbeda-beda tetapi tujuan mereka sama. Mungkin saja memang mereka akan mudah sekali tersinggung, gampang terprovikasi, dan emosi yang terbakar. Jika, terjadi sebuah perselisihan apalagi sampai menjatuhkan sebuah perkara maja yang berhak untuk menjadi penengahnya adalah seorang pendidik,mubaliigh,ustadz,guru,kiai,serta tokoh agama mereka semua berhak dan dituntut agar bisa bertanggung jawab untuk meredakan serta mengatasi kesalahpahaman itu. Pembumian nilai Pancasila memang harus menjadi proyek kebangsaan kita hari ini. Oleh karena sebuah sirkulasi politik yang tengah dilanda badai meruncingnya wacana identitas primordialistik. Landasan ini jelas berbeda dengan identitas keindonesiaan kita sewaktu sama-sama melawan penjajahan, kali ini politik identitas tengah menyisir sentimen suku agama, dan ras tertentu.

Fenomena yang lagi populer ini terinfiltrasi pada arus pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Euphorianya pun seakan menjadikan tolak ukur keberhasilan demokrasi di negeri ini. Dalam hal partisipasi, memang model pemilihan seperti sekarang ini menjadi sarana yang paling efektif untuk menyalurkan aspirasi rakyat untuk memilih pemimpinnya. Tetapi, konstruksi ini selalu menjadi masalah ketika pesta demokrasi tersebut bersentuhan dengan konflik-konflik horizontal yang malah membuat instabilitas daerah. Politik identitas yang sering kali muncul ditengah- tengah pemilihan kepala desa yang akan menyebabkan perpecahan ataupun perbedaan pendapat tentang siapa yang akan dipilih. Banyak sekali warga yang memilih calon pemimpinnya karena meraka tahu si pemimpin ini lahir dari keluarga siapa,agamanya apa, bahkan yang sering terpilih menjadi pemimpin desa itu yang sering datang untuk blusukan, bahkan yang paling parah adalah siapa yang mampu memberikan uang atau biasa disebut oleh warga desa serangan fajar yang lebih besar maka si calon akan maju serta terpilih menjadi pemimpin.<--more-->

Diskusi

    1. Identitas Politik

Secara teoritis politik identitas menurut Lukmantoro adalah politis untuk mengedepankan kepentingan kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Politik identitas merupakan rumusan lain dari polit ik perbedaan. Politik Identitas merupakan tidakan politis dengan upaya-upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai- nilai yang dipandang berharga hingga tuntutan yang paling fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar keprimordialan. Dalam format keetnisan, politik identitas tercermin mula dari upaya memasukan nilai- nilai kedalam peraturan daerah, memisahkan wilayah pemerintahan, keinginan mendaratkan otonomi khusus sampai dengan munculnya gerakan separatis. Sementara dalam konteks keagamaan politik identitas terefleksikan dari beragam upaya untuk memasukan nilai-nilai keagamaan dalam proses pembuatan kebijakan, termasuk menggejalanya perda syariah, maupun upaya menjadikan sebuah kota identik dengan agama tertentu. Sedangkan Cressida Heyes mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah penandaan aktivitaspolitis (Cressida Heyes, 2007). Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas politik identitas berkepentingan dengan pembebasan dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi (keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas.Jika dicermati Politik identitas sebenarnya merupakan nama lain dari biopolitik yang berbicara tentang satu kelompok yang diidentikkan oleh karakteristik biologis atau tujuan-tujuan biologisnya dari suatu titik pandang. Sebagai contoh adalah politik ras dan politik gender. (Hellner, 1994:4). Menurut Agnes Heller politik identitas adalah gerakan politik yang focus perhatiannya pada perbedaan sebagai satu kategori politik utama. Politik identitas muncul atas kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikular, dalam bentuk relasi dalam identitas primordial etnik dan agama. Namun, dalam perjalanan berikutnya, politik identitas justru dibajak dan direngkuh oleh kelompok mayoritas untuk memapankan dominasi kekuasaan. Penggunaan politik identitas untuk meraih kekuasaan, yang justru semakin mengeraskan perbedaan dan mendorong pertikaian itu, bukan berarti tidak menuai kritik tajam. Politik identitas seakan- Akan meneguhkan adanya keutuhan yang bersifat esensialistik tentang keberadaan kelompok sosial tertentu berdasarkan identifikasi primordialitas. Agnes Heller mendefinisikan politik identitas sebagai sebuah konsep dan gerakan politik yang fokus perhatiannya pada perbedaan (difference) sebagai suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002: 16). Di dalam setiap komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak bias dipungkiri bahwa di dalamnya terdapat berbagai macam individu yang memiliki kepribadian dan identitas masing-masing. Jadi secara umum teori umum politik identitas dan berbagai hasil penelitian menunjukkan, ada dua faktor pokok yang membuat etnis dan agama menjadi menarik dan muncul (salient) untuk dipakai dan berpengaruh dalam proses politik. Pertama, ketika etnis dan agama menjadi faktor yang dipertaruhkan. Ada semacam keperluan untuk mempertahankan atau membela identitas yang dimiliki suatu kelompok. Kedua, ketika proses politik tersebut berlangsung secara kompetitif. Artinya, proses politik itu menyebabkan kelompok-kelompok identitas saling berhadapan dan tidak ada yang dominan, sehingga tidak begitu jelas siapa yang akan menjadi pemenang sejak jauh- jauh hari. Pemilihan umum, termasuk pilkada, adalah proses politik di mana berbagai faktor seperti identitas menjadi pertaruhan. Tinggal sekarang bagaimana aktor-aktor yang terlibat di dalamnya mengelola isu-isu seperti etnis dan agama, menjadi hal yang masuk pertaruhan.

Politik identitas bisa diartikan secara sederhana sebagai sebuah strategi politik yang berfokus kepada sebuah pembedaan yang memanfaatkan sebuah ikatan primodial. Politik identitas juga bisa dikatakan sebagai alat untuk berpolitik di dalam kelompok baik etnis,agama,suku, atau bahkan yang lain yang memiliki sebuah tujuan tertentu, dan bisa untuk alat yang sebagai penunjuk sebuah jati diri dari kelompok tersebut. Maka dari itu politik identitas sering di gunakan di dalam hal apapun termasuk kepada pemilihan kepala desa yang ada desa rumpin, banyak calon-calon kepala desa yang bermain politik identitas sebagai penunjuk jati diri para kontestan agar bisa lebih di kenal lalu bisa meraup suara terbanyak pada saat pemilihan suara berlangsung. Politik identitas bisa di nilai sebagai politik yang lebig jahat di bandingkan politik uang yang sering juga ditemukan dalam pemilihan-pemilihan lainnya. Didalam diri seseorang terdapat institusi yang baik yang terdapat 3 ada Etnisitas, Agama, dan Nasionalitas. Ketiga hal itulah yang bisa menjadi dominan bisa untuk mewarnai kehidupan sehari- hari. Seorang warga bisa menunjuk ke individu namun dilain pihak masyarakat lebih ditekankan kepada yang tidak memiliki peran sebagai sebuah badan publik ataupun pelaku. Sebuah proses demokrasi di indonesia adalah sebuah proses yang tidak bisa terlepas dari sebuah identitas agama maupun identitas etnis. Hal itu bisa kita lihat kepada keikutsertaan sebuah partai politik yang khendak mengikuti pilkada sebelumnya. Proses demokrasi khususnya didalam pilkada saja sering terjadi tidak terlepas dari sebuah peran dan banyak partai yang memiliki macam ideologi yang ikut menggonggong. Bermacam macam ide identitas agama dan etins sering di jadikan bahan sebagai alat politik seseorang. Kita bisa ketahui bahwa secara teori politik identitas adalag politis yang untuk menomer satukan kepentingan anggota-anggotanya di dalam suatu kelompok karena memiliki persamaan identitas atau bahkan kesamaan sifat baik yang basicnya kepada etnisitas,ras,gender, atau keagamaan. Politik identitas adalah sebuah perbedaan sebuah rumusan dan politik identitas juga merupakan sebuah tindakan politis dengan sebuah upaya penyaluran aspirasi untuk mempengaruhi sebuah kebijakan, sebuag penguasaan kepada distribusi nilai yang bisa dilihat berharga bahkan sampai tuntutan yang paling fundamental seperti, penentuan sebuah nasib seseorang atas sebuah dasar keprimordialan. Politik identitas terlihat bisa dari kesadaran seseorang agar bisa mengelaborasi identitas partikular dalam sebuah bentuk hubungan didalam identitas yang primodial etnik dan agama. Tetapi, didalam jalan selanjutnya politik identitas bisa menjadi plagiat dan diambil oleh seorang kelompok yang mayoritasnya agar memapankan dominasi sebuah kekuasaan. Penggunaan politik identitas agar bisa meraih sebuah kekuasaan justru bisa semakin membuat perbedaan dan mendorong pertengkaran tetapi tidak berarti menuai sebuah kritikan yang tajam. Politik identitas seakan-akan membuat kuat sebuah keutuhan yang sifatnya itu esensialistik akan hal keberadaan sebuah kelompok sosial tertenty yang berdasarkan identifikasi primodialitas. desa rumpin. Dari data lapangan dihasilkan sebuah informasi bahwa politik identitas etnis di rumpin bisa memiliki sebuah pengaruh yang cukup besar

 

kepada ranah politik terkhusus untuk memperebutkan suara didalam pemilihan kepala desa di rumpin. Penulis bisa mengidentifikasi sebuah tindakan atau bahkan siasat yang dimiliki oleh masing-masing calon kepala desa bersama tim suksesnya diantaranya ada siasat dilakukannya manipulasi dan mobilisasi, dominasi sosial, dan solidaritas politk.

 

  1. Representasi Politik

Menurut Nuri Suseno dalam bukunya yang berjudul Representasi Politik, bahwa perkembangan representasi politik dapat diamati sejauh mana keberadaan Negara dalam pelaksanaan demokrasinya yang sangat dipengaruhi oleh perubahan fenomena politik. Viera dan Runciman mengatakan bahwa semua negara modern saat ini merupakan negara perwakilan. Representasi yang secara sederhana diartikan “menghadirkan yang tidak ada atau yang tidak hadir” berubah untuk memahami praktik politik demokrasi. Pada awalnya, menurut Hanna Pitkin representasi sepanjang sejarah tidak ada hubungan dengan demokrasi, ahkan tidak identik dengan demokrasi itu sendiri. Demokrasi dipandang sebagai pemerintahan rakyat sedangkan representasi adalah menghadirkan yang tidak hadir. Tentunya ini sangat berlawanan.Demikian pula yang dikatakan Benard Manin dalam The Principles of Representative Government (1997), pemerintahan perwakilan tidak sama dengan demokrasi (Nuri Suseno, 2013:26). Menurut perspektif Manin dalam melihat state dan civil sebagai representasi politik dari perspektif demokrasi, lembaga yang dipandang sentral didalam pemerintahan perwakilan adalah “election” atau pemilihan dengan distinction.Sehingga dari election lahirlah wakil-wakil politik. Menurut Hanna Pitkin, dikatakan layak seseorang wakil dalam perspektif demokrasi adalah (1) authorization (otorisasi), (2) substantive acting for (tindakan mewakili dalam

artian sesungguhnya), dan (3) accountability (pertanggungjawaban atau penanggunggugatan). Dari sini, paradigma yang semula menentang antara represtasi dengan demokrasi berbeda dapat menemukan benang merahnya (Nuri Suseno, 2013:30- 31) Repsentasi politik dari perspektif demokrasi cenderung dinamis, sebagaimana yang diungkap oleh Laura Montanaro. Montanaro melihat representasi politik dari intuisi normative demokrasi, bahwa representasi tidak harus dari election (representasi electoral) tetapi adanya self appointed representation yang berasal dari individu, kelompok masyarakat non pemerintahan (lokal, nasional, atau global). Demokrasi yang

inklusif memungkinkan representasi politik yang tereklsusikan untuk hadir dan terwakili diarena pengambilan keputusan.

Representasi politik sering dipahami sebagai keterwakilan suatu pihak atas pihak lain. Namun konsep ini bukan berarti menjadi konsep mutlak dari representasi. Seperti yang tercantum dalam kutipan berikut:

…the very notion of representation tells us that the represented is not present. Prevailing conceptual definitions in any period are shaped by its advocates who are themselves formed by their political representation is both contingent and contested, a complex combination of elements that is ill-suited to simple definition or application... (…gagasan representasi menunjukkan bahwa pihak yang direpresentasikan tidak hadir. Definisi- definisi konseptual yang ada dalam suatu periode dibentuk oleh para penganjurnya, mereka sendiri dibentuk oleh konteks dan prioritas politik pada masanya. Makna representasi politik, dengan demikian, [bersifat] sementara dan dapat diperdebatkan, sebuah kombinasi yang kompleks dari unsur unsur yang kurang cocok bagi definisi atau penerapan yang sederhana…). (Nuri Suseno, 2013:25) Kutipan diatas menunjukan bahwa

 

konsep dari representasi politik tidak mudah dipahami dan didefinisikan secara universal. Hal ini dikarenakan ada banyak perdebatan mengenai makna dari representasi politik. Representasi politik terlalu kompleks dan terdiri dari unsur-unsur yang sukar untuk didefinisikan. Representasi politik tidak hanya seputar wakil dan pihak yang diwakilinya, namun lebih dari itu.

Menurut Hanna Pitkin, setidaknya ada 4 pandangan berbeda tentang representasi yakni formal, substantif, simbolis dan deskriptif.

Pandangan formal dan deskriptif melihat representasi pada way of acting atau acting for. Sedangan pandangan simbolis dan substantive memandang dari way of being atau standing for. Gambaran representasi dari Pitkin. sendiri dianggap representasi tradisonal karena fokus yang kuat pada pemilu baik pada gagasan maupun praktik serta fokus yang kuat pada karakter dan penampilan perwakilan dari wakil disatu sisi dan mengabaikan yang diwakili disisi lainnya (Nuri Suseno, 2013:33-34). Perkembangan representasi dan election haruslah dikaitkan dengan state dan civil serta the people menurut Urbinati. Sehingga diperlukan pembenahan pada institusi- institusi representasi politik. Teori representasi politik ini tidak semata dikaitkan dengan agen-agen atau institusi institusi pemerintahan tetapi memandang representasi politik sebagai bentuk proses politik yang terstruktur dalam hubungan diantara institusi- institusi dan masyrakat sehingga dengan demikian tidak terbatas hanya pada pemusyawarahan atau pengambilan keputusan didalam majelis.

 

  1. Meritokrasi Politik dan Politik Idetitas di Indonesia

Pelaksanaan Pilkada DKI 2017 yang sudah berlalu, merupakan potret yang menunjukkan dimana politik identitas yang cenderung mengarah ke isu suku, agama dan ras. Peranan suku, agama dan ras berperan sangat kuat bahkan terkristalisasi sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat pemilih. Proses politik semacam itu disadari atau tidak akan menggerus dmokratisasi di Indonesia. Melihat fenomena tesebut, maka tidak dapat dipungkiri lagi Hal lain yang juga perlu dicermati adalah masalah mikro politik yaitu relasi-relasi penguasaan dalam praktek kehidupan sehari-harinya mengaku sebagai rezim kebenaran yang dikelola secara terstruktur dan diikut sertakan dengan membangkitkan emosi masyarakat sehingga terjadi marjinalisasi sampai munculnya label "the other", seperti; perbedaan agama, perbedaan gender, perbedaaan etnis dll. Bahkan keberhasilan penerapan politik identitas di DKI pada Pilkada 2017, telah menjadi raw model bagi beberapa daerah untuk menggunakan politik identitas sebagai pondasi utama bagi setiap kontestan untuk memenangkan pertarungan politik formal dan informal.

Partai-partai sudah tidak lagi menjadi representasi dan wadah maupun alat untuk poses konsolidasi, dan komunikasi. Mendominasinya politik identitas dalam ruang publik yang sehari-hari sekarang terjadi dengan gelombang yang begitu besar di media sosial b ukan hal yang patut dirayakan, karena sepertinya media sosial juga turut andil terjadinya segresi sosial secara horizontal yang makin melebar. Praktek demokrasi di Indonesia sepertinya telah beralih menjadi perlombaan yang tak mengenal kawan maupun lawan, semuanya dijalankan secara oligarchic democracy yang sangat akrab dengan politisasi bertendensi SARA dan memecah belah.Sentimen terhadap etnis minoritas yang terjadi hingga kini bisa jadi merupakan rekayasa sosial yang dikonsepsikan oleh kelompok tertentu untuk menarik simpati masyarakat Bahaya dari politik identitas yang berlebihan adalah bisa berujungnya

 

pada fasisme, bahkan lebih buruk lagi yaitu separatisme dan masyarakat yang sudah terasimilasi berdasarkan identitas tertentu, dapat dengan mudah dimobilisasi oleh kelompok yang ingin mencapai agenda politiknya. Politik identitas yang dijalankan oleh kelompok tertentu, berupaya memunculkan negara yang mono- identitas. Masyarakat Indonesia seakan dibuat hilang ingatan akan sejarah keragaman yang dimilikinya. Secara singkat, politik identitas tak bisa dilawan dengan politik identitas "yang lebih lunak". Ia harus dilawan dengan politik yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Hal lain yang juga perlu disikapi adalah jangan agama dibawa-bawa pada ranah politik. Agama cukup sebagai keyakinan hidup dan pedoman moral, baik dalam ranah individu maupun sosial, karena ajaran agama menekankan keimanan, ritualperibadatan, dan moralitas,

Sedangkan politik menekankan aturan main dalam perebutan dan pembagian kekuasaan dalam konteks kehidupan bernegara, karena apabila agama digunakan sebagai sentimen pimodial dan etnisitas demi kepentingan politik, maka yang terjadi adalah politisasi agama yang berpotensi terjadinya kekerasan komunal secara horizontal, dan akibatnya spirit demokrasi yang sudah diperjuangkan dengan susah payah oleh kekuatan rakyat pada tahun 1998 akan sia-sia. Dilain pihak peran para pemimpin agama baik dari agama islam, protestan, katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu secara serempak bahu membahu harus mengarahkan umatnya untuk tidak terjebak dalam politisasi agama yang dilakukan oleh kelompok kelompok tertentu demi memenuhi syahwat politik kekuasaannya.

 

  1. Persaingan Identitas Ekonomi Politik, Agama dan Etnis Pada Pemelihan DKI

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Provinsi DKI Jakarta yang dilaksanakan pada tahun 2017 yang telah lalu merupakan sebuan fenomena politik yang menarik untuk dikaji. Proses demokrasi tersebut menjadi ajang pertarungan calon gubernur (cagub) paling panas dan menghebohkan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan lebih cermat pada kasus tersebut, diantaranya terkait dengan faktor ekonomi yang turut ikut serta mempengaruhi berjalannya pelaksanaan demokrasi di ibu kota tersebut. Jika didasarkan pada sejarah Nusantara, agama Islam yang menjadi keyakinan mayoritas penduduk pribumi dibawa oleh para saudagar Arab pada abad ke tujuh Masehi setelah sebelumnya dikuasai oleh kerajaan Hindu-Budha yang dipengaruhi oleh India di abad pertama Masehi. Gelombang kedatangan orang India dan Arab ke Nusantara menjadi titik awal tumbuhnya populasi keturunan mereka di Indonesia hingga saat ini, termasuk imigrasi besar ras Mongoloid Tiongkok. Pada era kolonial, parapedagang Tionghoa bersama Arab dan India memegang peranan besar dalam perdagangan Nusantara, khususnya di Batavia. Awalnya, orang Cina datang dan menetap di Nusantara sebagai buruh dan pekerja yang dibawa oleh VOC dan Inggris, kemudian Belanda mengangkat kelas sosial orang Cina setara dengan orang India dan Arab sebagai perantara dagang Belanda dengan pribumi. Jakarta merupakan pusat perdagangan dan perekonomian bagi kaum imgran. Sebagaian besar wilayahnya diduduki oleh etnis keturunan Cina, diikuti Arab dan India. Etnis Cina dan Arab bahkan memiliki perkampungan sendiri di Jakarta.

Kawasan pemukiman warga etnis Cina disebut pecinan. Etnis Cina menempati wilayah yang dipercaya sebagai jalur naga mulai dari Kelapa Gading, Sunter, Keramat Luar Batang, dan Pluit di Jakarta Utara, sampai di Glodok, dan Jakarta Kota di Jakarta Barat. Etnis Arab punya kampung sendiri di Condet Jakarta Timur dan etnis India banyak bermukim di rumah susun Bandar Kemayoran Jakarta Pusat. Lantaran banyaknya warga etnis Cina dan Arab di Jakarta, hal ini yang menjadi kekuatan primordial bagi cagub DKI Jakarta Ahok dan Anis Baswedan. Identitas Ahok sebagai cagub keturunan Cina akan mendapatkan dukungan dari wargaJakarta etnis Cina, begitu pula dengan Anis Baswedan yang merupakan keturunan Arab sudah pasti akan didukung oleh mayoritas warga Condet, selain masing-masing memiliki basis dukungan pemilih beridentitas rasional. Sementara Agus Yudhoyono hanya berpotensi mendapatkan dukungan dari pemilih rasional. Latar belakang identitas yang berbeda dari kedua cagub, memberikan gambaran polarisasi dukungan dan kekuatan finansial yang berbeda. Ahok pasti akan didukung oleh para pengusaha atau taipan Cina yang hampir menguasai perekonomian Indonesia, khususnya Jakarta. Etnis Arab, sebenarnya tidak memiliki riwayat solidaritas seperti etnis Cina, sehingga dukungan finansial dari Arab lokal tidak begitu meyakinkan, tetapi faktor PKS sebagai partai pengusung akan menjadi perantara donasi Arab untuk Anis Baswedan karena PKS memiliki kedekatan dengan Kerajaan Arab Saudi dan Gerakan Tarbiyah atau Ikhwanul Muslimin di berbagai negara Timur Tengah. Oleh karena itu, Pilkada DKI Jakarta akan menjadi ajang pertarungan identitas yang memiliki kekuatan besar di belakangnya, yaitu antara Tiongkok dengan Timur Tengah. Secara politik, identitas itu mungkin tidak akan ditunjukkan di permukaan oleh para cagub karena tidak menguntungkan dan sangat sensitif. Tetapi pada tataran praktis diakui atau tidak dominasi identitas diantara kedua cagub akan tampak terlihat. Hal itu dibuktikan dengan keberadaan beberapa fenomena yang terjadi menjelang pilkada, seperti kasus yang menjerat Ahok yang disusul dengan demontrasi yang dilakukan oleh umat Islam yang dkenal aksi damai 212.

Dari fakta tersebut terlihat identitas itu eksis, menguat, dan berpotensi terus dikonstruksi untuk mendapatkan keuntungan lain, misalnya dukungan finansial. Identitas tersebut tidak begitu saja hadir, tetapi melaui proses panjang yang memungkinkan untuk diidentifikasi dalam proses pembentukan. Identitas itu terbentuk melalui artikulasi dan pilihan posisi cagub-cawagub, termasuk penetrasi modal dan juga dominasi struktural partai pengusung. Identitas yang terbentuk dari pola primordial tersebut secara historis sudah lama menjadi solidaritas kolektif yang saling berlawanan. Identitas kolektif akan menjelaskan bagaimana suatu kelompok menciptakan, memperkenalkan, dan mempertahankan identitas kelompoknya sebagai sebuah hal yang prestise untuk melawan kelompok lainnya. Pertarungan panjang terjadi antara Amerika dengan Cina yangmerupakan perseteruan ideologi kapitalisme dengan komunisme yang berujung pada sentimen identitas. Berbagai kerusuhan anti Cina di Indonesia merupakan kulminasi dari ketidaksukaan Amerika dan negara negara Eropa dengan komunis Cina melalui tangan penduduk setempat. Keberadaan etnis cina atau tionghoa menyimpan sejarah kelam pada masa dulu ketika kerusuhan anti Cina pernah terjadi di Batavia tahun 1740 yang dikenal sebagai Geger Pacinan atau Tragedi Angke yang menelan korban lebih dari 10.000 orang Cina. Peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung yang merembet ke berbagai kota di Jawa Barat, tahun 1972 di Pekalongan, tahun 1973 di Jakarta, Palu dan Bandung, peristiwa Malari tahun 1974, tahun 1980 di Ujung Pandang, Solo dan Medan, tahun 1995 di pekalongan, Kerusuahan sepanjang tahun 1997 hingga tahun 1998 di berbagai tempat yang berujung pada kerusuhan Mei 1998. Hal ini rupanya berdampak pada proses pembentukan etnis tionghoa yang secara strotipe dari etnis lain yang non tionghoa. Jika diamati lebih seksama rupanya masalah ini berpengaruh terhadap proses Pilkada DKI pada putaran

 

kedua. Dari semua etnis yang pernah ada di Indonesia, etnis Cina paling sering menjadi korban kemarahan pribumi. Hal itu terjadi karena sentimen identitas diciptakan oleh Belanda dengan membuat undang-undang kependudukan yang memposisikan warga pribumi sebagai inlander, atau warga negara kelas rendah, sementara Cina menduduki kelas atas dan mendapatkan akses ekonomi yang tidak diberikan kepada penduduk pribumi. Perlakuan diskriminatif tersebut membuat masyarakat pribumi memendam kemarahan terhadap etnis Cina, sehingga kapan pun bisa disulut oleh pihak luar seperti Amerika yang memang tidak suka dengan Cina menjadi kerusuhan rasial. Faktor lain yang sangat mempengaruhi pada proses Pilkada DKI adalah faktor agama. Wlaupun peranan agama bukan halyang signifikan dalam proses Pilkada tersebut.tetapi Agama seringkali dijadikan alat politisasiyang ampuh untuk menarik simpati para pemilih dalam menentukan pilihannya. Jika didasarkan pada kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ( LIPI) Pilkada Jakarta 2017 menunjukkan adanya peningkatan intensitas kampanye berbasis politik identitas, khususnya etnis dan agama. Sementara pemilih yang memilih didasarkan agama hanaya 3,6%.

Dengan demikian kita dapat melihat ada orientasi politik yang mengara kepada identitas ekonomi, agama dan ras. Sebagaimana yang terjadi pada kasus Pilkada DKI pada putaran kedua yang dimenangkan oleh Anis-sandi. Hal tersebut tidak luput dari pengaruh politik identitas primordial terkait etnis tionghoa dan agama. Ada beberapa fenomena yang melatarbekangi naik turunnya elektabilitas calon kandidat yang maju putaran kedua. Jika dicermati masing masing dari kedua pasangan calon keduanya memerankan identitas masing-masing. Pasangan kandidat Ahok-Djarot memainkan identitas tionghoa dan sekaligus menjadi representasi dari ekonomi, ras dan Agama tionghoa yang beragama katolik. Pasangan tersebut mengalami penurunan elektabilitas ketika dihadapkan pada kasus ahok yang terjerat hukum penistaan agama. Sedangkan pasangan Anis-Sandi mereka memerankan identitas ekonomi, ras dan agama Islam. Secara ekonomi, etnis dan agama Anis-Sandi merepresentasikan bangsa arab.

 

  1. Siasat Manipulasi dan Siasat Mobilisasi

Sebuah peran politik identitas etnis di dalam panggung pemilihan kepala desa menerapkan sistem yant terstruktur dan terorganisir dengan melakukan siasat membawa individu atau bahkan komunitas berdasarkan persamaan etnis agar bisa menguatkan pemilihan suara terbanyak. Kenyataan politik identitas itu sudah menjadi keturunan atau sesuatu yang given. Seorang warga dalan memikih pemimpin pada akhirnya kecanduan orientasi etnis. Kepada warga yang multi etnis seperti di desa rumpin bisa sangat mungkin dengan melihat kenyataan polititasi etnis bisa dilakukan oleh masyarakat yang berkepentingan. Jika,kita lihat sebuah strategi elit-elit politik di desa rumpin sangat terorganisir sebuah pendekatan-pendekatan yang dilakukan secara intens. Dari pendekatan instrumentalis tersebut bisa dikatakan bahwa makna politik etnis dalam penelitian ini adalah upaya melakukan politisasi etnis dalam rangka untuk mengejar kepentingan politik. Namun,ketika identitas itu berpindah kepada kepentingan yang beubah bisa dikatakan bahwa identitas menjadi sesuatu yang bersifat politisi. Disaat adanya politisasi identitas, identitas itu bisa bergerak kepentingan, identitas yang kepada mulanya adalah base onidentity dan base on interest bisa dijadikan instrumen untuk bisa mendapatkan simpati dari para warga. Jadi,bisa dikatakan terjadinya sebuah politik identitas disebabkan adanya sebuah kelompok yang memiliki berbagai kepentingan. Ralitas politik identitas tersebut

 

bisa dilihat bahwa etnis khususnya di desa rumpin dipolititasi atau dimanfaatkan sebagai instrumen untuk mengejar keuntungan ekonomi dan politik. Dalam hal ini etnisitas tidak lagi dikatakan sebagai sebuah kelompok etnis yang berjuang melakukan upaya afirmasi. Tetapi, lebih dari pada itu identitas etnis bisa dipakai senagai instrumen agar bisa mengejar suatu kepentingan diranah perpolitikan. Tentu hal itu sangat menarik untuk kita lihat karena memperlihatkan suatu paradoks demokrasi dimana pada satu sisi kebebasan dan berbagai macam kelompok bisa dijamin taoi disisi lain terdapat kebebasan dan keberaganan tersebut bisa digunakan untuk kepentingan suatukelompok tertentu.<--more-->

 

Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa perhelatan politik pada Pilkada DKI putaran kedua tidak luput dari orientasi politik identitas dan representasi. Adapun bentuk orientasinya mengarah kepada orientasi ekonomi, agama dan ras. Ada beberapa alasan peneliti berkesimpulan demikian, pertama; peneliti mengamati elektabilitas pasangan calon pada Pilkada DKI putaran kedua melalui data-data yang disampaikan oleh beberapa lembaga survey yang menghasilkan bahwa elektabilitas dari kedua kandidat mengalami fluktuasi hal ini dipengaruhi oleh beberapa kasus yang ikut mewarnai perhelatan politik di DKI tersebut. Seperti halnya kasus yang terkait etnis dan Agama sebagaimana yang telah dijelas pada pembahasan diatas. Selain itu lebih jelas lagi terlihat pada kemenangan pasangan calon Anis-Sandi yang memenangkan pemilihan putaran kedua. Hal itu pun tidak terlepas dari beberapa faktor yang melatar belakanginya, seperti adanya aksi damai 212 terkait kasus hokum yang menjerat Ahok.

Pilkades secara langsung adalah kemajuan bangsa ini dalam berdemokrasi, selama 32 tahun suara rakyat dibelenggu dengan otoritarianisme dalam kekuasaan, tetapi ada pula tantangan kedepan bukan makin sedikit tetapi justru semakin banyak. Oleh karena itu politik identitas menjadi salah satu batu terjal terselenggaranya sebuah sistem pemilihan pemimpin yang ada di Indoensia. Ketika kita melihat lebih jauh lagi hal tersebut haruslah dikontrol dan di formulasikan secara baik dalam hal pengaturan sistem partai politik yang kini merosot tajam dalam hal kepercayaan public. Adanya politik identitas dibalik pemilihan kepala desa tentu membuat kita khawatir adanya sebuah nepotisme dimana ras, agama, dan etnis menjadi tolak ukur seseorang tersebut bisa melaju sebagai pemimpin disebuah desa. Politik identitas yang sering kali muncul ditengah-tengah pemilihan kepala desa yang akan menyebabkan perpecahan ataupun perbedaan pendapat tentang siapa yang akan dipilih. Banyak sekali warga yang memilih calon pemimpinnya karena meraka tahu si pemimpin ini lahir dari keluarga siapa, agamanya apa, bahkan yang sering terpilih menjadi pemimpin desa itu yang sering datang untuk blusukan, bahkan yang paling parah adalah siapa yang mampu memberikan uang atau biasa disebut oleh warga desa serangan fajar yang lebih besar maka si calon akan maju serta terpilih menjadi pemimpin. Seharusnya ketika kita akan memilih seorang pemimpin baik untuk negara, daerah, ataupun desa kita harus bisa melihat bagaimana ia nanti akan berkerja dan memimpin desa secara baik. Membuat desanya menjadi tentram serta memperhatikan masyarakat desa yang tidak mampu. Adanya sebuah politik identitas sebenarnya bisa berdampak baik dan bisa untuk dimainkan demi terciptanya sebuah kualitas bagi semua masyarakat agar setiap perorangan bisa mendapatkan kesempatan yang sama baik dari segi pendidikan, ekonomi, politik, atau bahkan dari segi pemerintahan. Dikarenakan pada keyantaannya masih banyak sekali yang terjadi diantara

 

mayoritas dan minoritas yang kerap terjadi adanya sebuah diskriminasi yang identitas menjadi sebuah aktor utama untuk mengurangi peluang. Tidak hanya politik identitas saja yang ada dibalik panggu sebuah pemilihan tetapi Politik uangpun ikut bermain didalam sebuah pilkades maka bisa dipastikan siapa yang akan meraih suara terbanyak karena keterbasan ekonomi masyarakat desa sehingga mengkesampingkan bagaimana si pemimpin itu kelak akan memimpin desanya tersebut

Ikuti tulisan menarik Nugroho Widiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler