Penulis lepas yang gemar menulis cerpen, cerita anak, dongeng, dan apa saja yang bisa ditulis. Penggemar donat yang suka membaca.

Wahai Penulis, Raja Tetap Raja Meski Tanpa Mahkota

Kamis, 14 September 2023 07:32 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi penulis
Iklan

Jangan memaksa diri untuk menerbitkan buku, kalau kita lebih senang menulis di media. Kalau serius, menjadi penulis media akan membuat kita sibuk dan tertantang untuk membuat tulisan sebanyak mungkin.

Di media sosial, saya pernah membaca unggahan berupa kata-kata mutiara begini: penulis yang tidak punya buku, ibarat raja tanpa mahkota. Ada pula yang dengan kalimat lain: buku adalah mahkota bagi penulis.


Kata-kata mutiara tersebut ditujukan pada para penulis untuk giat menerbitkan buku. Dengan kata lain, seseorang belum dianggap sebagai penulis kalau belum menerbitkan buku.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Saya yakin banyak penulis yang termotivasi oleh kata-kata mutiara tersebut, lalu berusaha sekuat tenaga untuk menerbitkan buku. Namun, menerbitkan buku tidak semudah membalik telapak tangan, terutama bagi penulis pemula.


Serangkaian tahapan harus dilalui penulis untuk menerbitkan buku. Mulai dari mengolah ide, menulis, menyunting, mengirim naskah ke penerbit, hingga memromosikan bila buku telah terbit. 


Tahapan yang panjang, yang kadang membuat sebagian penulis mengurungkan niat menerbitkan buku. Namun, bagi penulis yang telah terkenal, semua tahapan itu terasa ringan.
Di masa lalu, hampir semua penulis mengirimkan naskah ke penerbit, menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan kepastian apakah naskahnya bisa diterbitkan menjadi buku atau tidak? 

Lazimnya, yang berani mengirimkan naskah ke penerbit adalah para penulis yang punya pekerjaan tetap sebagai dokter, pegawai negeri, pegawai swasta, atau pekerjaan tetap lainnya. Bagi mereka, menulis dan menerbitkan buku adalah pekerjaan sampingan.


Di masa sekarang, semua orang bisa menerbitkan buku. Tak perlu mengirimkan naskah ke penerbit mayor seperti di masa lalu. Sekarang, penulis bisa menerbitkan sendiri buku karyanya. 


Banyak penerbit yang siap menerbitkan buku tanpa proses yang panjang dan ribet. Tentu biaya penerbitan buku ditanggung oleh si penulis. Pihak penerbit hanya menyediakan tenaga layout, desain sampul, mengurus ISBN agar buku tampak resmi, dan sedikit penyuntingan ringan untuk mengecek salah ketik. Cara seperti ini lebih dikenal dengan penerbitan indie atau swadaya.


Jadi, kalau Anda punya banyak uang, dapatlah menempuh cara ini untuk menerbitkan buku. Buatlah tulisan sesuka Anda, yang penting tidak menyinggung SARA, pornografi, pornoliterasi, lalu serahkan naskah Anda ke penerbit. 


Banyak penerbit yang memasang iklan di internet, berapa tarif mereka untuk menerbitkan buku. Bahkan penerbit mayor pun kini ada yang membuka lini penerbitan indie. Anda mau mencetak buku berapa eksemplar pun, penerbit indie ini akan siap, asal Anda juga siap dengan dana.


Bagaimana memasarkan buku yang terbit swadaya tersebut? Ada penerbit yang berbaik hati membantu memasarkan, dengan memasukkannya ke toko buku, namun yang jelas Anda harus aktif berpromosi. Jadi, setelah jadi penulis, kini Anda harus berperan sebagai pramuniaga untuk menjual buku karya Anda sendiri. Melelahkan? Memang!


Belakangan ini mulai populer menerbitkan buku secara digital. Anda bisa tempuh cara itu. Saat ini banyak aplikasi untuk membuat buku, seperti novel, kumpulan cerpen, komik, dan lainnya. 
Aplikasi-aplikasi buku digital tersebut ada yang menyediakan editor, ada yang tidak. Kalau Anda tidak mau repot, boleh coba mengirim atau mengunggah naskah buku Anda di aplikasi yang tanpa editor. Dalam sekejap, buku Anda telah tayang dan siap dibaca oleh orang di seluruh dunia! Menggiurkan? Semoga begitu, meski harapan sering tidak sesuai dengan kenyataan.


Menulis atau menerbitkan buku di aplikasi buku digital, Anda akan bersaing dengan ratusan ribu penulis yang juga punya impian sama; mendapat banyak pembaca. Fakta, hanya segelintir penulis yang berhasil meraup ribuan bahkan ratusan ribu pembaca. 


Selebihnya, penulis harus berjibaku untuk meraih pembaca. Penulis harus menguasai teknologi internet seperti penggunaan hashtag, menguasai SEO, afiliasi, dan bentuk promosi lainnya. Mungkin, penulis di Indonesia memang harus belajar tentang marketing atau pemasaran.


Benarkah seseorang dianggap sebagai penulis kalau sudah menerbitkan buku? Sekian tahun yang lalu, saya pernah membaca artikel yang menyebutkan bahwa untuk menjadi penulis harus menentukan tujuan terlebih dahulu; apakah menjadi penulis buku atau menjadi penulis media. Penentuan tujuan ini agar kita bisa fokus dan produktif dalam menulis. 


Penulis media adalah mereka yang menulis untuk media seperti koran, majalah, tabloid, buletin. Sejarah membuktikan banyak penulis yang terkenal karena fokus pada satu jalur, entah melalui buku atau melalui media. Tidak semua orang bisa menjadi penulis buku dan penulis media secara bersamaan.


Jangan memaksa diri untuk menerbitkan buku, kalau kita lebih senang menulis di media. Menjadi penulis media juga menyenangkan, meski tanpa mahkota. Kalau kita serius, menjadi penulis media akan membuat kita sibuk dan tertantang untuk membuat tulisan sebanyak mungkin.


Saat ini ada banyak media cetak, mayoritas menerima tulisan dari pembaca. Banyak pula rubrik yang bisa kita masuki, seperti opini, cerpen, puisi, dongeng, esai, dan tulisan lainnya. 


Selain media cetak, saat ini juga bertebaran media daring yang menerima tulisan dari pembaca. Dalam catatan saya, ada lebih dari 100 media cetak dan media daring yang siap menampung tulisan dari penulis lepas. Mayoritas media ini menyediakan honor yang bisa menjadi lahan subur bagi penulis untuk meraih penghasilan.


Sampai di sini saya menyimpulkan bahwa, anggapan seseorang dianggap sebagai penulis kalau sudah menerbitkan buku, adalah tidak tepat. Bagi saya, predikat penulis disematkan pada mereka yang produktif menulis. 


Ibarat kata, tidak semua prajurit menjadi jenderal. Ada yang sampai pensiun masih berpangkat kopral. Begitu pula penulis, tidak semua penulis harus menerbitkan buku. Ada yang sampai tua belum menerbitkan satu buku pun, tetapi produktif menulis melalui media.


Raja tetap raja meski tanpa mahkota. Penulis tetap penulis meski tidak menerbitkan buku. Selama ia terus menulis, maka ia layak menyandang predikat sebagai penulis. Sesederhana itu? Memang!
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang, 9 Mei 1974. Karyanya berupa cerpen tersiar di media lokal dan nasional, cetak dan daring. Bukunya yang telah terbit novel remaja Hah! Pacarku? (2006) serta antologi cerpen bersama Bahagia Tak Mesti dengan Manusia (2017) dan Sepasang Camar (2018). Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Sulistiyo Suparno

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Menari Bersama Bidadari

Sabtu, 21 Oktober 2023 13:57 WIB
img-content

Jangan Pacari Kakakku

Senin, 16 Oktober 2023 09:43 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler