x

Ngayau

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 22 Mei 2024 12:53 WIB

Ngayau, Budaya Head Hunter yang Berevolusi

Ngayau dikenal sebagai budaya berburu kepala manusia. Namun ngayau sesungguhnya punya nilai arif dari kacamata orang Dayak.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Ngayau

Penulis: R. Masri Sareb Putra dan M.S. Gumelar

Tahun Terbit: 2014

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Essence

Tebal: vii + 377

ISBN: 978-1-312-05206-2

 

Menjelaskan budaya, legenda dan sejarah kehidupan sebuah komunitas melalui karya fiksi adalah sesuatu yang rumit. Apalagi kalau upaya tersebut dihubungkan dengan world view sebuah komunitas. Namun Masri Sareb Putra dan Gumelar sungguh sangat berhasil melakukannya melalui buku yang dijuduinya ”Ngayau” ini. Betapa tidak. Masri Sareb Putra dan Gumelar meramu budaya ngayau dan segala legenda yang terkait di dalamnya, legenda asal muasal orang Dayak dan kehidupan sejarah masa kini menjadi sebuah kisah yang menarik. Bahkan kedua penulis ini menghubungkan dengan cara berpikir modern dan cita-cita masa depan. Termasuk tentang adanya kehidupan di luar bumi. Sebuah kisah pendaratan pesawat lintas galaksi dipakai sebagai prolog dan kloning manusia sebagai epilog.

Selain dari mengemas kisah budaya dan legenda, novel ini secara mendalam membahas hubungan antaretnis yang ada di wilayah Kalimantan Barat. Khususnya tentang relasi orang Dayak dan orang Tionghoa. Hubungan antara etnis Dayak dan etnis Tionghoa sudah terjalan sekian lama. Namun hubungan tersebut kadang terganggu karena campur tangan pihak luar. Hubungan yang harmonis tiba-tiba mewujud menjadi hubungan perang yang penuh darah dan hilangnya nyawa. Misalnya peristiwa pembantaian orang Tionghoa oleh suku Dayak di tahun 1967 akibat dari provokasi pihak luar. Juga tentang kerusuhan etnis yang dikenal sebagai ”Tragedi Sambas.”

Ngayau dipakai sebagai judul novel ini karena budaya ngayaulah yang dijadikan benang merah kisah dari awal sampai akhir di novel ini. Ngayau adalah budaya suku Dayak di Kalimantan. Novel ini menggambarkan bagaimana evolusi tentang budaya yang lebih dikenal sebagai budaya pemburu kepala (head hunter). Ngayau yang oleh orang luar dimaknai sebagai sebuah budaya sadis, dalam novel ini dijelaskan sebagai sebuah upaya untuk mempertahankan eksistensi wilayah dan tanah ulayat dari ancaman pihak luar (catatan kaki di halaman 353). Itulah sebabnya dibagian akhir novel ini digambarkan bahwa Panglima Burung masuk ke tubuh seorang pemudi arif bijaksana yang menjadi pemimpin negara sekaligus pakar sain. Wanita belia yang bernama Profesor Eunomia Mae Kola Jora adalah rektor sebuah universitas, terpilih menjadi pemimpin negara dan berhasil membuat klon manusia unggul.

Kisah novel ini sendiri diawali dengan pendaratan pesawat luar angkasa dari Planet Dyak ke bumi. Pasangan Sabang Mangulur dan Sabung Menjulur turun ke planet bumi. Anak-anak merekalah yang menjadi penghuni awal Pulau Borneo. Komunitas yang berasal dari Planet Dyak ini kemudian berevolusi sehingga tubuhnya menjadi manusia. Tujuh ribu tahun setelah menghuni Kalimantan, orang-orang Planet Dyak bertemu dengan segerombolan manusia bermata sipit, kulit kuning, rambut lurus hitam yang datang dari utara (hal. 15). Kedua komintas ini kemudian kawin-mawin sehingga terjadi penyatuan genetik. Pada masa tersebut, ngayau dilakukan dalam bentuk berburu binatang untuk mempertahankan kehidupan.

Kisah berikutnya menceritakan ngayau sebagai syarat untuk membangun kampung. Ada kepercayaan bahwa betang, atau rumah panjang tidak akan tahan jika tiang-tiangnya tidak disangga kepala-kepala musuh (hal. 24). Itulah sebabnya budaya ngayau di masa itu dilakukan antarkampung dalam rangka mempertahankan atau memperluas wilayah tinggal sebuah komunitas. Ngayau juga dilakukan sebagai simbol kejantanan.

Ngayau yang menyasar kepada etnis lain diceritakan melalui tragedi pembantaian orang Tionghoa tahun 1967. Orang Dayak yang marah karena provokasi pihak luar melakukan penyerangan brutal kepada etnis Tionghoa. Orang-orang Tionghoa (Hakka) menyaksikan manusia kepala merah (Dayak) mengamuk dan menghajar siapa saja. Orang-orang Tionghoa yang ketakutan tersebut menyebutnya sebagai ”Cheu fung theu” yang artinya lari terbirit-birit karena ketakutan. Meski banyak menelan korban, kesalahpahaman ini bisa diredakan. Kisah kelam tersebut dibalut dengan kisah cinta antara Lansau, seorang pemuda Dayak dengan Siat Mei seorang gadis Tionghoa. (hal. 47).

Peristiwa berdarah tahun 1967 menjadi bagian utama dalam kisah di novel ini. Masri Sareb Putra dan Gumelar merangkainya menjadi kisah brutal tetapi sekaligus penuh perjuangan untuk mempertahankan persaudaraan antara orang Dayak dengan orang Tionghoa. Kedua penulis ini berasumsi bahwa orang Dayak dan orang Tionghoa pada dasarnya adalah sama secara genetik. Hanya saja orang Dayak lebih dulu sampai di Kalimantan, baru kemudian orang Tionghoa.

Di bab-bab berikutnya, Masri Sareb Puntra dan Gumelar membahas makna ngayau di masa modern. Ngayau yang bermakna sebagai perburuan kepala sudah berakhir sejak kesepakatan bersama suku-suku Dayak di Borneo pada pertemuan Tumbang Anoi 22 Mei – 24 Juli 1894. Di masa modern ngayau dimaknai sebagai upaya keras untuk mengatasi paceklik pangan dan pengumpulan piala dalam pertandingan olahraga. Ngayau dalam novel ini bermakna sebagai karakter manusia Kalimantan untuk menjadi manusia unggul. 836

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler