Kota Tanpa Senja

Senin, 15 Juli 2024 08:09 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pertemuan Kembali

Sore akhir pekan, aku duduk termenung diam di salah satu kafe di kota tempatku kerja saat ini. Kafe yang menghadirkan racikan kopi yang khas, yang menjadi tempat berkumpulnya penikmat kopi saat malam tiba. Sore ini aku ingin menikmati matahari yang berlahan turun. Di kota ini tidak ada senja karena pegungan yang menjulang ingin menikmatinya sendiri. Kuseduh kopi yang baru saja disajikan sembari menatap hiruk pikuk kota yang diiringi oleh lantunan suara ombak yang berlabuh di pantai. Aroma kopi di meja yang terus memanggilku untuk segera meminumnya. Leptop yang sedari tadi telah stanby, leptop yang seharusnya menggerakan jemariku untuk sedari kemarin untuk menyelesaikan sebuah skenario cerita.

Pikiranku kacau, karena sudah beberapa bulan aku tidak sanggup menyelesaikan satupun skenario cerita, aku hanya ingin tenang sebentar, batinku dalam hati, aku mengacak rambutku yang baru saja kupotong kemarin sambil memjamkan mata kusulut api untuk menyalakan rokok yang selalu kunikmati bersama kopi, hingga suara itu datang, suara yang tak asing dan telah lama aku tak mendengarnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Pusing?” ucap suara itu, aku menoleh untuk melihat sumber suara itu, seorang wanita berhijab sedang berdiri di depan mejaku, aku terdiam menatap wanita itu, memperhatikan perawakan, hidung mancung dan sepasang bola mata indah yang sudah tidak asing lagi bagiku. Aku mengerutkan kening, seolah bertanya sedang apa kamu disini?

“Kenapa? Aneh yah?” tanyanya sambil menarik kursi yang ada di depanku, menunjukan dia akan duduk di kursi satu meja denganku.

“Tidak! Hanya sedikit kaget kamu ada di kafe ini!”

“Kenapa kaget, kafe ini milik teman kuliah saya dulu” tiba – tiba seorang pelayan datang menghampirinya.

“Colat dingin aja” ucapnya, kemudian kembali menatap diriku, pelayan itu berlalu meninggalkan aku dan dirinya.

“Kamu selalu nongkrong disini yah” tanyanya mencoba memulai percapakan.

“Aku suka dengan racikan kopi yang khas dari kafe ini, berbeda dari kafe yang lain dan campuran kopinya sangat pas” jawabku, lalu menyeruput kopi di meja.

Namanya Muftia, wanita yang sama – sama merantau di kota ini tapi dari daerah berbeda, kami dekat empat tahun lalu sewaktu ada acara kantor dan dia diundang untuk menjadi MC dalam acara tersebut dan kami mulai akrab sejak saat itu, setahuku dia tidak suka pergi ke kafe atau semacamnya. Tiba -  tiba teringat suatu momen dimana dulu aku sempat mengutarakan rasa sukaku kepada Muftia, saat itu dia hanya diam, menatap mataku, seakan tidak mampu menjawab, dan pada akhirnya dia menolakku. Pada saat itu aku hanya tersenyum kecil atas penolakan itu, tapi keputusannya itu adalah sebuah keputusan tepat dan aku yang salah, karena pada waktu itu Muftia sudah memiliki kekasih, dan aku tau persis siapa kekasihnya.

Tapi tiba – tiba aku membatin, tenang aku tidak akan pernah menyesal atau malu telah mengutarakan perasaanku kepada Muftia, setidaknya perasaan yang terus ada dalam diriku telah kusampaikan kepadanya, walaupun dengan penolakan.

Kembali ke masa sekarang, aku terus memperhatikan dirinya, melupakan sejenak skenario cerita yang akan aku tulis.

“Bagaiamana kabarmu?” tanyanya tiba – tiba.

“Alhamdulillah, baik?” jawabku singkat

“Kamu sendiri bagaima?” balasku cepat

Tiba – tiba suara suasana hening, sepertinya dia tidak ingin menjawab, atau mungkin jawabannya sudah ada dikepalanya tapi kata – kata tertahan ditenggorokannya. Dengan sedikit senyum, dia akhinya bicara.

“Bulan lalu aku baru saja putus dengan pacarku! setelah kutemukan dia sedang bersama wanita lain disebuah tempat karoke di kota ini, hatiku sangat sakit” jawabnya, dengan sedikit air mata yang keluar dari mata indahnya.

“Padahal ibu sudah sering mempertanyakan kapan dia akan ke rumah untuk meminangku, ya aku hanya bisa menjawab kalau dia lagi sibuk dengan kerjaannya” tambahnya sembari mengambil tissu yang telah kusodorkan kepadanya.

“Dia mencoba untuk menjelaskan semuanya kepadaku, tapi aku tak dapat menerima semua penjelasannya, karena aku tau persis perempuan yang bersamanya, perempuan itu tak lain adalah sahabatku sendiri” kembali dia mengeluarkan air mata.

Dalam hatiku terbesit sebuah penyesalan akan pertanyaanku yang mebuatnya menangis hingga membuat mata indah itu berkabut, tapi disisi lain mungkin semua cerita akan sakitnya dapat membuatknya sedikit membaik.

“Ini tuh gara – gara kamu” suasana tiba – tiba berubah.

“Loh kok saya?”

“Ya, iyalah karena kamu bertanya jadinya aku cerita sampai nangis begini” tambahnya lalu kembali meminum coklat yang sudah sejak tadi tersaji.

“Setidaknya kamu harus bersyukur, karena kamu diperlihatkan sebelum menikah, coba setelah menikah baru di perlihatkan, kan tambah parah” jawabku coba menghiburnya.

Kami terus bercerita hingga akhirnya waktu yang tak pernah berhenti berdetak itu memutuskan pembincangan kami. Dia berpamitan kepadaku dan meninggalkan sebuah kenangan yang mebuatku kembali membuat sebuah harapan.

Kopiku sudah dingin. Leptop yang ada di depanku pun mulai aku pegang, jemariku pun rasanya ingin segera menari di atas keyboard nya. Sambil sedikit tersenyum jarikupun mulai mengetik “Sore telah memberikanku skenario kopi”

Seandainya mungkin kota ini memiliki senja, lalu kejadian yang barusan terjadi, maka mungkin skenarionya akan lebih indah dari bola mata Muftia

Bagikan Artikel Ini
img-content
Kifli Jelek

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Telinga

Senin, 15 Juli 2024 15:02 WIB
img-content

Motor yang Mendaki

Senin, 15 Juli 2024 08:16 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler