Dari Pertumbuhan ke Restorasi
3 jam lalu
Bagaimana jika Indonesia mengukur keberhasilan bukan dari pertumbuhan, tapi dari apa yang dihasilkannya untuk kehidupan?
***
Janji netralitas karbon Indonesia, yang mau dicapai pada 2060 atau lebih cepat, merupakan ambisi yang dibutuhkan di era kita. Masalahnya, janji itu tidak mencerminkan prioritas pemerintah yang sebenarnya. Ia bertolak belakang dengan target pertumbuhan tahunan delapan persen—sebuah target yang akan melipatgandakan ekstraksi, emisi, dan tekanan ekologis jauh sebelum manfaatnya dirasakan semua orang.
Bayangkan jika aksi iklim Indonesia dimulai bukan dengan menghitung karbon—yakni seberapa banyak yang bisa kita cegah masuk ke atmosfer, atau berapa banyak keuntungan yang bisa kita peroleh darinya—melainkan dengan memulihkan apa yang menyangga kita: tanah, air, dan mata pencaharian. Mana yang lebih layak untuk diperjuangkan?
Selama sedasawarsa terakhir, pemerintahan telah berganti, tapi kebijakan iklim kita masih terfokus secara sempit pada pengurangan emisi, proyek-proyek offset, dan portofolio investasi “hijau”. Pendekatan penghitungan karbon ini—di dunia ada istilahnya sendiri, yaitu carbon tunnel vision—memperlakukan krisis iklim sebagai masalah matematis, sementara mengabaikan problem yang lebih mendasar: degradasi ekologi dan ketimpangan, yang mendorong emisi sekaligus kerentanan.
Hutan, misalnya, dinilai berdasarkan karbon yang disimpannya, bukan karena kemampuannya menopang masyarakat atau melindungi daerah aliran sungai. Kebijakan iklim menjadi semacam buku besar, bukan penyambung hidup—secara teknis tidak memadai dan tidak berlandaskan kenyataan sosial.
Mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi selama lima tahun ke depan hanyalah ilusi lain yang membentuk jalan iklim kita. Pertumbuhan masih diyakini dapat menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan kita. Ia menjadi mantra yang diulang-ulang tanpa mempertanyakan siapa yang benar-benar diuntungkan. Padahal, target delapan persen menuntut ekspansi ekstraksi, infrastruktur, dan konsumsi yang tak henti-hentinya—kegiatan yang mau tak mau mengikis ekosistem yang menjadi tumpuan kemakmuran sejati.
Meskipun pertumbuhan telah berlangsung selama dua dasawarsa, ketimpangan, degradasi lingkungan, dan kerentanan terhadap bencana iklim justru semakin memburuk. Kita memproduksi lebih banyak, tapi kita tidak hidup lebih aman dalam batasan alam. Pengejaran ekspansi tanpa henti telah mengubah perekonomian menjadi seperti treadmill: bergerak lebih cepat, ke arah yang sama, dengan keletihan yang semakin meningkat.
Yang benar-benar dibutuhkan Indonesia bukanlah memproduksi lebih banyak, tumbuh lebih cepat, atau berekspansi tanpa henti, melainkan mengelola produksi secara berbeda—dengan cara yang memulihkan kehidupan, alih-alih mengurasnya. Inilah fondasi ekonomi restoratif.
Ekonomi restoratif merupakan antitesis dari model yang dipraktikkan saat ini di Indonesia—dan sebagian besar dunia. Ekonomi ini dapat disebut dengan banyak nama (Brasil, tuan rumah konferensi iklim atau COP30, akan mempromosikan sosio-bioekonomi), tapi esensinya jelas: ekonomi yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip restorasi dan regenerasi ekosistem, serta memenuhi kebutuhan semua orang melalui partisipasi demokratis dan manfaat bersama. Dalam ekonomi restoratif, memperbaiki apa yang telah rusak—tanah, hutan, perairan, dan hubungan sosial—menjadi prinsip pengorganisasian kehidupan ekonomi.
Dalam praktiknya, ekonomi restoratif akan terbentuk melalui restorasi yang dipimpin masyarakat, dengan masyarakat adat dan komunitas lokal memainkan peran sentral. Restorasi dimulai dengan memulihkan hutan bakau, lahan gambut, dan lahan terdegradasi—tidak hanya untuk mencegah hilangnya karbon tapi juga untuk memulihkan mata pencaharian, keanekaragaman hayati, dan ketahanan lokal, serta memperbaiki fondasi ekologis bagi ekonomi. Restorasi juga mencakup pertanian regeneratif, penciptaan lapangan kerja melalui restorasi ekologi, dan perencanaan ekonomi yang mengukur keberhasilan melalui restorasi, bukan ekspansi.
Upaya semacam itu sudah ada. Di Aceh, Kalimantan Tengah, dan wilayah lainnya, masyarakat memulihkan hutan bakau, menghidupkan kembali lahan gambut, dan membangun ekonomi sirkular dalam usaha kerajinan tangan dan pertanian. Meski masih berupa eksperimen kecil, hal ini menunjukkan potensi kekuatan komparatif Indonesia: kekayaan alam yang melimpah, pengetahuan lokal, dan tradisi pengelolaan berbasis masyarakat yang dapat menjadi tulang punggung ekonomi restoratif yang sesungguhnya.
Prinsip-prinsip restoratif juga mulai mengakar dalam kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah. Banyak yang mulai menyelaraskan bisnis mereka dengan regenerasi ekologis—menggunakan material berkelanjutan, mendaur ulang limbah, dan mendukung mata pencaharian lokal. Jumlah mereka terus bertambah, membentuk gerakan diam-diam yang menunjukkan bagaimana aktivitas ekonomi dapat memulihkan alih-alih mengeksploitasi. Di beberapa wilayah yang kaya hutan, pemerintah daerah juga telah memilih untuk mengambil jalur yang berbeda dari model ekstraktif yang ditempuh pemerintah pusat—model yang menghargai pelindungan hutan, integritas budaya, dan kesejahteraan masyarakat sebagai pilar kemakmuran.
Untuk bergerak ke arah itu, kebijakan ekonomi Indonesia tak boleh lagi didasarkan atas ekspansi, melainkan restorasi. Ini berarti mengalihkan investasi publik, insentif fiskal, dan kredit ke perbaikan ekologi dan kesejahteraan masyarakat—alih-alih ke industri ekstraktif atau megaproyek yang intensif karbon.
Yang tak kalah pentingnya adalah menyelaraskan rencana pembangunan nasional dengan pekerjaan yang telah berlangsung di lapangan—mulai dari pengelolaan hutan adat hingga pertanian regeneratif dan usaha sirkular. Hanya dengan menjadikan restorasi sebagai inti kebijakan, Indonesia dapat menjembatani kesenjangan antara batasan ekologis dan kebutuhan manusia.
Pembiayaan transisi ini membutuhkan reorientasi yang sama. Dana publik dari potensi pajak-pajak baru, obligasi hijau, dan bank-bank milik negara harus melayani tujuan restorasi, bukan terus mendorong pertumbuhan ekstraktif. Melalui panduan kredit—mengarahkan aliran keuangan ke sektor-sektor regeneratif, perusahaan lokal, dan perbaikan ekosistem—Indonesia dapat memastikan bahwa investasi selaras dengan prioritas ekologis dan sosial. Pendanaan iklim internasional juga harus memperkuat inisiatif-inisiatif yang dipimpin masyarakat alih-alih mensubsidi kompensasi karbon korporasi. Dengan kata lain, pemulihan perekonomian kita dimulai dengan pemulihan tujuan keuangan itu sendiri.
Perlu ditegaskan bahwa ini bukan idealisme; melainkan pragmatisme ekonomi. Restorasi menciptakan lapangan kerja secara lebih cepat, mendistribusikan manfaat lebih luas, dan memastikan ketahanan iklim yang lebih baik daripada yang dapat dicapai melalui pertumbuhan ekstraktif.
Jelas bahwa Indonesia tidak perlu tumbuh pada level delapan persen untuk berkembang. Indonesia hanya perlu memulihkan apa yang memungkinkan kehidupan—tanah yang subur, sungai yang bersih, dan penghidupan yang adil.
Di situlah kepemimpinan sejati dimulai: kepemimpinan yang melampaui penghitungan karbon dan menumbuhkan kepedulian—terhadap manusia, terhadap tempat, dan terhadap planet yang kita huni bersama.

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.
5 Pengikut

Dari Pertumbuhan ke Restorasi
3 jam lalu
Stop Mengubur Karbon, Mulailah Mengubur Kebohongan
Senin, 29 September 2025 06:44 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler