Saya mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Fakultas Filsafat, Prodi S1 Filsafat

Kritik Karl Polanyi terhadap Mitos Pasar Alamiah

4 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi (Sumber:Koleksi Dok Pribadi) Perspektif Baru pada Ekonomi Sirkular
Iklan

Bagaimana institusi pasar dilahirkan? analisis dekonstruksi-Historis Polanyi terhadap status keberadaan pasar dan implikasi sosial-politik.

***

Pasar merupakan arena interaksi ekonomi di mana penjual dan pembeli bertukar barang, jasa, atau klaim ekonomi (misalnya. uang, surat berharga) melalui tawar-menawar dan mekanisme harga. Menurut Alfred Marshall, pasar adalah kumpulan pembeli dan penjual yang saling menentukan harga lewat interaksi penawaran dan permintaan. Namun dalam wacana ekonomi dan filsafat, pasar bukan hanya fenomena teknis penentuan harga karena pasar juga memengaruhi cara manusia mengorganisasikan produksi, distribusi, dan hubungan sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam tradisi ekonomi klasik dan neoklasik pasar sering dipahami sebagai mekanisme rasional yang, jika dibiarkan mengatur dirinya sendiri (self-regulating), akan mengalokasikan sumber daya secara efisien. Pandangan ini menjadikan harga dan mekanisme penawaran-permintaan sebagai indikator objektif nilai dan orientasi rasional perilaku ekonomi. Bagi Adam Smith bahwa tindakan individu yang mengejar kepentingan sendiri (misalnya. produsen mencari keuntungan) secara tidak sengaja mempromosikan kepentingan umum melalui mekanisme pasar: produksi diarahkan ke apa yang dibutuhkan pasar (Adam Smith, 1981).

Adam Smith menunjukkan bagaimana tindakan ekonomi individu yang mengejar kepentingan sendiri dapat, tanpa niat, menghasilkan koordinasi yang menguntungkan masyarakat. Metafora invisible hand dan penekanan pada pembagian kerja memberi dasar norma bahwa pasar “melakukan hal yang benar” tanpa pengarahan pusat. Ini menjadi sumber utama klaim otonomi pasar dalam pemikiran klasik.

Gagasan bahwa pasar “bekerja alami” masuk ke dalam wacana politik: kebijakan laissez-faire, deregulasi, penghapusan hambatan perdagangan, dan reformasi hukum (misalnya. enclosures di Inggris) dipertahankan atas dasar bahwa membiarkan pasar akan memaksimalkan kesejahteraan umum. Kekuatan politik dan ekonomi abad-19 membantu mewujudkan banyak institusi pasar.

Dalam ekonomi klasik dan neoklasik bila permintaan (demand) naik sementara penawaran (supply) tetap, harga pasar naik; kenaikan harga memberi insentif produsen memperbesar output (melalui akumulasi modal atau relokasi sumber daya), sehingga dalam jangka panjang harga kembali mendekati harga yang mencerminkan biaya produksi biasa. Inilah pengertian “natural/normal price” pada tradisi klasik.

emudian pada akhir abad-19 nilai tidak lagi dijustifikasi hanya oleh biaya produksi/tenaga kerja saja, melainkan oleh utility marginal (kenikmatan/kebergunaan tambahan dari unit terakhir) bagi konsumen dan produktifitas marginal bagi input. Agen konsumen maksima­lisasi utilitas di bawah kendala anggaran; produsen memaksimalkan laba; permintaan agregat dan penawaran agregat untuk setiap barang bertemu pada harga pasar di mana kuantitas ditukar.

Sistem harga serentak untuk semua pasar yang menyeimbangkan permintaan dan penawaran sekaligus (dalam formulasi Walras dikenal mekanisme tâtonnement sebagai proses “groping” menuju keseimbangan). Mudahnya Klasik melakukan penekanan pada biaya produksi/tenaga kerja sedangkan Neoklasik menekankan utilitas marginal dan produktivitas marginal.

Perkembangan teori ekonomi dari klasik hingga neoklasik memang menunjukkan penyempurnaan analitis dalam memahami mekanisme pasar: dari penekanan pada biaya produksi hingga pada peran utilitas dan produktivitas marginal. Namun, di balik kerumitan teknis tersebut, terdapat asumsi mendasar yang dapat dipertanyakan secara filosofis, yakni bahwa pasar merupakan mekanisme yang secara alamiah mampu menyeimbangkan diri dan mengatur alokasi sumber daya secara efisien tanpa intervensi eksternal.

Pandangan itu menempatkan harga seolah-olah sebagai refleksi objektif dari nilai dan preferensi rasional individu, serta menjadikan perilaku ekonomi tampak bebas dari dimensi sosial dan moral. Akan tetapi, sejarah ekonomi modern menunjukkan bahwa pasar tidak pernah sepenuhnya otonom dari institusi sosial, politik, dan hukum yang menopangnya. Dinamika kapitalisme, terutama terjadinya finansialisasi, spekulasi terhadap aset non-riil, serta konsentrasi kekayaan menunjukkan bahwa mekanisme harga kerap terlepas dari fungsi sosial produksi barang dan jasa.

Di sinilah muncul persoalan mendasar yang menuntut telaah filosofis yang lebih dalam yaitu, apakah pasar benar-benar entitas alamiah yang mewujudkan nilai, atau justru sebuah konstruksi institusional yang dibentuk oleh konfigurasi kekuasaan, norma, dan pilihan sosial tertentu? Jawaban atas pertanyaan ini menentukan bagaimana kita memaknai konsep nilai, kekayaan, dan hubungan antara ekonomi dan masyarakat.

Jika pasar dipahami sebagai entitas alamiah, maka norma teknis pasar (misalnya. mekanisme harga) mudah diposisikan sebagai dasar objektif bagi kebijakan ekonomi; sebaliknya, jika pasar adalah konstruksi sosial, klaim-klaim netralitas dan “hukum pasar” mesti dipertanyakan karena menyembunyikan keputusan politik dan moral yang bersifat kontingen. Status ontologis pasar menjadi semakin penting ketika kita melihat fenomena kontemporer seperti finansialisasi yakni dominasi instrumen dan mekanisme keuangan di atas aktivitas produksi riil yang tampak memutus keterikatan nilai pada aktivitas sosial-riil dan memberi ruang bagi akumulasi kekayaan yang relatif ‘terlepas’ dari sirkulasi ekonomi masyarakat.

Dalam konteks ini konsep pasar sebagai konstruksi sosial membuka cara membaca bahwa aturan, hukum, dan organisasi (misalnya. standar moneter, kebijakan bank sentral, deregulasi pasar modal) membentuk dunia ekonomi, alih-alih sekadar merepresentasikannya.

Pada akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20 dunia Barat mengalami transformasi sosial-politik yang fundamental: industrialisasi skala besar mengubah struktur produksi dan pasar tenaga kerja; kebijakan dan reformasi hukum menciptakan institusi pasar yang meluas; penerapan standar emas menautkan ekonomi nasional ke rezim moneter internasional; dan perkembangan pasar modal serta jaringan perbankan internasional memberi kekuatan baru bagi aktor finansial.

Perang Dunia I, diikuti oleh Depresi Besar, menyingkap kerentanan rezim pasar tersebut dan memicu gelombang intervensi negara serta tuntutan proteksi sosial. Polanyi membaca rangkaian peristiwa ini bukan hanya sebagai latar ekonomi, tetapi sebagai bukti historis bahwa pasar adalah produk institusional yang dibentuk, ditegakkan, dan ketika gagal, menimbulkan reaksi politik yang menuntut perbaikan. Kritik Polanyi bersifat historis karena menelusuri asal, pembangunan, dan runtuhnya tatanan pasar dan filosofis karena mengangkat pertanyaan ontologis (apa sebenarnya pasar itu?) dan aksiologis (nilai apa yang harus diutamakan dalam penyusunan aturan ekonomi?) (Polanyi, 2001, xxv–xxxi).

Karl Polanyi (1886–1964) memberi kontribusi penting pada perdebatan ontologis pasar. Polanyi dengan tesisnya bahwa usaha menjadikan pasar self-regulating adalah proyek historis-institusional yang berakibat luas terhadap struktur sosial. Menurut Polanyi, upaya menjadikan seluruh unsur kehidupan ekonomi tunduk pada logika pasar (termasuk tenaga kerja, tanah, dan uang) bukan hanya teori ekonomi semata, melainkan praktik institusional yang mengubah status ontologis unsur-unsur tersebut. Dengan tegas ia menulis bahwa “the commodity description of labor, land, and money is entirely fictitious” (Karl Polanyi, 2001 :76).

Penggambaran tersebut tidak hanya bermasalah secara konseptual, ia juga menekankan bahwa penerapan fiksi ini memiliki konsekuensi destruktif: mengorganisasikan masyarakat sebagai “adjunct” bagi pasar berpotensi merusak jalinan sosial dan keberlanjutan ekologis. Kata “adjunct” berarti pelengkap atau bawahan dari sesuatu yang lebih besar.

Konsekuansi sosial, jika usaha melepaskan pasar dari kehidupan sosial sebagai peregangan sebuah pita karet: semakin pasar “didisembedd” (direnggangkan), semakin meningkat ketegangan sosial; jika peregangan berlanjut, pita itu akan putus sehingga terjadi disintegrasi sosial atau pasar harus “dikembalikan” ke posisi yang lebih melekat dalam masyarakat. Dalam kata-katanya: disembedding “the market is similar to stretching a giant elastic band. Efforts to bring about greater autonomy of the market increase the tension level. With further stretching, either the band will snap—representing social disintegration—or the economy will revert to a more embedded position” (Karl Polanyi, 2001: xxv).

Kemudian Polanyi menggunakan istilah laissez-faire untuk menggambarkan pasar yang bukanlah suatu keadaan alami dari tatanan ekonomi, melainkan hasil konstruksi politik dan institusional yang disengaja. Dengan kata lain, gagasan “pasar bebas” (free market) bukan muncul secara spontan dari tindakan individu-individu rasional, tetapi diciptakan dan ditegakkan melalui intervensi aktif negara dan perubahan hukum yang sistematis.

Terdapat paradoks tentang asal-usul laissez-faire. Berlawanan dengan narasi yang menganggap pasar bebas sebagai “kemunculan spontan”, Polanyi berargumen bahwa “laissez-faire was planned; planning was not”. Dengan pernyataan ini Polanyi menyorot bahwa penciptaan prasarat pasar bebas (misalnya. pembentukan pasar tenaga kerja, enclosures, perangkat administrasi moneter) justru memerlukan tindakan negara dan kebijakan sengaja. Artinya pasar bebas itu sendiri adalah produk tindakan politik-institusional, bukan fenomena alamiah.

Dari gagasan Polanyi ini, maka alat analitis untuk menggugat naturalisasi pasar adalah jika pasar adalah konstruksi, maka klaim bahwa harga/market laws merepresentasikan “nilai sejati” harus dibaca ulang sebagai pernyataan normatif termasuk pilihan politik yang menata kehidupan sosial. Konsekuensinya, masalah nilai dan kekayaan tidak berhenti hanya pada soal teknis pengukuran saja, tetapi melibatkan keputusan tentang bagaimana masyarakat memilih untuk memposisikan ekonomi terhadap tujuan sosial misalnya perlindungan kehidupan manusia, konservasi alam, dan keadilan distributif.

Lebih jauh, Pemikiran Polanyi relevan untuk menginterpretasikan fenomena finansialisasi, karena ketika instrumen keuangan memudahkan penimbunan klaim-klaim nilai yang “tidak dapat membusuk”. Praktik ini dapat memperkuat jarak antara kekayaan dan fungsi ekonomi-riil, sebuah kondisi yang menuntut pembacaan ontologis bahwa apa yang kita sebut “kekayaan” kini sebagian adalah produk institusional yang memungkinkan akumulasi tanpa kontribusi riil pada produksi atau kesejahteraan kolektif.



Referensi

Polanyi, K. (2001). The great transformation: The political and economic origins of our time (2nd Beacon Paperback ed.; J. E. Stiglitz, Foreword; F. Block, Introduction). Beacon Press.

Smith, A. (1981). An inquiry into the nature and causes of the wealth of nations (R. H. Campbell & A. S. Skinner, Eds.; W. B. Todd, Textual Ed.). LibertyClassics.

Suryaja, M. (2016). Asal usul kekayaan: Teori nilai. Resist Book.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Boma Eldino

Penulis Indonesiana

1 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler