Warga Negara Indonesia, Pembaca Buku, Penonton Film, Pendengar Musik, Pemain Games, Penikmat Kopi, Senang Tertawa, Suka Berimajinasi, Kadang Merenung, Mengolah Pikir, Kerap Hanyut Dalam Khayalan, Mengutamakan Logika, Kadang Emosi Juga, Mudah Menyesuaikan Diri Dengan Lingkungan, Kadang Bimbang, Kadang Ragu, Kadang Pikiran Sehat, Kadang Realistis, Kadang Ngawur, Kondisi Ekonomi Biasa-Biasa Saja, Senang Berkorban, Kadang Juga Sering Merepotkan, Sering Ngobrol Politik, Senang Dengan Gagasan-Gagasan, Mudah Bergaul Dengan Siapa Saja, Namun Juga Sering Curiga Dengan Siapa Saja, Ingin Selalu Bebas, Merdeka Dari Campur Tangan Orang Lain. Kontak : 08992611956

Rahasia di Kamar Terkunci

Kamis, 12 September 2024 09:26 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Rahasia di Kamar Terkunci

Oleh: Ervan Yuhenda 

Malam itu, hujan deras mengguyur. Suara gemuruh terdengar di kejauhan, membuat malam terasa semakin mencekam. Di sebuah rumah tua yang berada di pinggiran kota, Ardi baru saja tiba dari perjalanannya yang panjang. Rumah itu dulunya milik pamannya, Pak Rahman, yang baru saja meninggal dunia. Kini, rumah tersebut menjadi miliknya sebagai satu-satunya ahli waris.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ardi meletakkan koper di ruang tamu yang luas namun terasa dingin. Ia melihat sekeliling, mencoba meresapi suasana rumah yang sudah lama tak dihuni. Dinding-dinding rumah dipenuhi oleh lukisan-lukisan tua, dan perabotan antik tampak berjejer rapi, seolah menunggu kehadiran penghuninya. Namun, ada sesuatu yang terasa aneh di rumah ini, sesuatu yang membuat Ardi merasa tidak nyaman sejak pertama kali melangkah masuk.

Setelah beristirahat sejenak, Ardi mulai berkeliling rumah untuk mengecek kondisinya. Ia melewati ruang makan yang luas, dapur yang tampak usang, hingga ruang keluarga yang dipenuhi debu. Namun, saat ia mencapai lantai dua, langkahnya terhenti di depan sebuah pintu yang terkunci rapat. Pintu itu terbuat dari kayu ek yang kokoh, dengan ukiran-ukiran rumit di permukaannya. 

Ardi teringat cerita dari ibunya yang pernah tinggal di rumah ini saat masih muda. Ibunya selalu berkata bahwa ada satu kamar yang tidak boleh dibuka, karena paman Rahman menganggapnya sebagai tempat suci. Namun, seiring berjalannya waktu, cerita itu berubah menjadi rumor yang lebih menyeramkan, membuat siapapun enggan mendekati kamar tersebut.

Rasa penasaran Ardi semakin menggebu. Ia kembali ke lantai bawah, mencari-cari apakah ada kunci untuk membuka pintu tersebut. Setelah beberapa saat, ia menemukan sebuah kunci tua di dalam laci meja di ruang kerja paman Rahman. Kunci itu tampak usang, dengan lapisan karat yang mulai menutupi permukaannya. Tanpa pikir panjang, Ardi mengambil kunci itu dan kembali ke lantai dua.

Dengan hati-hati, Ardi memasukkan kunci ke dalam lubang pintu dan memutarnya. Butuh beberapa kali percobaan sebelum kunci itu akhirnya berputar dan membuka kunci pintu yang selama ini tertutup rapat. Perlahan, ia membuka pintu itu, menyingkap ruangan yang selama ini tersembunyi dari pandangan.

Ruangan itu gelap dan berbau pengap, seperti tak pernah terbuka selama bertahun-tahun. Ardi menyalakan lampu senter yang ia bawa dan mengarahkan cahayanya ke dalam ruangan. Apa yang ia lihat membuatnya terdiam sejenak. Di tengah ruangan, terdapat sebuah ranjang besar dengan seprai yang sudah lusuh dan berdebu. Di atas ranjang itu tergeletak sebuah boneka beruang usang, dengan satu matanya yang hilang. Di sudut ruangan, terdapat sebuah lemari kayu yang besar, dengan rantai besi yang melingkar di sekelilingnya.

Ardi merasakan jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu yang aneh tentang ruangan ini, sesuatu yang membuatnya merasa tidak tenang. Namun, rasa penasaran yang kuat mengalahkan ketakutannya. Ia mendekati lemari kayu itu dan memeriksa rantai besi yang menguncinya. Rantai itu terlihat sangat kuat dan kokoh, seolah dibuat khusus untuk memastikan bahwa lemari tersebut tetap terkunci.

Ia mencoba menarik rantai itu, namun tidak berhasil. Ardi menghela napas dan melangkah mundur, mencoba mencari cara lain untuk membuka lemari tersebut. Ia kembali memeriksa ruangan itu, berharap menemukan sesuatu yang dapat membantunya membuka rantai tersebut. Di dekat ranjang, ia menemukan sebuah kotak kayu kecil yang tampak tua dan penuh goresan. Dengan hati-hati, ia membuka kotak itu dan menemukan sebuah buku harian di dalamnya.

Buku harian itu terlihat sangat usang, dengan halaman-halaman yang mulai menguning. Namun, tulisan tangan di dalamnya masih bisa terbaca dengan jelas. Ardi membuka halaman pertama dan mulai membaca.

"Kepada siapapun yang menemukan buku ini, ketahuilah bahwa sesungguhnya kamar ini menyimpan rahasia kelam keluarga kami. Jangan pernah membuka lemari itu. Jika kau lakukan, kau akan melepaskan sesuatu yang tak seharusnya pernah kembali ke dunia ini."

Mata Ardi melebar saat membaca pesan tersebut. Ada rasa takut yang mulai merayap dalam dirinya, namun rasa penasaran masih lebih kuat. Ia terus membaca halaman demi halaman, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di rumah ini.

Di dalam buku itu, ia menemukan catatan-catatan yang tampaknya ditulis oleh paman Rahman sendiri. Catatan tersebut berisi kisah tentang seorang wanita bernama Kartini, yang dulunya adalah istri pertama paman Rahman. Kartini digambarkan sebagai wanita yang sangat cantik namun misterius. Tidak banyak yang tahu tentang latar belakangnya, dan bahkan setelah menikah dengan paman Rahman, ia tetap menjadi sosok yang sulit dipahami.

Seiring berjalannya waktu, Kartini mulai menunjukkan perilaku aneh. Ia sering mengurung diri di kamar terkunci itu dan tidak pernah mengizinkan siapapun masuk, termasuk paman Rahman. Setiap kali ada yang mendekati kamar itu, Kartini akan marah besar dan memaksa mereka untuk pergi. Namun, suatu hari, Kartini tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Paman Rahman mencoba mencarinya ke mana-mana, namun tidak pernah menemukan petunjuk tentang keberadaannya.

Tidak lama setelah hilangnya Kartini, hal-hal aneh mulai terjadi di rumah tersebut. Paman Rahman sering mendengar suara-suara aneh dari dalam kamar terkunci itu, meskipun ia tahu bahwa kamar itu seharusnya kosong. Ia juga merasakan kehadiran yang tidak terlihat, seolah-olah seseorang sedang mengawasinya dari dalam kegelapan. Ketakutan membuatnya memutuskan untuk mengunci kamar itu selamanya dan tidak pernah membukanya lagi.

Ardi merasa bulu kuduknya berdiri saat membaca catatan tersebut. Namun, rasa ingin tahunya masih belum terpuaskan. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ada di dalam lemari itu dan mengapa paman Rahman begitu ketakutan hingga memutuskan untuk mengunci kamar ini selamanya.

Ia menutup buku harian itu dan menatap lemari kayu yang besar di sudut ruangan. Meskipun ada peringatan di dalam buku itu, Ardi merasa terdorong untuk membuka lemari tersebut. Ia kembali mencoba membuka rantai yang mengunci lemari itu, namun tetap tidak berhasil. Frustrasi, ia memutuskan untuk mencari alat lain yang mungkin bisa digunakan untuk memotong rantai tersebut.

Ardi meninggalkan ruangan itu dan turun ke ruang bawah tanah, di mana ia ingat bahwa paman Rahman menyimpan berbagai alat perkakas. Setelah beberapa saat mencari, ia menemukan sebuah gergaji besi yang masih cukup tajam. Dengan alat itu di tangannya, Ardi kembali ke lantai dua dan mulai menggergaji rantai besi yang melilit lemari tersebut.

Butuh waktu yang cukup lama, namun akhirnya rantai itu mulai terkikis dan terputus. Dengan hati-hati, Ardi menarik rantai itu dan membuka pintu lemari. Di dalam lemari, ia menemukan sebuah cermin besar dengan bingkai yang indah, namun terasa aneh dan menakutkan. Bingkai cermin itu terbuat dari logam yang berkilauan, namun ada sesuatu yang tidak normal tentangnya.

Saat ia menatap cermin itu, sebuah bayangan muncul di permukaannya. Bayangan seorang wanita dengan rambut panjang dan wajah pucat, yang menatap balik ke arah Ardi dengan tatapan kosong. Tubuh Ardi langsung membeku, rasa takut yang sangat mendalam menyergap dirinya. Wanita dalam cermin itu perlahan bergerak, dan Ardi merasa seolah-olah ia sedang diseret ke dalam cermin tersebut.

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar di dalam ruangan, dan cermin itu bergetar hebat. Ardi terjatuh ke belakang, kepalanya terbentur dinding. Ketika ia bangun, bayangan wanita itu sudah menghilang, namun cermin itu masih bergetar. Ardi merasakan sesuatu yang janggal, seperti ada kekuatan yang mencoba keluar dari dalam cermin itu.

Tanpa pikir panjang, Ardi bangkit dan mencoba menutup lemari tersebut, namun pintu lemari tidak mau tertutup. Cermin itu kini mulai mengeluarkan suara-suara aneh, seolah-olah ada banyak orang yang berbicara di dalamnya. Ardi merasa sangat ketakutan, namun ia tahu bahwa ia harus melakukan sesuatu sebelum semuanya terlambat.

Ia mengambil rantai besi yang tadi ia putuskan dan mencoba melilitkannya kembali ke pintu lemari, namun rantai itu terasa lebih berat dari sebelumnya. Ardi berusaha sekuat tenaga, namun cermin itu terus menarik perhatiannya. Sekilas, ia melihat bayangan lain di dalam cermin tersebut, kali ini bayangan dirinya sendiri, namun dengan ekspresi wajah yang berbeda, seolah-olah bayangan itu bukan dirinya.

Ardi tertegun, dan pada saat itulah sebuah tangan keluar dari cermin, mencoba mencengkeramnya. Ardi berteriak dan mundur, namun tangan itu terus mendekat, mengulurkan jari-jarinya yang panjang dan kurus. Dalam kepanikan, Ardi mengayunkan rantai besi yang masih ia pegang, memukul tangan tersebut. Tangan itu kembali masuk ke dalam cermin, namun cermin itu mulai retak, mengeluarkan suara keras yang menggema di seluruh rumah.

Ardi segera berlari keluar dari kamar itu, meninggalkan semuanya di belakang. Ia tidak berhenti sampai ia mencapai lantai bawah dan keluar dari rumah, berdiri di tengah hujan deras yang masih turun. Nafasnya tersengal-sengal, dan tubuhnya gemetar hebat. Apa yang baru saja ia alami terasa begitu nyata, namun juga begitu mustahil.

Namun, saat Ardi berdiri di luar rumah, ia merasakan ada sesuatu yang berbeda. Rumah itu kini terasa lebih mencekam, seolah-olah ada sesuatu yang telah terbangun dari tidur panjangnya. Ardi tahu bahwa ia telah melakukan kesalahan besar dengan membuka lemari itu. Ia harus mencari cara untuk memperbaikinya, sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi.

Setelah kejadian mengerikan itu, Ardi memutuskan untuk tinggal sementara di rumah seorang teman dekatnya, Rizal. Ia menceritakan apa yang telah terjadi kepada Rizal, meskipun ia sendiri sulit mempercayai apa yang baru saja ia alami. Rizal, yang awalnya mengira Ardi hanya kelelahan atau terlalu banyak berimajinasi, segera berubah serius ketika melihat ketakutan yang nyata di wajah Ardi.

“Jadi, kamu benar-benar melihat sosok wanita itu di dalam cermin?” tanya Rizal, matanya membulat tidak percaya.

Ardi mengangguk. “Aku bahkan bisa merasakan tangannya mencoba meraihku. Ini bukan mimpi buruk, Rizal. Sesuatu yang sangat salah ada di rumah itu.”

Rizal terdiam sejenak, berpikir keras. “Mungkin kita perlu mencari tahu lebih banyak tentang rumah itu dan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Pamanmu pasti tahu sesuatu, mengingat dia yang selalu melarang orang untuk mendekati kamar itu.”

Keesokan harinya, mereka memutuskan untuk mencari informasi lebih lanjut tentang sejarah rumah tersebut. Mereka mengunjungi perpustakaan kota, mencari arsip lama yang mungkin bisa memberikan petunjuk. Rizal, yang memiliki keahlian dalam menelusuri dokumen-dokumen lama, dengan cepat menemukan sejumlah artikel dan catatan yang berkaitan dengan rumah keluarga Ardi.

Salah satu artikel yang menarik perhatian mereka adalah sebuah laporan dari tahun 1970-an, yang menyebutkan tentang hilangnya seorang wanita bernama Kartini, istri dari Pak Rahman. Menurut artikel tersebut, Kartini menghilang secara misterius setelah beberapa bulan tinggal di rumah itu, dan tidak pernah ditemukan. Ada spekulasi bahwa Kartini mungkin telah melarikan diri atau mengalami kecelakaan, namun tidak ada bukti yang cukup untuk mendukung teori-teori tersebut.

Selain itu, mereka menemukan beberapa catatan yang lebih tua lagi, yang mencatat tentang keberadaan rumah tersebut sejak awal dibangun pada tahun 1920-an. Ternyata, rumah itu dulunya adalah milik seorang bangsawan Belanda yang terkenal kejam. Rumah tersebut sering dikaitkan dengan berbagai cerita horor dan misteri yang menakutkan.

Salah satu cerita yang paling menyeramkan adalah tentang seorang wanita Belanda bernama Margaretha yang dikatakan telah dibunuh secara brutal oleh suaminya sendiri di dalam rumah tersebut. Setelah kematiannya, Margaretha dikabarkan sering muncul dalam bentuk arwah yang gentayangan, menghantui siapapun yang berani mendekati kamar di mana ia dibunuh.

“Margaretha… Kartini… dua wanita yang hilang secara misterius di rumah itu,” gumam Rizal. “Mungkinkah ada hubungan antara keduanya?”

Ardi mengangguk pelan, merasa semakin takut namun juga semakin penasaran. “Apapun itu, jelas bahwa rumah itu menyimpan sesuatu yang sangat berbahaya. Aku harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana cara menghentikannya.”

Dengan informasi yang mereka kumpulkan, Ardi dan Rizal memutuskan untuk kembali ke rumah tua itu. Meskipun merasa takut, Ardi tahu bahwa ia tidak bisa lari dari masalah ini. Ia harus menghadapi apa yang ada di rumah itu dan mencari cara untuk menghentikan kutukan yang mungkin masih menghantui keluarganya.

Malam itu, mereka kembali ke rumah tua tersebut, membawa berbagai peralatan yang mungkin berguna, termasuk kamera, recorder, dan alat-alat lain yang bisa membantu mereka mendokumentasikan apa yang terjadi. Mereka juga membawa beberapa barang-barang religius untuk berjaga-jaga.

Saat mereka memasuki rumah itu, suasana mencekam langsung terasa. Rumah itu terasa lebih dingin dari sebelumnya, dan setiap suara kecil terdengar lebih keras di dalam keheningan. Ardi memimpin jalan menuju lantai dua, sementara Rizal merekam setiap langkah mereka dengan kamera.

Ketika mereka tiba di depan kamar terkunci itu, Ardi merasakan deja vu yang kuat. Ia mengeluarkan kunci yang sama yang ia gunakan sebelumnya dan membuka pintu dengan perlahan. Kamar itu masih tampak sama seperti terakhir kali ia melihatnya, dengan ranjang usang, boneka beruang yang rusak, dan lemari kayu besar yang kini terbuka.

Mereka mendekati lemari itu dengan hati-hati. Cermin besar yang ada di dalamnya masih utuh, meskipun retakan kecil terlihat di salah satu sudutnya. Ardi merasakan ketegangan yang luar biasa saat ia menatap cermin itu, namun kali ini, tidak ada bayangan aneh yang muncul di dalamnya.

“Aku ingin mencoba sesuatu,” kata Ardi, mengambil air suci yang mereka bawa dan menaburkannya di depan cermin. Ia berharap hal itu bisa mengusir apapun yang bersembunyi di dalamnya.

Namun, saat air suci itu menyentuh permukaan cermin, cermin tersebut mulai bergetar lagi, lebih kuat dari sebelumnya. Suara gemuruh terdengar, dan tiba-tiba cermin itu pecah menjadi ribuan keping, menghujani mereka dengan serpihan kaca.

Rizal menjerit dan mundur, namun Ardi tetap berdiri di tempatnya, terpaku oleh apa yang ia lihat. Di antara pecahan-pecahan kaca itu, muncul bayangan samar seorang wanita yang melayang-layang di udara. Wanita itu tampak seperti perpaduan antara Kartini dan Margaretha, dengan wajah yang berganti-ganti antara dua sosok yang berbeda.

Bayangan itu menatap mereka dengan tatapan yang penuh amarah dan kebencian. “Kalian telah melanggar batas yang tak seharusnya dilanggar,” suara wanita itu bergema di seluruh ruangan. “Sekarang kalian harus membayar harganya.”

Ardi merasa darahnya membeku, sementara Rizal terlihat ketakutan setengah mati. Mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan, namun sebelum mereka bisa bereaksi, bayangan wanita itu melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang luar biasa.

Ardi merasakan cengkraman dingin di lehernya saat bayangan itu mulai menembus tubuhnya. Ia mencoba melawan, namun tubuhnya tidak bisa bergerak. Rasanya seperti sesuatu yang dingin dan gelap sedang menyedot kekuatannya, membuatnya semakin lemah. Ia bisa mendengar suara-suara aneh di kepalanya, bisikan-bisikan yang tidak bisa dimengerti.

Rizal, yang berdiri beberapa langkah di belakangnya, melihat kejadian itu dengan mata terbelalak. Ia segera mengambil air suci yang tersisa dan menuangkannya ke tubuh Ardi, berharap bisa mengusir bayangan itu. Namun, air suci itu tidak berdampak apapun. Bayangan itu hanya tertawa dengan suara yang mengerikan, dan cengkramannya semakin kuat.

Ardi merasa kesadarannya mulai memudar, namun tiba-tiba, sesuatu yang aneh terjadi. Suara bel dari ruang tamu terdengar, menggema di seluruh rumah. Bayangan itu seketika berhenti, seolah-olah terganggu oleh suara tersebut. Ardi terjatuh ke lantai, batuk-batuk, sementara bayangan itu perlahan memudar dan menghilang ke dalam kegelapan.

Rizal segera berlari ke pintu depan, berharap siapa pun yang datang bisa membantu mereka. Namun, saat ia membuka pintu, ia hanya menemukan angin malam yang dingin. Tidak ada seorang pun di luar sana, hanya kegelapan malam dan hujan yang masih turun dengan deras.

Namun, saat ia hendak menutup pintu, Rizal melihat sesuatu di kejauhan. Seorang wanita, berdiri di tengah jalan, dengan gaun putih yang basah oleh hujan. Wanita itu hanya berdiri diam, menatap ke arah rumah dengan tatapan yang kosong dan hampa. Rizal merasakan ketakutan yang luar biasa, namun sebelum ia bisa bereaksi, wanita itu menghilang dalam kegelapan.

“Siapa itu?” tanya Ardi, yang kini sudah sedikit pulih.

Rizal menggelengkan kepala, wajahnya pucat. “Aku… aku tidak tahu. Tapi sebaiknya kita pergi dari sini sekarang juga.”

Mereka berdua segera keluar dari rumah itu, meninggalkan segala sesuatunya di belakang. Ardi merasa bahwa meskipun mereka telah membuka rahasia yang selama ini tersembunyi, mereka belum benar-benar aman. Sesuatu masih mengintai mereka, sesuatu yang lebih tua dan lebih berbahaya dari yang bisa mereka bayangkan.

Mereka memutuskan untuk kembali ke kota dan mencari bantuan dari orang-orang yang lebih mengerti tentang hal-hal supranatural. Mereka tahu bahwa apa yang mereka hadapi bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan cara biasa. Mereka butuh seseorang yang bisa membantu mereka menghadapi kekuatan gelap yang kini menghantui mereka.

Keesokan harinya, Ardi dan Rizal memutuskan untuk mencari bantuan dari seseorang yang benar-benar mengerti tentang hal-hal gaib. Mereka mendengar tentang seorang dukun sakti yang tinggal di daerah pedalaman, jauh dari kota. Namanya Pak Joko, seorang pria tua yang dikenal memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan roh-roh dan menangani kekuatan gelap.

Perjalanan menuju tempat Pak Joko bukanlah perjalanan yang mudah. Mereka harus melewati hutan lebat dan jalanan berbatu yang hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Namun, rasa takut dan keputusasaan membuat mereka tetap melangkah maju.

Ketika mereka akhirnya tiba di rumah Pak Joko, mereka disambut oleh suara alunan gamelan yang terdengar lembut namun penuh misteri. Rumah itu terbuat dari kayu jati yang kokoh, dengan ukiran-ukiran tradisional yang menghiasi dindingnya. Di halaman depan, terdapat beberapa sesajen yang diletakkan di atas batu, dengan bunga-bunga dan dupa yang masih berasap.

Pak Joko keluar dari dalam rumah, wajahnya penuh dengan kerutan yang menunjukkan usianya yang sudah lanjut. Namun, matanya masih tajam dan penuh wibawa. Ia menatap Ardi dan Rizal dengan pandangan yang seolah-olah bisa menembus jiwa mereka.

“Kalian datang dengan membawa beban berat,” kata Pak Joko, suaranya tenang namun tegas. “Apa yang terjadi di rumah itu?”

Ardi dan Rizal menceritakan semua yang telah mereka alami, termasuk tentang cermin, bayangan wanita, dan suara-suara aneh yang mereka dengar. Pak Joko mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, namun ekspresinya tetap tidak berubah.

“Rumah itu memang sudah lama terkenal dengan aura gelapnya,” ujar Pak Joko setelah mendengarkan cerita mereka. “Ada sesuatu yang sangat tua dan kuat yang bersemayam di sana. Kalian telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup.”

Ardi merasa darahnya kembali mendingin mendengar kata-kata Pak Joko. “Apa yang harus kami lakukan, Pak? Bagaimana cara mengatasi semua ini?”

Pak Joko menghela napas panjang. “Kalian harus melakukan ritual pemurnian. Namun, ini bukan ritual biasa. Kalian harus memulihkan harmoni di rumah itu dengan mengembalikan apa yang telah kalian rusak. Kalian harus menutup kembali pintu yang telah terbuka dan menenangkan roh-roh yang terganggu.”

Pak Joko kemudian mengajak mereka masuk ke dalam rumahnya, di mana ia menunjukkan beberapa benda pusaka yang akan mereka perlukan untuk ritual tersebut. Di antaranya adalah keris pusaka, beberapa daun sirih yang telah dirajah, dan kain putih panjang yang harus digunakan untuk menutup cermin yang telah dipecahkan.

“Cermin itu adalah gerbang antara dunia ini dan dunia lain,” jelas Pak Joko. “Kalian telah membuka gerbang itu, dan sekarang kalian harus menutupnya kembali. Namun, hati-hati, roh yang ada di sana tidak akan membiarkan kalian melakukannya dengan mudah.”

Setelah memberikan instruksi yang jelas tentang bagaimana ritual harus dilakukan, Pak Joko memberikan restu kepada mereka. Ardi dan Rizal merasa sedikit lega meskipun mereka tahu bahwa apa yang akan mereka hadapi tidaklah mudah.

Dengan segala persiapan yang diperlukan, mereka kembali ke rumah tua itu. Malam sudah mulai turun ketika mereka tiba, dan suasana semakin mencekam. Rumah itu tampak lebih gelap dari sebelumnya, seolah-olah menyerap semua cahaya di sekitarnya.

Ardi dan Rizal masuk ke dalam rumah dengan hati-hati, membawa semua peralatan yang diberikan oleh Pak Joko. Mereka langsung menuju ke kamar terkunci di lantai dua, tempat di mana semua masalah dimulai. Saat mereka membuka pintu kamar, udara dingin menyambut mereka, membuat bulu kuduk mereka berdiri.

Cermin yang pecah masih berada di tempatnya, dengan serpihan-serpihan kaca yang berserakan di lantai. Ardi mengambil kain putih yang telah diberikan oleh Pak Joko dan mulai menutup cermin tersebut, mengikuti petunjuk yang telah diajarkan. Sementara itu, Rizal mengelilingi ruangan, menaburkan daun sirih yang telah dirajah di setiap sudut ruangan.

Namun, saat Ardi mulai menutup cermin dengan kain putih, sesuatu yang aneh terjadi. Angin kencang tiba-tiba berhembus dari dalam cermin, membuat kain itu terlempar dari tangannya. Suara gemuruh kembali terdengar, dan bayangan wanita itu muncul lagi, kali ini lebih jelas dan nyata. Wajahnya penuh dengan kemarahan, dan tatapan matanya yang kosong langsung tertuju pada Ardi.

“Kalian tidak bisa mengusirku!” teriak bayangan itu dengan suara yang bergema di seluruh ruangan. “Aku akan tetap di sini, hingga kalian semua hancur!”

Ardi dan Rizal terkejut, namun mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mundur sekarang. Dengan keberanian yang tersisa, Ardi mengambil keris pusaka dan mengarahkannya ke bayangan tersebut, membaca doa-doa yang telah diajarkan oleh Pak Joko. Bayangan itu berteriak marah, namun tetap maju, mencoba menerkam Ardi.

Saat bayangan itu semakin mendekat, Rizal, yang berdiri di belakang Ardi, melihat sesuatu yang aneh. Di dalam bayangan wanita itu, ia bisa melihat kilasan dari sosok lain, sosok seorang anak kecil yang tampak ketakutan. Rizal menyadari bahwa mungkin roh yang mereka hadapi bukan hanya satu, melainkan dua entitas yang terperangkap bersama di dalam cermin tersebut.

Dengan cepat, Rizal mengambil air suci dan menyiramkannya ke bayangan itu. Bayangan tersebut terhenti sejenak, dan suara tangisan seorang anak kecil terdengar di dalam ruangan. Bayangan wanita itu tampak terpecah menjadi dua, seolah-olah ada kekuatan yang menariknya dari dalam.

Ardi, yang masih memegang keris pusaka, melangkah maju dan menusukkan keris itu ke cermin yang telah retak. Suara ledakan keras terdengar saat cermin itu hancur berkeping-keping, dan bayangan wanita itu serta-merta menghilang. Suasana ruangan tiba-tiba menjadi hening, seolah-olah semua kekuatan gelap yang ada di dalamnya telah lenyap.

Namun, tangisan anak kecil itu masih terdengar samar-samar. Ardi dan Rizal saling berpandangan, menyadari bahwa ada sesuatu yang belum selesai. Mereka mencari sumber suara itu dan menemukan sebuah peti kecil di bawah ranjang. Peti itu terlihat tua dan berdebu, namun ketika mereka membukanya, mereka menemukan sebuah boneka kayu yang rusak dan sebuah surat yang telah menguning.

Surat itu ditulis dalam bahasa Belanda, dan Rizal yang mengerti bahasa itu mulai membacanya. Surat itu tampaknya ditulis oleh Margaretha, wanita Belanda yang dulunya tinggal di rumah tersebut. Dalam surat itu, Margaretha berbicara tentang seorang anak yang lahir dalam keadaan cacat dan disembunyikan dari dunia oleh suaminya yang kejam. Margaretha menulis tentang penderitaan anak itu dan bagaimana ia berusaha melindunginya dari suaminya yang brutal.

Namun, anak itu akhirnya mati dalam kesepian, terkunci di kamar itu bersama dengan boneka kayu yang menjadi satu-satunya temannya. Margaretha, yang merasa bersalah, kemudian berusaha mengakhiri hidupnya sendiri dengan cermin yang ada di kamar itu, berharap bisa bersama anaknya di alam baka. Namun, roh mereka berdua terjebak di dalam cermin tersebut, tidak pernah menemukan kedamaian.

Ardi dan Rizal merasakan kesedihan yang mendalam saat membaca surat itu. Mereka akhirnya memahami bahwa roh yang mereka hadapi adalah Margaretha dan anaknya yang terperangkap dalam penderitaan mereka sendiri.

Dengan penuh belas kasihan, Ardi dan Rizal memutuskan untuk menguburkan boneka kayu tersebut bersama surat Margaretha, berharap bisa memberikan kedamaian kepada roh anak tersebut. Mereka menggali lubang di halaman belakang rumah, di bawah pohon besar yang tampak tua dan angker. Setelah selesai, mereka berdoa untuk arwah Margaretha dan anaknya, memohon agar mereka bisa menemukan ketenangan di dunia lain.

Setelah semua selesai, suasana rumah menjadi lebih tenang. Tidak ada lagi suara-suara aneh atau bayangan yang mengintai. Ardi dan Rizal merasa lega, meskipun mereka tahu bahwa pengalaman ini akan selalu membekas dalam ingatan mereka.

Mereka meninggalkan rumah itu dengan perasaan lega namun juga penuh refleksi. Mereka tahu bahwa rumah itu kini mungkin telah bebas dari kutukan, namun kisah-kisah kelam yang pernah terjadi di dalamnya akan selalu menjadi bagian dari sejarahnya.

Beberapa minggu setelah kejadian itu, Ardi menerima kabar bahwa rumah tua tersebut akan dijual kepada pihak lain. Meskipun ia adalah ahli warisnya, Ardi merasa tidak ada alasan baginya untuk tetap memiliki rumah itu. Terlalu banyak kenangan buruk yang terkait dengan tempat tersebut, dan ia ingin melanjutkan hidupnya tanpa beban masa lalu.

Ardi dan Rizal kembali ke kehidupan normal mereka, namun pengalaman di rumah tua itu mengubah pandangan mereka tentang dunia gaib dan kekuatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya. Mereka sadar bahwa tidak semua misteri bisa dijelaskan dengan logika, dan ada hal-hal yang sebaiknya tetap tersembunyi.

Namun, bahkan setelah mereka meninggalkan rumah itu, Ardi merasa bahwa sesuatu dari pengalaman itu masih melekat padanya. Terkadang, saat ia berada sendirian di malam hari, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari kegelapan, seolah-olah bayangan masa lalu itu belum sepenuhnya hilang.

Dan di dalam mimpinya, Ardi sering melihat seorang anak kecil yang berdiri sendirian di sebuah ruangan gelap, memegang boneka kayu yang rusak. Anak itu tidak pernah mengatakan apa-apa, hanya menatapnya dengan mata yang kosong dan hampa, seolah-olah menunggu sesuatu yang tidak pernah datang.

Meskipun rumah itu sudah jauh di belakangnya, Ardi tahu bahwa beberapa rahasia tidak pernah benar-benar terkubur. Mereka hanya menunggu waktu yang tepat untuk bangkit kembali, mencari penebusan atau pembalasan.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Ervan Yuhenda

Berani Beropini Santun Mengkritisi

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Fiksi

img-content
Lihat semua