Melihat Sejarah Bank Indonesia Lewat Buku Konferensi Meja Bundar

Minggu, 10 November 2024 20:43 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari Bank di Indonesia diperingati setiap tanggal 5 Juli. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, karena Bank Indonesia sebagai bank sentral didirikan bukan pada tanggal tersebut, melainkan pada tanggal 1 Juli.

Judul : Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia

Penulis : Hardini Swastiana, dkk

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit : Bank Indonesia Institute

Tahun Terbit : Cetakan Pertama, Oktober 2023

Jumlah Halaman : 426 halaman

ISBN : 9786235662527

Hari Bank di Indonesia diperingati setiap tanggal 5 Juli. Hal ini mungkin menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, karena Bank Indonesia sebagai bank sentral didirikan bukan pada tanggal tersebut, melainkan pada tanggal 1 Juli.

Ternyata tanggal 5 Juli mengacu pada pendirian Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank pertama yang didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia setelah kemerdekaan, yaitu pada tanggal 5 Juli 1946.

Lalu bagaimana dengan Bank Indonesia? Nah, Bank Indonesia, sebelumnya Bernama De Javasche Bank berfungsi sebagai bank sentral yang dikendalikan oleh Belanda di Hindia Belanda, bahkan selama periode perang mempertahankan kemerdekaan atau revolusi fisik (1945-1949), hingga penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.

Jadi, beberapa tahun setelah penyerahan kedaulatan, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih De Javasche Bank dan menetapkannya sebagai bank sentral dengan nama Bank Indonesia (BI) pada 1 Juli 1953 dengan gubernur pertamanya adalah Syafruddin Prawiranegara.

Nah, sejarah mengenai terbentuknya Bank Indonesia itulah yang dijelaskan dalam buku berjudul Konferensi Meja Bundar: Jalan Menuju Terbentuknya Bank Sentral Republik Indonesia. Buku ini adalah satu dari sedikit buku yang membahas mengenai sejarah bagaimana terbentuknya Bank Indonesia.

Buku ini terdiri dari 6 Bab yakni Bab 1 Panggung Revolusi: Dimensi Politik Ekonomi Era Transisi, Bab 2 Bermain Peran: DJB, NKG, dan BNI, Bab 3 Konferensi Meja Bundar, Bab 4 Kesepakatan Financial Economische Overeenkomst (FINEC) Indonesia-Belanda, Bab 5 Nasionalisasi De Javasche Bank, Bab 6 Bank Indonesia: Lahir dan Berjuang untuk Negeri.

Meskipun buku ini berkaitan dengan sejarah Bank Indonesia, buku ini juga membahas tentang apa yang disebut dengan revolusi fisik, mulai dari Perjanjian Renville hingga Linggarjati, Agresi Militer Belanda I, dan Agresi Militer Belanda II, Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Serangan Umum 1 Maret, dan bagaimana kondisi ekonomi di masa pendudukan Jepang hingga revolusi fisik. Walaupun pembahasannya tidak terlalu mendetail, informasi yang disajikan cukup untuk dipahami.

“Serangan Umum 1 Maret 1949 memberikan dampak penting terhadap sikap dunia internasional terhadap sengkete Indonesia-Belanda,” Hal 58.

Kita tahu selama ini yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi, dari sekolah-sekolah adalah perjuangan fisik. Sementara perjuanga non fisik acapakali diabaiakan dan kurang mendapatkan atensi. Maka ini menjawab bahwasanya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak hanya dilakukan dengan mengangkat senjata, tetapi juga melalui jalur lain yang tak kalah beratnya, yakni ekonomi.

“Konfrontasi di medan pertempuran bukan satu-satunya ajang adu kekuatan antara Indonesia dan Belanda selama revolusi kemerdekaan. Adu strategi untuk melumpuhkan kekuatan lawan dalam rangka menguasai teritori yang disebut Hindia Belanda juga berlangsung di medan pertempuran ekonomi dan moneter,” Hal 84.

Intinya meskipun buku ini membahas berkaitan dengan bagaimana terbentuknya Bank Indonesia, tetapi buku juga membahasa berkaitan dengan kondisi ekonomi, sosial, dan politik dari mulai masa pendudukan Jepang hingga pasca Konferensi Meja Bundar (KMB).

Namun, agak disayangkan buku ini tidak membahas berkaitan dengan sejarah De Javasche Bank. Padahal terbentuknya Bank Indonesia tidak bisa lepas dari De Javasche Bank, maka sudah seharusnya membahasa tentang sejarah De Javasche Bank, agar informasi yang diperoleh public bisa lengkap.

Dawam Rahardjo dalam bukunya Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa (1995) menyatakan bahwa De Javasche Bank didirikan pada 24 Januari 1828 dengan status oktroi yang dapat diperpanjang. Pada 22 Maret 1881, DJB berubah menjadi N.V. (Naamlooze Vennootschap) atau perusahaan baru setelah dilegalisasi oleh Notaris Derk Bodde di Batavia.

Meskipun telah menjadi N.V., DJB tetap menjalankan status oktroi hingga 31 Maret 1922, sebelum akhirnya memperoleh badan hukum (DJB Wet). Sejak saat itu, DJB berstatus sebagai bank yang berbadan hukum.

Keputusan untuk meningkatkan status DJB menjadi N.V. diambil karena bank sentral ini dinilai berhasil merumuskan dan menerapkan berbagai kebijakan baru yang berdampak positif bagi kemajuan perbankan di Hindia Belanda pada masa itu.

DJB kemudian berkembang pesat, dengan membuka 16 cabang baru di berbagai kota seperti Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Makassar, dan Manado. Bahkan, DJB memiliki kantor perwakilan di Amsterdam dan New York.

Menurut saya, kekurangan dari buku ini mungkin sulit dipahami oleh masyarakat awam karena pembahasannya yang rumit dan tidak runtut.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler