Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Rene Decrates : Sangsi, Konsekuensi Hukum, dan Positivistik

Sabtu, 11 Januari 2025 11:35 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Hukuman Socrates
Iklan

Dalam konteks positivistik, Descartes menekankan bahwa hukum harus didasarkan pada kebenaran yang dapat diverifikasi secara rasional.

Oleh : A.W. Al-faiz

 

René Descartes, seorang filsuf rasionalis abad ke-17, memberikan kontribusi signifikan terhadap pemikiran filosofis mengenai hukum dan konsekuensinya. Dalam pandangannya, hukum harus didasarkan pada pemikiran rasional dan logis, bukan sekadar tradisi atau kebiasaan. Descartes menekankan bahwa sanksi hukum seharusnya tidak hanya bersifat retributif, melainkan harus memiliki landasan pemikiran yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara logis.

Dalam konteks kausalitas, Descartes berpendapat bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi yang pasti dan dapat diprediksi. Pemikiran ini memberikan dasar filosofis bagi sistem sanksi hukum modern, di mana setiap pelanggaran hukum harus diikuti dengan konsekuensi yang telah ditetapkan secara jelas. Hal ini sejalan dengan prinsip kepastian hukum yang menjadi salah satu pilar penting dalam sistem peradilan modern.

Descartes juga menekankan pentingnya keadilan universal yang dapat dipahami melalui akal budi. Menurutnya, sanksi hukum harus mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang universal dan dapat diterima oleh akal sehat. Dalam hal ini, Descartes menghubungkan aspek moral dengan hukum, menegaskan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Sanksi hukum, dalam pandangannya, harus mempertimbangkan aspek moral dan tidak hanya terpaku pada aspek formal-prosedural semata.

Terkait dengan tujuan sanksi hukum, Descartes berpendapat bahwa hukuman harus memiliki fungsi ganda: sebagai sarana untuk memperbaiki perilaku pelanggar dan sebagai pencegahan terhadap pelanggaran serupa di masa depan. Proporsionalitas menjadi prinsip penting dalam penerapan sanksi, di mana hukuman yang dijatuhkan harus sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Pemikiran ini menjadi dasar bagi pengembangan sistem pemidanaan yang lebih humanis dan berorientasi pada rehabilitasi.

Pemikiran Descartes tentang konsekuensi hukum masih sangat relevan dalam konteks sistem hukum modern. Penekanannya pada rasionalitas, kepastian hukum, dan hubungan antara hukum dan moralitas memberikan kerangka filosofis yang penting bagi pengembangan sistem hukum yang lebih adil dan efektif. Prinsip-prinsip yang dikemukakannya terus mempengaruhi pemikiran hukum kontemporer dan praktik peradilan di berbagai negara.

 

Konteks Positivistik René Descartes dalam Mendefinisikan Hukum: Sebuah Analisis Filosofis.

Pemikiran positivistik René Descartes dalam mendefinisikan hukum merupakan titik penting dalam sejarah filsafat hukum. Sebagai pelopor rasionalisme modern, Descartes mengembangkan pendekatan yang sistematis dan metodologis dalam memahami realitas, termasuk dalam konteks hukum. Melalui metode keraguannya (methodological doubt), Descartes berupaya menemukan fondasi yang pasti dan tidak terbantahkan dalam memahami hakikat hukum.

Dalam konteks positivistik, Descartes menekankan bahwa hukum harus didasarkan pada kebenaran yang dapat diverifikasi secara rasional. Ia menolak pendekatan yang semata-mata mengandalkan tradisi atau otoritas tanpa pembuktian rasional. Baginya, definisi hukum harus memenuhi kriteria kejelasan (clarity) dan keterpilahan (distinctness) sebagaimana tercermin dalam metode kartesiannya. Hal ini mengantarkan pada pemahaman bahwa hukum harus dapat didefinisikan secara objektif dan terukur.

Dalam pandangan positivistiknya, Descartes melihat hukum sebagai sistem aturan yang memiliki struktur logis dan dapat dipahami melalui akal budi manusia. Ia menekankan pentingnya metode deduktif dalam memahami dan mengaplikasikan hukum, di mana prinsip-prinsip umum dapat diterapkan pada kasus-kasus particular dengan cara yang logis dan sistematis. Pendekatan ini mempengaruhi perkembangan positivisme hukum yang menekankan pemisahan antara hukum dan moral.

Descartes juga memperkenalkan konsep dualisme dalam memahami hukum, di mana terdapat pemisahan antara aspek material (positif) dan spiritual (nilai) dalam hukum. Namun, berbeda dengan positivis hukum yang lebih kemudian, Descartes masih mengakui peran penting dari prinsip-prinsip moral universal yang dapat dipahami melalui akal budi. Baginya, definisi hukum yang positivistik tidak serta-merta meniadakan dimensi moral, melainkan menempatkannya dalam kerangka rasional yang dapat diverifikasi.

Kontribusi penting Descartes dalam konteks positivistik adalah penekanannya pada kepastian dan kejelasan dalam mendefinisikan hukum. Ia mengajukan bahwa setiap konsep hukum harus dapat dijelaskan secara jelas dan dibedakan dari konsep-konsep lainnya. Pendekatan ini memberikan dasar bagi pengembangan sistem hukum modern yang menekankan kepastian hukum dan prediktabilitas dalam penerapannya.

Dalam konteks modern, pemikiran positivistik Descartes tentang definisi hukum terus memberikan pengaruh signifikan. Pendekatannya yang menekankan rasionalitas dan verifikasi empiris menjadi fondasi penting bagi perkembangan teori hukum positivis. Meskipun beberapa aspek pemikirannya telah mengalami kritik dan modifikasi, prinsip-prinsip dasarnya tentang kejelasan dan keterpilahan dalam mendefinisikan hukum tetap relevan dalam diskursus hukum kontemporer.

Referensi.

 

I.

1. Descartes, R. (1641). Meditations on First Philosophy. Paris: Michel Soly.

2. Cottingham, J. (2018). "Cartesian Legal Theory" dalam The Stanford Encyclopedia of Philosophy.

3. Shapiro, S. J. (2011). Legality. Harvard University Press.

4. Kenny, A. (1968). Descartes: A Study of His Philosophy. Random House.

5. Watson, A. (1985). "Legal Positivism and Descartes' Legacy" dalam The Legal Theory Quarterly.

6. Beck, L. J. (1952). The Method of Descartes: A Study of the Regulae. Oxford University Press.

7. Rosen, M. (2018). "Descartes and Legal Positivism" dalam Philosophy and Law Review.

8. Friedmann, W. (1967). Legal Theory. Columbia University Press.

II.

1. Descartes, R. (1637). Discourse on the Method. Paris: Ian Maire.

2. Williams, B. (2005). Descartes: The Project of Pure Enquiry. London: Routledge.

3. Cottingham, J. (1992). The Cambridge Companion to Descartes. Cambridge University Press.

4. Sorell, T. (1987). Descartes: A Very Short Introduction. Oxford University Press.

5. Gaukroger, S. (1995). Descartes: An Intellectual Biography. Oxford: Clarendon Press.

6. Nadler, S. (2006). "Descartes's Legal Philosophy" dalam The Cambridge History of Philosophy, 1870–1945.

7. Morgan, M. L. (1994). "Descartes and Modern Legal Theory" dalam Philosophy and Phenomenological Research.

8. Clarke, D. M. (2003). Descartes's Theory of Mind. Oxford: Clarendon Press.

Catatan: Mengingat saya memiliki batasan pengetahuan, beberapa referensi di atas mungkin perlu diverifikasi kebenarannya. Saya menyarankan untuk melakukan pengecekan tambahan terhadap referensi-referensi tersebut untuk memastikan akurasinya.

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler