Pekerjaan yang Belum Tuntas Digarap?

Kamis, 6 Februari 2025 15:08 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Perempuan
Iklan

Cerpen Felix Nesi mengandung kontradiksi besar. Tulisannya diikhtiarkan mengungkap kisah perempuan yang direpresi, tapi ia gagap bersikap,

Kenakalan Linguistik

Di antara banyak karya Felix Nesi, cerpen Kutukan Perempuan Celaka tampil berani dengan mengulas ritus budaya secara begitu terbuka. Cerpen yang diterbitkan pada Basa-basi.co pada 22 Desember 2017 ini mengulas budaya sifon di kalangan suku Dawan Timor. Bagi sebagian besar masyarakat NTT, ritus sifon masih menjadi isu yang kontroversial. Melalui budaya sunat lokal tersebut, seorang pria dewasa diperkenankan berhubungan sex meski tanpa terikat perkawinan resmi. Bahkan setiap perempuan dalam kampung berpotensi menjadi korban dari pemberlakuan ritus tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagaimana karya-karya lain yang bertolak dari realitas budaya lokal Timor, Felix menegaskan diri sebagai penulis yang berani menampilkan lapisan-lapisan budaya tanpa kenal tabu. Dalam kemasan cerpen yang menarik, serentak terbersit kemampuan penulis dalam meramu isu-isu sosial.

Cerpen ini adalah sebentuk kegaduhan sastra yang menyoroti ekses-ekses tidak wajar dari bentuk-bentuk budaya. Warisan budaya sejatinya bukan sebuah wahyu ilahi yang mengandung segala kebenaran. Pada lapisan paling dalam, apa yang dituruti dalam bentuk tradisi seringkali merupakan muara dari berbagai permasalahan sosial. Meramu isu-isu tersebut dalam bentuk sebuah cerpen adalah privilese yang Felix miliki.

Karakter kuat Felix dalam karya ini terletak pada keberanian menyatakan kritik tanpa harus terikat kewajiban menggunakan bahasa sopan. Ia, sebagaimana juga Goenawan Mohamad (2021: 165), terlanjur paham bahwa bahasa sopan hanyalah sebuah remote control yang “mengendalikan pikiran agar selalu tunduk kepada hipokrisi yang dilazimkan”. Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa demikian bisa jadi merupakan bentuk pendisiplinan bahasa. Penguasa sering menertibkan seruan-seruan kritis dengan mengontrol bahasa publik dengan dalih tradisi kesusilaan.

Kehadiran penulis terlihat dalam ragam bahasa sensual-vulgar: vagina, melacur, orgasme, ‘burung’, mengulum atau lonte. Pemilihan diksi yang tidak senonoh mengandung intensi tersendiri. Sebagai le signifiant (penanda) yang tidak sopan, kosakata semacam itu mampu mengungkapkan le signifié (yang ditandakan) yang lebih berarti; meminjam teori pembedaan linguistik Ferdinand de Saussure (1857-1913) seturut Bertens (2019: 176-177). Ia membentangkan fakta sebagaimana adanya, dilucuti dari ketertutupan-ketertutupan linguistiknya. Bagi sastrawan asal NTT ini, kejujuran bahasa memiliki potensi profetik untuk mewartakan kebenaran-kebenaran dalam konteks yang lebih luas.

Kenakalan penulis ini mendobrak sekat sosio-kultural dalam penulisan karya sastra. Dalam suatu kultur yang seolah-olah etis dan moralis, para sastrawan sering dipaksa untuk membahasakan kebenaran secara sopan, susila dan agamais. Usaha pembungkaman kebebasan diksional sastra adalah bagian kecil dari pembungkaman kebenaran pada umumnya. Seakan-akan sebagai antitesis, Chairil Anwar justru tak tanggung-tanggung pernah berpuisi “Aku ini binatang jalang…” pada publik 1943-an. Sebuah pagar etis telah dilangkahi. Tentu ada kegelisahan kronis yang mendorong sosok ini, sebagaimana Felix dan sastrawan-sastrawan lain, melanggar tabu-tabu umum dan menolak konformitas dengan kebenaran-kebenaran yang disembunyikan. Melalui cerpen ini, Felix membentuk aturan baru bagi sistim bahasa (langue; Perancis) sastra yang lebih otonom dan subversif lepas dari paksaan-paksaan kekuasaan.

Melalui kenakalan-kenakalan linguistiknya, Felix menggarap kritik terhadap beberapa isu lokal. Dalam cerpen Kutukan Perempuan Celaka, dua isu mengemuka secara kental, yakni perempuan dan kritik kebudayaan. Meskipun Felix cukup jenius menghidangkan isu-isu tersebut, ia justru terkesan gagap menyatakan keberpihakan dan terjebak dalam kebuntuan epistemisnya sendiri.

Patriark Sejati

Cerpen Felix Nesi mengandung kontradiksi besar. Tulisannya diikhtiarkan mengungkap kisah perempuan yang direpresi dalam konteks lokal. Tapi tujuan ini menemukan kegagapannya dalam tulisan. Tokoh ‘saya’ merupakan representasi dari persona seorang laki-laki. Bukan sosok perempuan yang ditimang menjadi titik gravitasi cerita.

Tokoh ‘saya’, sebagai maskulinitas yang ‘anonim’, merebak sepanjang cerita. Sudut pandang kaum pria menjarah setiap sudut penceritaan; Siub Sifnoni yang mati dengan kelamin berulat, Neon Panpelo yang mati kehabisan darah, Rius Bakase sang mantan frater yang mati dengan kemaluan terpotong, Am Teutfatu si mantan lurah. Seperempat awal cerpen adalah kompilasi dari kisah-kisah minor tentang kaum laki-laki dan kemaluannya.

Menarik serentak ironis, satu-satunya ruang yang dipersiapkan untuk kaum perempuan adalah di sela-sela kisah tentang kaum laki-laki. Mereka disebutkan hanya sebagai pelengkap cerita; Neeta dan para lonte, Tanta Marta, Nenek Yo sang bidan desa, Ain Liko dan cucunya. Para perempuan ini seakan ditakdirkan sebagai entitas periferal yang sekedar memberi bumbu bagi polemik kaum pria, terutama kelaminnya.

Sebagai pelengkap, kaum perempuan tentu tidak memiliki otonomi. Sebagaimana sosok-sosok pelacur di kampung, kaum perempuan dilukiskan sebagai objek-objek dari determinasi di luar dirinya. Tugas Neeta, pelacur dari Jawa, hanya satu, “memanjakan tiap—tiap lelaki yang membutuhkannya”. Ia didekati dan dicari saat dibutuhkan saja. Ia hidup hanya dari kebejatan laki-laki. Fungsi utama mereka dalam strata sosial kampung adalah untuk memuaskan birahi kamu laki-laki saat ritus Sifon diadakan; sebuah etiket budaya. Atas nama sifon perempuan mana saja boleh digauli sebagai bukti kharisma maskulinitas. Seberapa banyak batu yang dilemparkan dalam ritus Nain Fatu memperlihatkan kuantitas dan kualitas kejantanan para pria muda. Martabat mereka dinilai dari seberapa banyak wanita yang digauli, sebuah prestise simbolis.

Tak ada ruang musyawarah untuk mendengarkan aspirasi para perempuan yang menjadi korban. Felix tak sekalipun menyematkan nukilan percakapan para wanita yang disetubuhi. Bahkan ironisnya, para perempuan ini pun, diceritakan, menormalisasi penindasan seksual yang mereka alami. Pada posisi ini mereka gagal untuk melihat kebenaran dari perspektif epistemologis yang berbeda. Sialnya, semua ke-salah-kaprah-an ini terinstitusionalisasi dalam kelembagaan adat yang tak mudah dirombak.

Felix sangat memahami posisi perempuan yang padanya dikenakan konstruksi-konstruksi budaya. Tidak semua konstruksi ini egaliter atau emansipatif. Cukup banyak justru lahir akibat nilai-nilai patriarki yang terlanjur melekat erat dalam bangunan budaya bersangkutan. Namun, sekali lagi sang penulis justru menjadi, apa yang disebut Sartre, ‘sorot mata’ (le regard) yang mengobservasi dan mengobjektivikasi barisan tokoh perempuan melalui kacamata protagonis maskulin. Ia dan tokoh rekaannya (‘saya’) adalah patriark sejati.

Antara Desa dan Kota

Cerpen ‘Kutukan Perempuan Celaka’ mengandung ambivalensi besar sebab ia mengkritisi budaya serentak menciptakan konstruksi baru atasnya. Ia mempertebal konstruksi negatif tentang budaya tradisional. Felix memperlihatkan geliat masyarakat Dawan yang jauh dari kata ‘beradab’: sebuah hermeneutika yang salah kaprah. Ia mengangkat isu tentang sifon, seks bebas, bullying, penindasan kaum perempuan, marginalitas di desa-desa dan patriarkisme ekstrem. Semua indikator ini adalah sisi lain dari logika budaya; sebuah pengetahuan yang telah mendarah-daging dalam diri setiap anggotanya. Sisi lainnya tidak ditampilkan.

Ada etiket yang dilanggar melalui proklamasi semua fakta negatif dari budaya tersebut. Felix tentu paham bahwa representasi yang timpang atas budaya bisa berakibat pada pembentukan pemahaman yang keliru. Apalagi jika dibaca oleh publik dari sistim kultural yang berbeda. Ini bagian dari usaha pengkonstruksian ‘anti-budaya’. Ada kesan ‘menjaga jarak’ dari praktik budaya. Bahkan, tanpa sadar, ada kesan resisten terhadap praktik-praktik budaya tersebut.

Norma-norma adat mudah direlativisir oleh berbagai kepentingan. Adat berada jauh dari kata final, sebab praktik-praktinya bisa menyesuaikan kehendak para pelaku tergantung intensi epistemologisnya. Seks bebas bisa dipandang dengan standar ganda. Di satu sisi, perilaku seks bebas di kalangan masyarakat lokal, baik untuk kepentingan nafsu pribadi atau untuk memenuhi tuntutan ritus Sifon, merupakan laku yang normal dan imperatif, meski tidak diakui secara terbuka. Bahkan adat menjadi penjamin utamanya. Namun di sisi lain, ia bisa jadi dosa berat dalam sirkumstansi dan tempat tertentu; kasus Neeta dan si protagonis. Perilaku seks pada situasi ini menjelma sebuah tabu adat yang punya konsekuensi. Adat seketika menjelma hakim.

Meskipun bersifat pesimis terhadap budaya, Felix secara cerdik tidak pula sepenuhnya terjebak sebagai pembela nilai-nilai kosmopolitan. Di wilayah-wilayah urban sekalipun mekanisme-mekanisme pendegradasian martabat manusia bertumbuh. Daerah kota, sebagai area yang paling banyak menerima dampak modernisme, menyembunyikan juga ambiguitasnya; kemajuan dan dehumanisasi. Dalam cerpen, wilayah kota dipenuhi dengan kengerian; korban perdagangan manusia kembali ke kampung sebagai “mayat yang penuh jahitan’. Di kota-kota besar, tubuh adalah komoditas sebagaimana biji kakao.

Penulis menghindari dualisme; antara mendukung yang tradisional atau yang modern. Alih-alih memilih, ia justru membangun disposisinya sendiri, meskipun terbaca sangat implisit. Penulis sengaja mengkritisi dua paradigma sosio-kultural; desa dan kota, Dawan dan Kupang. Namun ia terjebak pada kebuntuan kronis sebab tak mampu memperkenalkan jalan tengah. Tokoh saya tetap di kampung dan tunduk pada ketimpangan, sebaliknya Neeta si pelacur keluar kampung dan hilang lenyap tanpa cerita. Pilihannya ada dua; bersikap konformis sambil ditindas atau subversif tanpa kepastian.

Kebuntuan-Kebuntuan Epistemis

Cerpen ‘Kutukan Perempuan Celaka’ bisa diibaratkan sebuah galeri. Padanya digantung dan dipajangkan kesialan-kesialan manusia. Ia menggunakan latar budaya masyarakat Dawan. Koleksinya cukup lengkap, mulai dari potret-potret tentang perempuan yang digagahi atas nama hukum adat dan gairah kaum laki-laki, hingga lukisan-lukisan kesengsaraan manusia di kota dan desa.

Karya-karya impresif ini mempertegas sentimentalitas, membangkitkan perasaan-perasaan purba pembaca untuk bersimpati. Tapi sebagai ‘pajangan artistik’ ia hanya berarti di dalam ruang galeri. Di luar ruangan, ia hanya sekedar memberi penegasan dari kesialan-kesialan lazim manusia yang hidup. Dengan ini, tak lancang untuk menjuluki cerpen ini sebagai sekedar sebuah “dokumentasi” yang epik dan ekspresif.

Dalam cerpen ini, deskripsi faktual tentang praktik-praktik adat ditelisik. Namun ia tidak mengantar pembaca ke sebuah tujuan spesifik, pada fase anti-klimaks. Paling banter, cerpen ini membuka horizon tentang praktik-praktik kultural yang timpang dan cara bagaimana masyarakat lokal berkompromi di dalamnya. Tidak terbaca tekad penulis untuk menawarkan sebuah perspektif yang mampu mengurai tegangan-tegangan sosial di dalamnya. Tak ada seruan revolusioner untuk mengobok-obok tatanan yang tidak adil, sebab tokoh utama kembali ke tabiat lamanya: menggauli setiap wanita yang ia dekati dan menyelesaikan ritus sifonnya. Tidak ada rekonsiliasi bagi para perempuan yang jadi korban, sebab Neeta diusir dan menghilang dari cerita.

Cerpen Felix secara jenius merangkai kebuntuan-kebuntuan epistemis tersebut dalam satu plot. Namun, sebagaimana Filsuf Herbert Marcuse dalam One-Dimentional Man tak bisa menemukan jalan keluar dari kebuntuan modernisme, Felix pun gagal menawarkan satu celah pembebasan dari kebuntuan-kebuntuan epistemis. Penulis tampaknya terjebak dalam kurungan dialektikanya sendiri. Barangkali ia belum juga menemukan sebuah formula mutakhir sesaat setelah menyelesaikan penulisan cerpennya ini. Menurut Sofia Wiberg (2022: 403), seni memang adalah sebuah space for speculation, pencarian jawaban tanpa henti. Barangkali cerpen ‘Kutukan Perempuan Celaka’ adalah sebuah pekerjaan berat yang belum tuntas digarap.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Geovanny Calvin

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler