Menantang Politik Ultra-Maskulin!
Kamis, 6 Februari 2025 15:19 WIB
Bagi kaum perempuan, jalan untuk berkonsolidasi ke dalam kontestasi politik jauh lebih terjal dibandingkan kaum laki-laki.
***
Sejak awal, perempuan tinggal dalam tabu-tabu sosial dan kultural yang mengidolakan kegagahan dan superioritas kaum laki-laki. Simbol-simbol kelaki-lakian menyeruak ke dalam berbagai bentuk pola relasi, bahkan di dalam ruang politik. Konstruksi gender menempatkan kaum laki-laki sebagai satu-satunya makhluk politik. Politik menjadi sedemikian ultra-maskulin dan kehilangan kelembutan untuk mengayomi, berbelarasa, peka dan luwes.
Kontestasi politik yang inklusif masih merupakan sebuah utopi yang tinggal di angan-angan. Kue politik masih saja dinikmati oleh segelintir kalangan saja, dalam hal ini kaum laki-laki. Penyisihan dan penyempitan ruang gerak kaum perempuan di panggung politik tak pernah usai. Beberapa yang cukup beruntung, para politisi perempuan hebat, hanya mendapatkan remah-remahnya dan tersisih menjadi bagian periferi dari seluruh aktivitas perpolitikan. Politik yang sekiranya menjadi ruang pertautan segala gagasan, praksis dan perspektif secara bebas dan terbuka telah berubah menjadi ruang tertutup yang diisi kaum elit dengan proporsi terbesarnya adalah kaum laki-laki.
Perempuan tidak ditakdirkan untuk mengurusi persoalan politik. Segenap potensi dan kemampuan kaum perempuan digariskan secara sosio-kultural untuk memenuhi tugas-tugas domestik dan rumah tangga. Mereka tidak diperlengkapi dengan kemampuan-kemampuan rasio dan logika yang dibutuhkan sebagai seorang politisi. Dalam kategori gender, peran perempuan hanya layak menempati lingkungan rumah. Pengkondisian semacam ini meregionalisasi potensi besar kaum perempuan untuk melakukan sesuatu yang progresif. Lagipula, politik adalah sebuah gelanggang publik yang tidak perlu disematkan kategori-kategori menyimpang berbasis gender.
Regulasi yang Semi-Inklusif
Di era politik yang sedemikian maskulin, kita telah cukup menikmati sebuah masa di mana partisipasi kaum perempuan di berbagai bidang kehidupan semakin nampak. Ada aturan dan regulasi yang memungkinkan posisi mereka diperhitungkan. Dalam konteks politik, tak sedikit kaum perempuan yang berkecimpung berhasil menorehkan prestasi dan capaian sama baiknya dengan kaum laki-laki.
Regulasi kuota 30% bagi anggota legislatif perempuan memungkinkan terbentuknya kultur inklusif di ruang kerja DPR. Meskipun demikian, persoalan tentang keterwakilan perempuan dalam gelanggang politik tidak pernah berhenti diperbincangkan. Artinya regulasi itu hanya menampilkan kesan inklusif tanpa benar-benar menerjemahkannya secara gamblang, sebuah pseudo-fakta.
Sebagai jalan mendorong keterlibatan perempuan dalam politik, pemerintah Indonesia memberlakukan regulasi partisipasi. Pemberlakuan kuota 30% bagi perempuan dalam mekanisme penyelenggaraan pemilu menjadi sebuah jalan kemajuan dalam menciptakan atmosfer politik yang inklusif. Ketentuan ini termaktub dalam UUD pasal 10 ayat 7 dan pasal 92 atau 11 tahun 2017.
Lembaga penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu memberi perhatian lebih pada keterwakilan perempuan.[1] Lembaga-lembaga ini memastikan kontribusi kaum perempuan di dalam pesta demokrasi. Kompetensi kaum perempuan untuk berpolitik praktis dinilai cukup mumpuni. Untuk itu, minimal 30% anggota penyelenggara pemilu harus perempuan.
Selain kenyataan historis membuktikan sejumlah besar figur politisi perempuan yang berperan signifikan dalam pembangunan negara, dalam dirinya sendiri, kaum perempuan juga diperlengkapi dengan kompetensi dan potensi yang sama dengan kaum laki-laki. Kesetaraan ini telah dijamin secara gamblang dalam UUD NRI 1945, Pasal 28 H, ayat (2). Pasal dan ayat ini menegaskan kesamaan akses dan peluang untuk mencapai persamaan dan keadilan. Memungkinkan kaum perempuan kompeten untuk berpolitik adalah manifestasi paling kasat mata dari persamaan dan keadilan tersebut, terlepas dari apa pun identitas seksual, peran gendernya.
Secara legal yuridis, isu tentang keterwakilan perempuan di tengah medan politik telah diatur dalam seperangkat aturan dan konvensi internasional. Isu ini mendapat perhatian dari masyarakat global sebagai masalah bersama. Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women/CEDAW memberikan jaminan yang kuat bagi hak-hak politik kaum perempuan.[2]
Cukup banyak konteks sosial di berbagai negara memperlihatkan adanya batasan dan hambatan besar bagi kaum perempuan untuk terjun dan terlibat dalam dunia politik yang keras dan kadang tanpa perasaan. Situasi ini tidak saja dihadapi di beberapa negara berkembang seperti Indonesia. Negara-negara maju pun masih mengalami isu yang berkaitan dengan diskriminasi terhadap kaum perempuan dalam lingkungan politik.
Namun, semakin banyaknya regulasi hukum tidak memberikan jaminan absolut untuk menciptakan konteks politik yang sungguh-sungguh ramah terhadap kaum perempuan. Regulasi hanya sekedar bersifat semi-inklusif. Dalam praktiknya, kuota 30% yang diberlakukan belum juga terpenuhi. Keterlibatan dan keterwakilan perempuan ternyata masih berada di bawah garis standar nasional tersebut.
Ada beberapa indikator yang menegaskan kenyataan ini. Sejak diberlakukannya pasal undang-undang tersebut, keanggotaan komisioner KPU Pusat tahun 2017-2022 masih didominasi oleh kaum laki-laki; 6 laki-laki (85,7%) dan hanya 1 perempuan (14,3%). Rasio yang relatif sama juga terimplikasi dalam keanggotaan komisioner KPU di skala yang lebih regional; KPU Provinsi hanya melibatkan 39 perempuan (21,1%), KPU Kabupaten/Kota melibatkan 441 perempuan (17,3%).[3]
Di sisi lain, keanggotaan Bawaslu periode 2017-2022 tak kalah diskriminatifnya. Keterwakilan perempuan dalam komisioner Bawaslu di berbagai jenjang selalu lebih rendah dari target minimal 30% kuota menurut Undang-Undang; Pusat (20%), Provinsi (20,2%) dan Kabupaten/Kota (16,5%).[4] Kalkulasi ini secara imperatif menampilkan wajah ketimpangan.
Tantangan terbesar yang dihadapi oleh kaum perempuan bukan saja terkait hambatan dari lingkungan sosio-politik, melainkan pula kualitas kompetensi politik individual yang masih rendah. Pendidikan politik untuk kaum perempuan perlu ditingkatkan agar semakin banyak kaum perempuan potensial berkontribusi pada kemaslahatan negara dan bangsa.
Kegagalan pencapaian mimpi kuota 30% bagi kaum perempuan dalam politik merupakan bukti masih kuatnya ketimpangan gender dalam dunia politik di Indonesia. Ketimpangan gender ini berekspansi di hampir semua negara dan dengan demikian menjadi satu isu univok yang dihadapi juga oleh cukup banyak negara di dunia.
Berdasarkan data kajian global, proporsi keanggotaan kaum perempuan dalam kursi parlemen (parliamentarians) di 114 negara berkisar antara 10%-29,9%, sementara di 25 negara lainnya, presentase perempuan berkisar di bawah 10%. Perempuan yang menduduki kursi di kementrian di sekitar 130 negara hanya berada di bawah angka 30%, sedangkan 12 negara lain sama sekali tidak memiliki representasi perempuan.[5]
Pada era yang lebih baru, bargaining power kaum perempuan dalam gelanggang politik justru semakin lemah. Di masa Jokowi, kaum perempuan menempati sembilan kursi kementrian dalam kabinet. Ada kepercayaan politis besar terhadap kompetensi dan integritas wakil-wakil perempuan ini. Di era Presiden Prabowo, jumlah kuota kementrian dan kabinet membengkak secara kuantitatif, tapi hanya disediakan lima kursi kementrian bagi perwakilan perempuan. Beberapa di antaranya masih pemain lama.
Data-data ini memperlihatkan kepada publik betapa keterwakilan kaum perempuan masih menjadi permasalahan getir yang tidak mudah untuk dilampaui. Minimnya representasi kaum perempuan dalam peta politik tidak saja mengindikasikan kuatnya batasan-batasan struktural politis terhadap politisi perempuan melainkan pula kerasnya desakan budaya dan asumsi-asumsi patriarki di dalam tubuh politik itu sendiri.
Pagar-Pagar Pembatas Politis yang Emansipatoris
Secara kritis, ada dua hambatan besar, ‘pagar-pagar pembatas politis’ yang dihadapi oleh kaum perempuan saat terlibat dalam politik praktis. Pertama, asumsi kultural yang memparalelkan pembagian gender dengan politik. Identitas gender mendeterminasi kepantasan seseorang untuk berpolitik. Identitas gender kaum perempuan dilihat sebagai isyarat alamiah untuk membatasi perannya dalam politik. Perempuan tidak lebih pantas dan tepat secara ontologis untuk menjadi pemimpin atau pembuat kebijakan. Asumsi ini dalam perjalanan waktu bukan lagi ditilik sebagai sebuah konstruksi sosio-kultural, melainkan sebuah kebenaran kodrati.[6]
Dari aspek ini, demokrasi terkondisikan dengan pola pembagian peran gender yang terkonstruksi justru melalui narasi-narasi superioritas kaum laki-laki. Dengan dasar peran gender, demokrasi justru memungkinkan peminggiran kaum perempuan dalam berpolitik sebab karakter dan sifat-sifat inferior dan subordinatif dikenakan secara sepihak kepada kaum perempuan.[7]
Kedua, batasan-batasan institusional. Mekanisme keterlibatan dan pencalonan dalam kontestasi politik masih mendiskriminasi kaum perempuan. Institusi publik seperti pemerintahan dan jabatan-jabatan struktural di berbagai skala kelembagaan masih memberlakukan pembatasan yang kuat terhadap keterlibatan kaum perempuan. Hal ini terwujud dalam mekanisme seleksi yang memberatkan kaum perempuan. Tuntutan-tuntutan irasional diterapkan kepada para politisi perempuan sehingga perjuangan mereka untuk sekedar hadir dalam gelanggang politik, dua kali lipat lebih sukar dibandingkan akses bebas hambatan yang dinikmati kaum laki-laki.[8]
Bagi kaum perempuan, jalan untuk berkonsolidasi ke dalam kontestasi politik jauh lebih terjal dibandingkan kaum laki-laki. Politik sudah sedemikian terdistorsi dengan nilai-nilai patriarki yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Ketidakadilan dan ketimpangan telah membangun bangunan permanennya di lahan politik tanah air, sehingga dibutuhkan kekuatan yang kuat untuk merubuhkan struktur manipulatif tersebut.
Jalan panjang perjuangan emansipasi dalam politik Indonesia menuntut pengelupasan lapisan-lapisan birokrasi lama. Sistim dan regulasi yang sudah sedemikian diskriminatif harus dikelupas hingga ditemukan inti terdalam yang lebih murni. Tidak hanya secara struktural dan birokratis, usaha mewujudkan keseimbangan kekuasaan perlu diwujudkan melalui edukasi tentang paradigma keadilan. Keadilan perlu terlebih dahulu dikenal secara kognitif dan batiniah, baru setelah itu diwujudkan dalam serangkaian perubahan operasional dalam kelembagaan politik. Di mata politik, kaum perempuan dan laki-laki punya potensi, kelayakan dan kemampuan yang setara, selebihnya adalah soal kontestasi, strategi dan kharisma.
Tentu ada alasan mengapa tanah air kita sering dijuluki ‘Ibu Pertiwi’. Negara kita diingatkan pada keluhuran sosok ibu dan perempuan yang luhur martabatnya dan agung perannya.
[1] Rika Handayani, Perempuan dan Partisipasi Elektoral Dalam Tinjauan Sejarah, BAWASLU (Badan Pengawas Pemilihan Umum) Kota Bogor, edisi 25/04/2023, diakses dari https://bogorkota.bawaslu.go.id/perempuan-dan-partisipasi-politik-elektoral-dalam-tinjauan-sejarah/.
[2] Ibid.
[3] Zumrotun Nazia, ‘Memperhatikan Keterwakilan Perempuan 30% di KPU dan Bawaslu’, Rumah Pemilu.org: Indonesia Election Portal, edisi 4/02/2022, diakses dari https://rumahpemilu.org/memperhatikan-keterwakilan-perempuan-30-di-kpu-dan-bawaslu/.
[4] Ibid.
[5] United Nations (UN), Women’s Full and Efffective Participation and Decision-Making in Public Life, As Well As the Elimination of Violence for Achieving Gender Equality and the Empowerment of All Women and Girls: Report of the Secretary-General, diakses dari https://undocs.org/E/CN.6/2021/3.
[6] Subono N.I., Perempuan dan Partisipasi Politik (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2013), hlm. 21.
[7] Alfian Rokmansyah, Pengantar Gender dan Feminisme: Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme (Yogyakarta: Garuda Wacana, 2016), hlm. 10-11.
[8] Ibid.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Mimpi Transisi Energi: antara Perlawanan Sipil Poco Leok dan Kuasa Geothermal
Selasa, 13 Mei 2025 11:51 WIB
Menantang Politik Ultra-Maskulin!
Kamis, 6 Februari 2025 15:19 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler