Mimpi Transisi Energi: antara Perlawanan Sipil Poco Leok dan Kuasa Geothermal
Selasa, 13 Mei 2025 11:51 WIBAtas nama pembangunan berkelanjutan, proyek geothermal justru mengancam hidup masyarakat adat Poco Leok. Saatnya mereka melawan.
***
Dunia sedang beralih pada sumber energi terbarukan. Tuntutan untuk memanfaatkan sumber-sumber energi yang lebih ramah lingkungan membentuk sebagian besar agenda-agenda internasional.
Secara konvensional, bahan bakar fosil, batu bara, minyak bumi dan gas alam mendominasi opsi sumber-sumber energi tersebut dan berkontribusi pada perubahan cuaca global (climate change). United Nations: Climate Change tegas memaparkan keterkaitan antara sumber energi konvensional dengan katalis kerusakan atmosfer yakni melalui sumbangannya terhadap produksi emisi gas rumah kaca dan karbon dioksida, “accounting for over 75 percent of global greenhouse gas emissions and nearly 90 percent of all carbon dioxide emissions”.[1] Untuk alasan ini, peralihan menuju sumber energi yang lebih ramah bukan sekedar sebuah alternatif, melainkan merupakan sebuah tuntutan etis-politis.
Kebutuhan atas energi terbarukan menjadi agenda strategis di Indonesia. Namun, visi pembangunan berkelanjutan ini bukan bebas dari kontroversi dan ironi. Strategi ini justru memakan banyak korban. Masyarakat lokal dan seluruh kearifannya tersingkir dan tercabut dari ikatan-ikatan kultur dan lingkungannya sendiri.
Di balik klaim pembangunan, eksploitasi dan industri ekstraktif mendapatkan izin bebas untuk membungkam suara tangisan rakyat kecil di kampung-kampung. Mimpi pembangunan berakhir sebagai harapan palsu bagi masyarakat Poco Leok. Masyarakat menjelma subjek protagonis yang selalu kalah karena murni dan polos sedangkan tambang geothermal menjelma sosok antagonis yang selalu menang dengan kekerasan, manipulasi dan kapitalisasi.
Proyek geothermal berdiri tegak di tanah Poco Leok. Dengan iming-iming sumber energi bagi pembangkit listrik, proyek ini justru menciptakan banyak dilema di kalangan penduduk setempat. Pasca ditetapkan sebagai wilayah proyek geothermal, masyarakat setempat berjubelan menyatakan penolakan (Rahmi & Putra, 2020). Konflik yang lebih luas dan rumit timbul saat proyek tersebut sepenuhnya merugikan warga dan lingkungan sekitar dengan dampak kerugian yang jauh lebih tinggi di bandingkan efek positifnya.
Sejak diterbitkannya Surat Keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/14/2022 pada 1 Desember 2022 situasi warga desa di sekitar lokasi penetapan proyek geothermal berubah penuh pergolakan. Atmosfer kampung yang dulunya damai, asri dan rukun kini menjelma sebuah panggung gegap gempita di mana warga sibuk berdemo menentang kekuatan-kekuatan tak terlihat. Isi protes warga menyoroti tranparansi pengelolaan proyek dan kerugian lingkungan. Masyarakat merasa tidak dilibatkan dalam studi kelayakan, analisis dampak lingkungan dan negosiasi atas kompensasi.
Selain itu, secara lebih luas, proyek ini juga berimbas pada pencabutan aspek-aspek kultural dan sosial yang sudah lama dihidupi oleh masyarakat Poco Leok di sekitar titik geothermal. Dengan demikian, transisi menuju sumber energi terbarukan hanya sebuah mimpi bagi penguasa dan korporat serentak trauma bagi warga Poco Leok.
Perlawanan Sipil dan Kuasa Korporasi
Masyarakat Poco Leok sepakat mengadakan perlawanan sipil terhadap proyek strategis pemerintah. Perlawanan ini adalah representasi kecil dari kilasan sejarah global pertarungan antara kepentingan masyarakat pribumi dengan kekuatan-kekuatan korporasi pertambangan. Ketidakadilan yang timbul atas nama pembangunan membangkitkan gerakan-gerakan sipil akar rumput untuk membelot dan mengajukan kekuatan resistensi. Berbagai upaya perlawanan telah dilakukan oleh masyarakat Poco Leok, mulai dari demonstrasi, penghadangan hingga advokasi hukum. Perlawanan ini tidak hanya ditujukan untuk pemerintah pusat dan daerah, melainkan pula kekuatan-kekuatan asing yang turut nimbrung sebagai kapitalis di balik meja.
Kebijakan Pembangunan strategis proyek geothermal di Poco Leok mendapat pasokan dana dari Jerman. Dalam kerjasama dengan pemerintah pusat dan daerah, lembaga Bank Pembangunan Jerman, Kreditanstalt fϋr Wiederaufbau (KwF), bersedia mengucurkan dana untuk proyek tersebut. Pendanaan terhadap proyek yang berpotensi melukai hak-hak asasi masyarakat adat ini ditanggapi dengan penerbitan surat penolakan oleh warga setempat pada 2 Agustus 2023.[2] (Tim Floresa, 20 Agustus 2023). Sejak itu, dimulailah tarik ulur antara eksekusi program dan resistensi warga.
Banyak korporasi transnasional yang telah terjerat kasus yang merugikan masyarakat lokal atau pribumi di berbagai belahan dunia. Relasi antara korporasi dan masyarakat lokal selalu merupakan hubungan yang saling meniadakan. Polaritas kepentingan memisahkan dua pola berada, yang satu menguasai, yang satunya melawan.
Di Poco Leok, kaum Perempuan turut terlibat dalam aksi-aksi demonstrasi menolak proyek strategis geothermal. Mereka menggelar aksi-aksi protes untuk menghadang rombongan pemerintah daerah dan pihak PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN). Penghadangan pertama terjadi pada 8 Februari 2023, dan kini terus berlanjut hingga sekarang. Bahkan mereka, turut bergabung dalam aksi demo di depan kantor bupati Manggarai Meskipun kerap mengalami perlakuan kekerasan fisik dan psikologis hingga pelecehan seksual, kaum perempuan ini tetap teguh menyuarakan penolakannya terhadap eksploitas berbalut program strategis pemerintah (Susabun, 2023).
Dalam sejarah, pertautan antara korporasi dengan kekuatan sipil menegaskan ketidaksesuaian antara pola pembangunan modern dengan lanskap pemaknaan sosial atas keberlanjutan alam.
Perusahaan Occidental Petroleum menghadapi tuntutan hukum dari masyarakat adat di Ekuador atas tuduhan pencemaran lingkungan yang menyebabkan kerusakan kesehatan dan mata pencaharian (Maynas v. Occidental Petroleum, 2024). Beberapa perusahaan pertambangan Kanada yang tergabung dalam Canadian Mining Companies (CMC) telah dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan di Guatemala (Imai, 2007). Perusahaan Chevron menghadapi masalah terkait pencemaran lingkungan di Ekuador, dengan tuduhan bahwa operasi perusahaan tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan dan merugikan masyarakat lokal.
Selain merusak alam, alasan prosedural korporasi juga mendorong masyarakat lokal resisten. Di Ekuador, perusahaan Copper Mesa tidak saja mengancam keanekaragaman hayati di lingkungannya, melainkan juga cara mereka mengintimiasi dan menggunakan kekerasan terhadap masyarakat adat menginisiasi gerakan perlawanan dari bawah (Copper Mesa vs Ecuador, 2022).
Selain contoh-contoh di atas, ada banyak kasus lain di mana korporasi transnasional dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan perusakan lingkungan yang merugikan masyarakat lokal atau pribumi. Kasus-kasus ini seringkali melibatkan industri ekstraktif, seperti pertambangan, minyak dan gas, serta perkebunan (Kleinfeld, 2016). Masyarakat adat seringkali sangat rentan terhadap dampak negatif dari aktivitas korporasi, karena mereka memiliki ketergantungan yang kuat pada tanah dan sumber daya alam untuk keberlangsungan hidup mereka (Sánchez, 2019).
Landasan Filosofis Perlawanan
Perlawanan masyarakat sipil terhadap perusakan tanah oleh korporasi berakar pada beberapa prinsip filosofis mendasar. Pertama, adalah gagasan tentang keadilan distributif, yang menekankan bahwa sumber daya alam, termasuk tanah, harus didistribusikan secara adil di antara semua anggota masyarakat. Ketika korporasi mengakuisisi tanah secara tidak adil atau merusak lingkungan demi keuntungan pribadi, mereka melanggar prinsip keadilan distributif ini.
Kedua, adalah konsep hak asasi manusia, termasuk hak atas lingkungan yang sehat dan hak atas mata pencaharian. Gagasan dasar tentang kesamaan hak bagi setiap individu tercetus secara jelas dalam gagasan keadilan John Rawls yang dirangkum dalam frasa terkenalnya “the greatest equal principle’ (Rawls, 1971). Menurutnya, setiap individu memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan dasar orang lain. Kebebasan siapa pun untuk mengolah dan mengusahakan lingkungan tentu harus diimbangi dengan kebebasan masyarakat setempat untuk eksis dan meperjuangkan identitas kulturalnya. Kebebasan satu pihak dibatasi oleh kebebasan pihak lain agar tidak terjadi ketimpangan wewenang
Perusakan tanah oleh korporasi seringkali mengabaikan tuntutan kebebasan masyarakat pribumi. Proyek pertambangan mengancam hak-hak ini, terutama bagi masyarakat adat dan petani yang bergantung pada tanah untuk keberlangsungan hidup mereka. Dalam kasus seperti gerakan Samin melawan pendirian pabrik semen, perlawanan muncul sebagai upaya untuk mempertahankan identitas dan mata pencaharian mereka (Septiani & Asrawijaya, 2023), dengan kata lain, perjuangan menuntut hak-hak dasar.
Ketiga, adalah gagasan tentang tanggung jawab korporasi. Meskipun korporasi memiliki kewajiban untuk menghasilkan keuntungan bagi pemegang kapital, mereka juga memiliki tanggung jawab sosial dan lingkungan terhadap masyarakat tempat mereka beroperasi. Tanggung jawab ini mencakup menghormati hak-hak masyarakat lokal, melindungi lingkungan, dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.
Kuasa Korporasi dan Tantangan Perlawanan
Perlawanan masyarakat sipil terhadap korporasi seringkali menghadapi tantangan yang berat. Korporasi memiliki sumber daya finansial dan politik yang besar, yang dapat mereka gunakan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, memanipulasi opini publik, dan menekan gerakan perlawanan. Selain itu, hukum dan regulasi seringkali tidak memadai untuk melindungi hak-hak masyarakat lokal dan lingkungan dari praktik korporasi yang merusak (Villiers, 2023).
Dalam kasus Poco Leok, tindakan penghadangan pihak PT PLN yang hendak pergi menuju titik proyek oleh masyarakat setempat terancam ditindak secara hukum. Polres Manggarai memanggil lima warga setempat untuk dimintai keterangan di kantor Polres dengan balutan label ‘undangan wawancara klarifikasi’ (Tim Floresa, 2023). Aksi yang disinyalir menegaskan tekanan oleh aparat sipil ini tidak menggentarkan gelombang gerakan perlawanan masyarakat adat Poco Leok.
Namun, di tengah kesulitan-kesulitan ini, masyarakat sipil telah menunjukkan ketahanan dan kreativitas dalam melawan kuasa korporasi. Mereka menggunakan berbagai strategi, termasuk demonstrasi, boikot, kampanye media, dan litigasi, untuk menuntut pertanggungjawaban korporasi dan melindungi hak-hak mereka (Sadler, 2004). Dalam beberapa kasus, mereka telah berhasil memaksa korporasi untuk mengubah praktik mereka atau bahkan membatalkan proyek-proyek yang merusak (Rahmi & Putra, 2020).
Menuju Keadilan Ekologis dan Sosial
Perlawanan masyarakat sipil terhadap perusakan tanah oleh korporasi adalah bagian dari perjuangan yang lebih luas untuk keadilan ekologis dan sosial. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan perubahan mendasar dalam cara kita memandang hubungan antara manusia, alam, dan ekonomi. Kita perlu mengembangkan model pembangunan yang berkelanjutan, inklusif, dan adil, yang menghormati hak-hak semua orang dan melindungi lingkungan untuk generasi mendatang.
Konsep pembangunan berkelanjutan dan korporasi mempunyai kemungkinan pertalian yang erat melalui regulasi tanggung jawab sosial (Corporation Social Responsibility). Hubungan ini bukan sebuah mimpi kosong. Korporasi mampu mengejar kepentingan kolektif internalnya serentak memastikan kesejahteraan masyarakat secara lebih holistik. Dengan regulasi CSR yang jelas, korporasi membangun atmosfer yang kondusif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar; “enterprises develop harmoniously with society and the environment to achieve a win-win situation for the economy, society and ecology” (Yao, 2023:16). Selain kepentingan kapital, korporasi perlu memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan (Porter & Kramer, 2007). Tanggung jawab sosial merupakan tuntutan etis perusahaan atau korporasi untuk memastikan bahwa kepentingan kolektifnya sejalan dengan hak-hak dan kebutuhan sosial masyarakat luas.
Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) terwujud melalui komitmen suatu korporasi pada kemaslahatan orang banyak, “by advocating enterprises to actively undertake social responsibilities, sustainable development is maintained” (Yao, 2023:16). Advokasi tentang kewajiban sosial suatu korporasi perlu dilihat secara serius sebab pengabaian terhadapnya seringkali memunculkan ekses destruktif yang mencapai kerugian tak terbatas bagi publik.
Dalam konteks Poco Leok, pengalaman proyek geothermal di Ulumbu layak dijadikan tanda waswas. Dilansir dalam dokumen laporan Derita Rakyat dan Lingkungan di Balik PLTP Ulumbu, Ernest L Teredi dan kawan-kawan memotret dampak-dampak lingkungan di sekitar wilayah proyek: menurunnya produktivitas komidit pertanian (kopi, cengkeh dan kakao), pencemaran sumber air, bencana, gangguan kesehatan hingga potensi longsor. Timbunan masalah lingkungan ini belum mendapatkan kompensasi.[3] Sebelum kerugian yang sama terjadi di Poco Leok, perlawanan sipil perlu tetap diperjuangkan.
Perlawanan masyarakat sipil terhadap kekuatan korporasi yang merusak tanah mereka adalah manifestasi dari perjuangan abadi untuk keadilan, hak asasi manusia, dan tanggung jawab. Dengan memahami akar filosofis dari perlawanan ini dan tantangan yang dihadapinya, kita dapat mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk melindungi tanah, masyarakat, dan lingkungan dari praktik korporasi yang merusak. Perlawanan ini bukan hanya tentang melindungi sumber daya alam, tetapi juga tentang menegakkan martabat manusia dan membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi semua.
Keadilan dalam kasus Poco Leok bukan hanya soal kompensasi finansial, tetapi juga pengakuan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam. Pemerintah dan perusahaan harus menghormati hak masyarakat untuk menentukan nasib mereka sendiri dan berpartisipasi aktif dalam setiap tahap proyek pembangunan.
Transisi energi seharusnya tidak mengorbankan keadilan sosial dan lingkungan. Pengembangan energi panas bumi harus dilakukan secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap masyarakat lokal dan lingkungan. Pemerintah harus memastikan bahwa proyek-proyek energi bersih memberikan manfaat yang adil bagi semua pihak, bukan hanya segelintir investor dan penguasa.
[1] United Nations Climate Action, “Renewable Energy; Powering a Safer Future”, diakses pada 6 Mei 2025, melalui https://www.un.org/en/climatechange/raising-ambition/renewable-energy.
[2] Tim Floresa, “Respons Surat Bank KwF, Warga Poco Leok Tetap Tegaskan Tolak Proyek Geothermal”, Floresa, 20 Agustus 2023, diakses pada 6 Mei 2025 melalui https://floresa.co/reportase/peristiwa/55847/2023/ 08/20/respons-surat-bank-kwf-warga-poco-leok-tetap-tegaskan-tolak-proyek-geothermal.
[3] Ernest L. Teredi, Agustinus Sukarno dan Marselinus Joni Jaya, Catatan Lapangan: Derita Rakyat dan Lingkungan di Balik PLTP Ulumbu, 2022, diakses pada Mei 2025 melalui https://jatam.org/wp-content/uploads/2022/09 /Catatan-Lapangan-PLTP-ULUMBU-Final.pdf.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Mimpi Transisi Energi: antara Perlawanan Sipil Poco Leok dan Kuasa Geothermal
Selasa, 13 Mei 2025 11:51 WIB
Menantang Politik Ultra-Maskulin!
Kamis, 6 Februari 2025 15:19 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler