Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-isu strategis
Pelantikan Serentak, Demokrasi Sekarat?
Senin, 24 Februari 2025 07:27 WIB
Opini kritis soal pelantikan serentak kepala daerah era Prabowo, mengupas dampaknya terhadap demokrasi partisipatif dan otonomi daerah.
“Padi menguning di ujung senja,
Hati bergetar menatap mega.
Demokrasi katanya milik kita,
Namun mengapa terasa hampa?”
Pelantikan serentak kepala daerah di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto menggelitik nurani demokrasi kita. Di satu sisi, kebijakan ini dipoles sebagai langkah efisiensi birokrasi dan penghematan anggaran. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa ini adalah langkah mundur yang merenggut esensi demokrasi partisipatif. Apakah pelantikan serentak ini benar-benar untuk rakyat? Atau hanya ilusi efisiensi yang perlahan mengikis suara publik?
Efisiensi atau Erosi Demokrasi?
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menegaskan bahwa pelantikan serentak adalah bentuk efisiensi anggaran dan sinkronisasi masa jabatan (Kompas, 15 Januari 2025). Menteri Tito Karnavian menyebut langkah ini akan mengurangi pembengkakan biaya Pilkada yang selama ini menjadi beban berat anggaran negara.
Namun, logika efisiensi ini menuai kritik tajam. Guru Besar dalam bidang Ilmu Politik dari Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. A.E. Priyono, dalam bukunya Demokrasi Lokal: Mimpi dan Realita (2019), memperingatkan bahwa mengorbankan substansi demokrasi demi penghematan anggaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap prinsip partisipasi publik. Demokrasi bukan sekadar angka dalam neraca keuangan, melainkan wadah bagi suara rakyat untuk hidup dan berkembang.
Di Amerika Serikat, misalnya, pemilihan kepala daerah tidak pernah diseragamkan secara nasional. Setiap negara bagian memiliki otonomi penuh dalam mengatur jadwal pemilihan lokalnya, memastikan proses demokrasi tetap relevan dengan konteks masyarakat setempat. Begitu pula di Jerman, sistem federal memberikan kebebasan bagi daerah untuk menentukan waktu pemilihan kepala daerahnya, menjaga kedekatan pemimpin dengan rakyatnya. Indonesia seharusnya belajar dari sistem ini, bukan malah menyeragamkan proses yang sejatinya harus inklusif.
Mengabaikan Konteks Lokal
Indonesia bukanlah negara homogen. Setiap daerah memiliki kultur politik dan sosial yang unik. Pelantikan serentak berisiko mengubah pesta demokrasi menjadi ritual kosong tanpa makna substantif.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam studi tahun 2022 mengungkapkan bahwa 65% pemilih merasa kurang terinformasi saat Pilkada serentak 2020. Dampaknya nyata: partisipasi menurun dan angka golput melonjak hingga 23,7% (LIPI, 2022). Pemilihan yang harusnya menjadi momentum perayaan demokrasi berubah menjadi sekadar kewajiban administratif.
Selain itu, laporan Human Rights Watch (2023) mencatat bahwa Pilkada serentak 2020 di beberapa daerah rawan konflik justru meningkatkan ketegangan sosial. Pemaksaan jadwal serentak tanpa mempertimbangkan kesiapan lokal menciptakan bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Bahaya Polarisasi Politik
Pelantikan serentak membuka ruang lebar bagi polarisasi politik. Dengan jadwal pemilihan yang sama di seluruh daerah, kontestasi berubah menjadi perang kekuatan antar-elit yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kesejahteraan rakyat.
Dr. Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Politik Uang dan Clientelisme di Indonesia (2018) menegaskan bahwa sistem pemilu serentak memperbesar peluang politik transaksional. Potensi politik uang, jual beli jabatan, dan campur tangan oligarki semakin subur ketika kekuasaan diperebutkan dalam satu momentum nasional.
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat bahwa 41% kepala daerah terpilih dalam Pilkada serentak 2020 terindikasi menggunakan praktik politik uang (KPPOD, 2021). Fenomena ini menunjukkan bahwa pelantikan serentak tidak hanya memudahkan birokrasi, tapi juga memberi ruang bagi aktor-aktor politik untuk memperkuat cengkeramannya melalui cara-cara kotor.
Otonomi Daerah di Ujung Tanduk
Otonomi daerah seharusnya menjadi benteng demokrasi lokal. Namun, pelantikan serentak perlahan-lahan meruntuhkan benteng ini.
Profesor Ryaas Rasyid, arsitek otonomi daerah Indonesia, Ryaas Rasyid juga menyoroti risiko kehilangan makna otonomi jika pemerintah pusat terlalu mendominasi proses politik lokal: “Pemimpin daerah harus diberi kekuasaan besar agar persoalan di daerah selesai di daerah dan tidak menjadi masalah nasional.” Tempo (2005)
Celakanya, sistem pelantikan serentak menciptakan kekosongan kekuasaan di beberapa daerah karena masa jabatan kepala daerah habis sebelum jadwal pelantikan nasional. Untuk mengisi kekosongan ini, pemerintah menunjuk Penjabat (Pj) kepala daerah. Sayangnya, banyak Pj yang ditunjuk memiliki afiliasi politik kuat dengan elit di pusat, bukan karena kapabilitasnya.
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat 52 kasus penyalahgunaan wewenang oleh Pj kepala daerah selama 2021-2023, mulai dari pengadaan proyek fiktif hingga korupsi anggaran daerah (ICW, 2023). Fenomena ini mengindikasikan bahwa sistem pelantikan serentak membuka celah bagi praktik koruptif dan memperlemah akuntabilitas di tingkat lokal.
Asa dan Solusi di Tengah Keterpurukan
Kritik terhadap pelantikan serentak bukan berarti menolak inovasi dalam sistem demokrasi. Namun, setiap kebijakan harus mengedepankan partisipasi publik dan konteks lokal.
Pengamat kebijakan publik, Prof. Dr. Eko Prasodjo, dalam buku “Demokrasi dan Kebijakan Publik” (2020) menyarankan bahwa sistem pelantikan kepala daerah harus memprioritaskan transparansi dan akuntabilitas. Ia menegaskan bahwa “Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilihan dan pelantikan, melainkan membangun keterhubungan yang erat antara pemimpin dan rakyatnya.”
Sebagai solusi, pemerintah bisa mempertimbangkan model pelantikan bertahap, seperti yang diterapkan di beberapa negara demokrasi maju. Sistem ini memungkinkan daerah untuk melaksanakan pemilihan berdasarkan kesiapan sosial-politik masing-masing, tanpa harus tunduk pada jadwal nasional yang seragam.
Selain itu, edukasi politik masyarakat harus menjadi prioritas. Pemilih yang cerdas akan memperkecil ruang bagi politik transaksional dan memperkuat kualitas demokrasi. Program pendidikan pemilih berbasis komunitas bisa menjadi langkah awal untuk membangun kesadaran politik yang lebih sehat di masyarakat.
Demokrasi di Persimpangan
Pelantikan serentak kepala daerah menjadi paradoks demokrasi Indonesia. Di satu sisi, ia menawarkan efisiensi birokrasi, tapi di sisi lain, mengikis esensi demokrasi partisipatif.
Apakah demokrasi kita benar-benar sekarat? Atau ini hanya fase pendewasaan sistem politik? Jawabannya terletak pada sejauh mana pemerintah bersedia mendengar suara rakyat, bukan sekadar menghitung efisiensi anggaran.
“Mentari redup di balik awan,
Demokrasi pun bagai bayangan.
Jika suara rakyat tak lagi didengar,
Maka negeri ini hanyalah panggung sandiwara.”
Jika demokrasi terus dipinggirkan atas nama efisiensi, jangan heran jika kelak yang tersisa hanyalah kerangka kosong indah di luar, tapi rapuh di dalam. Karena demokrasi sejati hidup dalam suara rakyat, bukan dalam catatan anggaran pemerintah.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Pelantikan Serentak, Demokrasi Sekarat?
Senin, 24 Februari 2025 07:27 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler