Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Estetika Hukum dan Penceritaan Hukum: Telaah Pemikiran Thomas Hobbes
Selasa, 4 Maret 2025 17:49 WIB
Estetika hukum merupakan pendekatan interdisipliner yang menjembatani dunia hukum positif dengan dimensi artistik dan naratif,
Estetika hukum merupakan pendekatan interdisipliner yang menjembatani dunia hukum positif dengan dimensi artistik dan naratif, menciptakan paradigma baru dalam memahami kompleksitas sistem hukum. Menurut Peter Goodrich, estetika hukum mengeksplorasi bagaimana persepsi indrawi dan pengalaman estetis mempengaruhi interpretasi dan praktik hukum, sehingga membuka wawasan baru tentang bagaimana keadilan tidak hanya dipraktikkan tetapi juga dirasakan melalui narasi, metafora, dan simbolisme (Goodrich, 1995). Pendekatan narasi dalam hukum atau yang sering disebut "leghwitan" – istilah yang menggabungkan konsep 'legal' dan 'storytelling' – menunjukkan bagaimana cerita menjadi medium krusial dalam transmisi nilai-nilai hukum dan konstruksi makna keadilan dalam masyarakat.
Tradisi penceritaan hukum memiliki akar historis yang dalam, seperti yang dikemukakan Richard Posner bahwa "hukum secara inheren bersifat naratif; ia senantiasa bercerita tentang konflik manusia dan resolusinya melalui penggunaan kekuasaan publik" (Posner, 2009). Penceritaan hukum ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana retorika, tetapi juga sebagai instrumen untuk membangun legitimasi dan kepatuhan publik terhadap sistem hukum. James Boyd White menegaskan bahwa hukum pada dasarnya adalah aktivitas budaya yang melibatkan "penciptaan makna" melalui bahasa dan narasi, yang membentuk kesadaran kolektif tentang apa yang dianggap adil dan patut (White, 1985).
Dalam konteks ini, pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) menawarkan contoh paradigmatik tentang bagaimana narasi dapat digunakan untuk melegitimasi struktur hukum. Karya monumental Hobbes, "Leviathan" (1651), menggunakan metafora monster laut alkitabiah untuk melukiskan negara sebagai entitas yang maha kuasa sekaligus protektif. S.A. Lloyd berargumen bahwa "metafora Leviathan dari Hobbes berfungsi tidak hanya sebagai ornamen retorikal, tetapi sebagai perangkat kognitif yang memungkinkan pembaca memahami hubungan kompleks antara individu dan negara" (Lloyd, 2009). Narasi Hobbes tentang "keadaan alamiah" manusia yang digambarkan sebagai "solitary, poor, nasty, brutish, and short" merupakan konstruksi retoris yang sangat kuat untuk membenarkan pembentukan otoritas hukum yang absolut.
Teori kontrak sosial yang dikembangkan Hobbes, seperti dianalisis oleh Jean Hampton, sebenarnya adalah bentuk "narasi asal usul" (origin story) yang menjelaskan perjalanan hipotetis masyarakat dari kekacauan menuju keteraturan (Hampton, 1986). Narasi ini berfungsi sebagai mitos foundational yang memberikan justifikasi moral bagi keberadaan sistem hukum dan politik yang menekankan ketertiban di atas kebebasan. Quentin Skinner menambahkan bahwa "kekuatan persuasif dari argumentasi Hobbes terletak pada kemampuannya menciptakan narasi yang menakutkan tentang alternatif dari ketiadaan otoritas politik" (Skinner, 2002).
Kontribusi Hobbes terhadap positivisme hukum juga dapat dipahami dalam kerangka estetika hukum. H.L.A. Hart mencatat bahwa konsepsi Hobbes tentang hukum sebagai "perintah dari yang berdaulat" menetapkan fondasi bagi tradisi positivisme yang memisahkan secara tegas antara "hukum sebagaimana adanya" dari "hukum sebagaimana seharusnya" (Hart, 1961). Pemisahan ini menciptakan narasi tentang objektivitas hukum yang mendukung legitimasi sistem hukum modern. Francois Ost berpendapat bahwa pendekatan Hobbes dapat dipandang sebagai "narasi tentang rasionalitas" yang mendorong transisi dari konsepsi hukum yang teokratis menuju pandangan yang lebih sekular dan ilmiah (Ost, 2004).
Estetika dalam pemikiran hukum Hobbes juga tercermin dalam penggunaan bahasa dan retorika yang kuat. David Johnston menganalisis bagaimana "prosa Hobbes yang terukur dan argumentatif menciptakan kesan ketidakberubahan dan kepastian yang menjadi karakteristik ideal dari sistem hukum" (Johnston, 1986). Gaya penceritaan Hobbes ini menjadi model bagi retorika hukum modern yang menekankan obyektivitas, prediktabilitas, dan kepastian sebagai nilai-nilai estetis yang mendukung legitimasi sistem hukum.
Dalam perspektif kontemporer, Adam Gearey melihat bagaimana pencitraan hukum (legal imagery) yang digunakan Hobbes tetap mempengaruhi cara kita membayangkan hubungan antara hukum, keadilan, dan otoritas (Gearey, 2001). Narasi Hobbesian tentang perlindungan melalui penundukan terus bergema dalam diskursus keamanan nasional dan kebijakan anti-terorisme kontemporer. Costas Douzinas berargumen bahwa "estetika ketakutan yang digunakan Hobbes untuk membenarkan Leviathan memiliki resonansi yang kuat dengan retorika kontemporer tentang 'perang melawan teror' dan pengurangan kebebasan sipil demi keamanan" (Douzinas, 2007).
Studi tentang estetika hukum dan pemikiran Hobbes membuka perspektif baru dalam memahami bagaimana hukum tidak hanya beroperasi melalui paksaan dan aturan formal, tetapi juga melalui konstruksi naratif yang mempengaruhi imajinasi kolektif tentang keadilan dan ketertiban. Sebagaimana ditegaskan Desmond Manderson, "pemahaman tentang dimensi estetika hukum memungkinkan kita melihat bagaimana hukum bekerja tidak hanya melalui logika dan rasionalitas, tetapi juga melalui emosi, imajinasi, dan pengalaman indrawi" (Manderson, 2000). Pendekatan ini menawarkan wawasan berharga tentang bagaimana leghwitan atau narasi hukum dapat digunakan untuk membentuk persepsi publik tentang legitimasi hukum dan memperkuat atau menantang struktur kekuasaan yang ada.
Estetika Hukum: Penceritaan Hukum Melalui Seni Bercerita
Konsep estetika hukum dan penceritaan hukum (leghwitan) yang Anda sebutkan merupakan pendekatan menarik yang menghubungkan dunia hukum dengan seni bercerita. Ini menciptakan jembatan antara aspek formal hukum dengan dimensi manusiawi melalui narasi.
Estetika Hukum
Estetika hukum mengkaji bagaimana hukum dapat dipahami, diterapkan, dan dikomunikasikan melalui elemen-elemen estetika seperti narasi, metafora, dan simbolisme. Pendekatan ini melihat hukum bukan hanya sebagai sistem aturan kaku, melainkan juga sebagai konstruksi budaya yang memiliki dimensi artistik.
Leghwitan: Etika Hukum dan Pencitraan Hukum
Leghwitan (dari legal storytelling) menekankan pentingnya narasi dalam memahami dan mentransmisikan nilai-nilai hukum. Pendekatan ini mengakui bahwa:
- Hukum sering disampaikan melalui cerita dan kasus
- Narasi dapat membuat konsep hukum lebih mudah dipahami
- Pencitraan hukum melalui cerita mempengaruhi persepsi publik tentang keadilan
Pemikiran Thomas Hobbes dalam Bidang Hukum
Thomas Hobbes (1588-1679) memberikan kontribusi signifikan pada teori hukum yang dapat dihubungkan dengan konsep estetika hukum :
-
Keadaan Alamiah dan Narasi Fundamental: Hobbes menciptakan narasi kuat tentang "keadaan alamiah" manusia yang menurutnya "solitary, poor, nasty, brutish, and short" untuk menjustifikasi kebutuhan akan sistem hukum dan otoritas yang kuat.
-
Leviathan sebagai Metafora: Karya utamanya "Leviathan" menggunakan metafora kuat dari monster laut alkitabiah untuk menggambarkan negara dan otoritas hukum.
-
Kontrak Sosial: Teori kontrak sosial Hobbes adalah bentuk narasi tentang bagaimana masyarakat beralih dari kekacauan ke keteraturan melalui penyerahan kebebasan tertentu kepada otoritas berdaulat.
-
Positivisme Hukum: Pandangan Hobbes bahwa hukum adalah perintah dari yang berdaulat, menekankan hubungan antara kekuasaan, legitimasi, dan narasi hukum.
-
Fungsi Retorik Hukum: Hobbes memahami kekuatan retorika dalam hukum, bagaimana narasi dan pencitraan dapat digunakan untuk menegakkan kepatuhan.
Dalam konteks estetika hukum, pemikiran Hobbes menunjukkan bagaimana narasi kuat (manusia dalam keadaan alamiah) dapat digunakan untuk melegitimasi sistem hukum dan ketatanegaraan tertentu. Pendekatan naratif Hobbes membantu audiens memahami konsep-konsep kompleks seperti kedaulatan, kewajiban politik, dan dasar rasional dari sistem hukum.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler