Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.

Kekuasaan Sebagai Sumber Hukum: Analisis Pemikiran Thomas Hobbes

Selasa, 4 Maret 2025 17:50 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Thomas Hobbes
Iklan

Dalam sejarah filsafat politik, Thomas Hobbes (1588-1679) menduduki posisi sentral sebagai teoretikus yang secara radikal mengubah pemahaman

Dalam sejarah filsafat politik, Thomas Hobbes (1588-1679) menduduki posisi sentral sebagai teoretikus yang secara radikal mengubah pemahaman tentang relasi antara kekuasaan dan hukum. Melalui karyanya yang monumental, Leviathan (1651), Hobbes mengemukakan pandangan bahwa kekuasaan berdaulat merupakan sumber utama dan legitimasi hukum. Artikel ini menganalisis konsepsi Hobbes tentang kekuasaan sebagai sumber hukum, posisi yang menjadi fondasi bagi tradisi positivisme hukum modern dan memberikan pengaruh mendalam pada perkembangan teori negara hingga saat ini.

Latar Belakang Pemikiran Hobbes

Pemikiran Hobbes tidak dapat dipisahkan dari konteks historis Inggris abad ke-17 yang diwarnai perang saudara dan ketidakstabilan politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Quentin Skinner, "pengalaman kehidupan Hobbes yang menyaksikan kekacauan Perang Saudara Inggris membentuk pandangannya tentang kebutuhan akan otoritas politik yang kuat dan terpusat" (Skinner, 1996). Trauma kolektif dari konflik berdarah ini memotivasi pencarian Hobbes akan dasar filosofis bagi ketertiban sosial dan politik yang stabil.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Richard Tuck menegaskan bahwa "konteks intelektual yang membentuk pemikiran Hobbes juga mencakup perkembangan sains modern, terutama fisika mekanistik, yang menanamkan dalam dirinya keyakinan bahwa semua fenomena, termasuk fenomena sosial dan politik, dapat dijelaskan melalui prinsip-prinsip materialistik dan mekanistik" (Tuck, 1989). Pendekatan materialistik ini mengarahkan Hobbes untuk mencari penjelasan tentang hukum dan politik yang berbasis pada kekuatan dan hubungan sebab-akibat alih-alih prinsip-prinsip metafisik atau teologis.

Keadaan Alamiah dan Genesis Kekuasaan Politik

Teori Hobbes tentang relasi kekuasaan dan hukum dimulai dengan analisisnya tentang "keadaan alamiah" - kondisi hipotetis manusia tanpa pemerintahan atau otoritas politik. Dalam keadaan ini, menurut Hobbes, "hak alam... adalah kebebasan yang dimiliki setiap orang untuk menggunakan kekuatannya sendiri, sebagaimana ia kehendaki, untuk pelestarian... hidupnya sendiri" (Hobbes, 1651/1996). Akibatnya, manusia berada dalam kondisi "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes) yang membuat kehidupan menjadi "solitary, poor, nasty, brutish, and short."

Jean Hampton dalam analisnya menjelaskan bahwa "keadaan alamiah Hobbes adalah konstruksi teoretis yang dirancang bukan sebagai deskripsi historis, melainkan sebagai perangkat heuristik untuk mendemonstrasikan konsekuensi logis dari ketiadaan otoritas politik" (Hampton, 1986). Melalui konstruksi ini, Hobbes meletakkan dasar argumen bahwa kekuasaan politik dan hukum yang mengikutinya merupakan kreasi artifisial yang diperlukan untuk mengatasi cacat fundamental kondisi alamiah manusia.

Kontrak Sosial dan Pembentukan Kekuasaan Berdaulat

Untuk keluar dari keadaan alamiah, manusia menurut Hobbes membentuk kontrak sosial - suatu kesepakatan kolektif untuk menyerahkan hak-hak alamiah mereka kepada entitas berdaulat yang akan menjamin keamanan dan perdamaian. David Gauthier menekankan bahwa "kontrak sosial Hobbes bukan merupakan peristiwa historis aktual, melainkan justifikasi rasional untuk kepatuhan politik" (Gauthier, 1969). Kontrak ini menjadi basis legitimasi kekuasaan berdaulat sebagai sumber hukum.

Signifikansi radikal dari teori kontrak sosial Hobbes terletak pada pemisahan sempurna antara masyarakat pra-politik dan masyarakat politik. Sebagaimana ditegaskan oleh Norberto Bobbio, "Hobbes adalah pemikir pertama yang secara sistematis memisahkan kondisi alamiah dari kondisi sipil, menjadikan hukum sebagai produk murni dari kehendak berdaulat alih-alih refleksi dari tatanan alamiah atau ilahi" (Bobbio, 1993). Pemisahan ini menandai kelahiran konsepsi modern tentang hukum positif.

Kedaulatan Absolut sebagai Condicio Sine Qua Non Hukum

Bagi Hobbes, kedaulatan yang terbagi atau terbatas merupakan kontradiksi dalam istilah. Ia menegaskan bahwa "kekuasaan berdaulat harus diakui oleh semua sebagai tak terbatas... sebab kekuasaan yang terbatas bukanlah kedaulatan" (Hobbes, 1651/1996). Implikasi langsungnya adalah bahwa hukum sepenuhnya merupakan ekspresi kehendak berdaulat, suatu pandangan yang kemudian menjadi fondasi positivisme hukum.

Deborah Baumgold menyoroti bahwa "absolutisme Hobbes bukanlah pembenaran bagi tirani sewenang-wenang, melainkan pengakuan logis terhadap kebutuhan akan otoritas tunggal dan final dalam pembuatan dan penegakan hukum" (Baumgold, 1988). Tanpa otoritas final semacam ini, konflik interpretasi dan implementasi hukum akan tak terhindarkan, mengembalikan masyarakat pada keadaan alamiah yang kacau.

Hukum sebagai Perintah Berdaulat

Konsepsi Hobbes tentang hukum merupakan bentuk awal dari teori perintah (command theory) yang kemudian dikembangkan oleh John Austin dan tradisi positivisme hukum. Hobbes mendefinisikan hukum sebagai "perintah... dari orang yang keputusannya mewakili kehendak banyak orang" (Hobbes, 1651/1996). Definisi ini menegaskan bahwa validitas hukum bergantung sepenuhnya pada otoritas yang menetapkannya, bukan pada kontennya.

M.M. Goldsmith menggarisbawahi bahwa "dengan mereduksi hukum pada perintah berdaulat, Hobbes menciptakan pemisahan tajam antara 'is' dan 'ought' dalam teori hukum, membebaskan analisis hukum dari pertimbangan moral atau evaluatif" (Goldsmith, 1966). Pemisahan ini menjadi karakteristik mendasar dari positivisme hukum modern, sebagaimana tercermin dalam karya Hans Kelsen dan H.L.A. Hart.

Kekuasaan, Paksaan, dan Efektivitas Hukum

Konsepsi Hobbes tentang relasi kekuasaan dan hukum menekankan peran sentral paksaan dalam memastikan efektivitas hukum. Ia berpendapat bahwa "perjanjian tanpa pedang hanyalah kata-kata belaka, dan sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk menjamin keamanan seseorang" (Hobbes, 1651/1996). Dengan kata lain, hukum tanpa kekuatan pemaksa yang mendukungnya tidak memiliki signifikansi praktis.

Bryan S. Turner menjelaskan bahwa "pandangan Hobbes tentang hubungan intrinsik antara hukum dan paksaan mencerminkan materialisme filosofisnya - hukum beroperasi melalui manipulasi insentif material (hadiah dan hukuman) yang membentuk kalkulasi kepentingan diri individu" (Turner, 1984). Pendekatan instrumental ini menjadikan kekuasaan sebagai prasyarat operasional, bukan hanya sumber formal, dari sistem hukum.

Batasan Internal terhadap Kekuasaan Berdaulat

Meskipun Hobbes dikenal sebagai teoretikus kedaulatan absolut, pemikirannya mengandung batasan internal terhadap kekuasaan berdaulat. Sebagaimana diidentifikasi oleh S.A. Lloyd, "tujuan konstitutif dari commonwealth Hobbesian - keamanan dan perdamaian - menetapkan kriteria evaluatif bagi pelaksanaan kekuasaan berdaulat" (Lloyd, 2009). Penguasa yang gagal menyediakan keamanan bagi warganya kehilangan dasar rasional dari otoritasnya.

Howard Warrender lebih jauh berargumen bahwa "teori kedaulatan Hobbes sebenarnya mengandung elemen teori kewajiban moral yang berakar pada hukum alam, menciptakan batasan moral implisit terhadap kekuasaan berdaulat" (Warrender, 1957). Interpretasi ini menunjukkan kompleksitas pemikiran Hobbes yang sering disederhanakan sebagai absolutisme murni.

Warisan Pemikiran Hobbes dalam Teori Hukum Modern

Warisan utama pemikiran Hobbes tentang kekuasaan sebagai sumber hukum termanifestasi dalam tradisi positivisme hukum. Menurut H.L.A. Hart, "kontribusi fundamental Hobbes adalah pemisahan analitis antara hukum sebagaimana adanya dari hukum sebagaimana seharusnya, menuntut analisis hukum yang bebas dari pertimbangan evaluatif" (Hart, 1961). Pemisahan ini menjadi pilar metodologis positivisme hukum.

David Dyzenhaus, bagaimanapun, menyoroti bahwa "warisan Hobbes tidak sepenuhnya positivistik; teorinya juga mengandung elemen-elemen yang kemudian dikembangkan dalam tradisi interpretivisme hukum, terutama dalam pengakuannya terhadap peran interpretasi dalam operasi sistem hukum" (Dyzenhaus, 2001). Ambivalensi ini mencerminkan kekayaan dan kompleksitas pemikiran Hobbes yang terus menginspirasi berbagai aliran dalam teori hukum modern.

Kritik Kontemporer dan Relevansi Berkelanjutan

Pemikiran Hobbes tentang kekuasaan sebagai sumber hukum telah mendapat kritik dari berbagai perspektif. Jürgen Habermas menolak reduksi Hobbesian hukum pada kekuasaan, berargumen bahwa "legitimasi hukum modern bergantung pada prosedur diskursif yang melibatkan partisipasi demokratis, bukan semata-mata pada paksaan" (Habermas, 1992). Kritik ini mencerminkan komitmen normatif pada ideal demokrasi deliberatif yang asing bagi kerangka Hobbes.

Dari perspektif teori kritis, Michel Foucault mempermasalahkan model kedaulatan Hobbes karena "mengabaikan mikrofisika kekuasaan yang beroperasi melalui praktik dan wacana yang tersebar di seluruh tubuh sosial" (Foucault, 1980). Pemahaman Foucault tentang kekuasaan sebagai jaringan relasi produktif melengkapi konsepsi Hobbes tentang kekuasaan berdaulat yang terpusat.

Meskipun menghadapi kritik substansial, relevasi pemikiran Hobbes tetap bertahan dalam konteks kontemporer. Seperti ditunjukkan oleh Giorgio Agamben, "situasi pengecualian (state of exception) dalam politik kontemporer menyingkap fondasi Hobbesian dari negara modern - hubungan konstitutif antara kekerasan dan hukum" (Agamben, 1998). Analisis ini menunjukkan bahwa meskipun ditolak pada tingkat normatif, premis Hobbes tentang relasi kekuasaan dan hukum tetap memiliki daya eksplanatori yang kuat.

Konsepsi Thomas Hobbes tentang kekuasaan sebagai sumber hukum merupakan momen formatif dalam sejarah pemikiran politik dan hukum. Dengan menetapkan kekuasaan berdaulat sebagai origin dan condicio sine qua non dari hukum, Hobbes memutus hubungan tradisional antara hukum dan tatanan moral atau alamiah yang dianggap objektif. Meskipun berhadapan dengan kritik kontemporer, pemikiran Hobbes terus memberikan wawasan berharga tentang fondasi kekuasaan politik dan hubungannya dengan sistem hukum, menjadikannya salah satu pemikir paling berpengaruh dalam tradisi filsafat politik Barat.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
AW. Al-faiz

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

img-content

Gigi

Sabtu, 26 April 2025 07:43 WIB
img-content

Surat

Kamis, 24 April 2025 20:12 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler