Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Demokrasi Kita: Reformasi Birokrasi
Senin, 17 Maret 2025 14:08 WIB
Demokrasi dan reformasi birokrasi merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik.
Demokrasi dan reformasi birokrasi merupakan dua hal yang saling berkaitan dalam upaya membangun tata kelola pemerintahan yang baik. Reformasi birokrasi menjadi keniscayaan dalam sistem demokrasi karena keduanya memiliki tujuan yang sejalan, yakni memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat. Dalam konteks Indonesia, perjalanan reformasi birokrasi telah menempuh berbagai fase sejak era Reformasi 1998, namun masih menghadapi tantangan yang kompleks hingga saat ini.
Pasca runtuhnya Orde Baru, Indonesia berupaya membangun sistem birokrasi yang lebih responsif, transparan, dan akuntabel. Reformasi birokrasi diarahkan untuk menghilangkan praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah mengakar selama puluhan tahun. Namun, perubahan kultur birokrasi bukanlah perkara mudah, mengingat warisan sistem birokrasi yang hierarkis dan paternalistik masih kuat mempengaruhi pola kerja aparatur negara. Menurut Dwiyanto (2015), reformasi birokrasi di Indonesia masih terjebak pada pendekatan struktural dan prosedural, sementara aspek kultural belum mendapat perhatian yang memadai.
Dalam konteks demokrasi, birokrasi memiliki peran krusial sebagai pelaksana kebijakan publik yang dihasilkan melalui proses politik demokratis. Weber (1978) mengemukakan bahwa birokrasi modern seharusnya bersifat impersonal, rasional, dan berbasis pada keahlian. Hal ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang menekankan pada kesetaraan, keadilan, dan keberpihakan kepada kepentingan publik. Namun demikian, dalam praktiknya, birokrasi seringkali menjadi institusi yang kaku, lamban, dan cenderung melayani kepentingan penguasa daripada rakyat.
Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 yang dicanangkan pemerintah Indonesia menekankan pada delapan area perubahan, yaitu organisasi, tata laksana, peraturan perundang-undangan, sumber daya manusia aparatur, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, serta mind-set dan culture-set aparatur. Program ini merupakan upaya sistematis untuk menyelaraskan birokrasi dengan nilai-nilai demokrasi. Sedarmayanti (2017) berpendapat bahwa keberhasilan reformasi birokrasi akan tercermin dari sejauh mana pelayanan publik memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Tantangan terbesar dalam reformasi birokrasi di era demokrasi adalah mengatasi resistensi internal dan eksternal. Secara internal, birokrasi harus menghadapi dilema antara mempertahankan status quo atau berubah mengikuti tuntutan zaman. Adapun secara eksternal, intervensi politik dan kekuatan pasar seringkali menghambat upaya profesionalisasi birokrasi. Prasojo (2018) menjelaskan bahwa politisasi birokrasi tetap menjadi persoalan serius dalam sistem demokrasi Indonesia, di mana patron-klien antara politisi dan birokrat masih berlangsung meski dalam bentuk yang lebih canggih.
Digitalisasi pelayanan publik merupakan salah satu terobosan penting dalam reformasi birokrasi. Melalui e-government, transparansi dan efisiensi pelayanan dapat ditingkatkan sekaligus mengurangi potensi korupsi. Namun, sebagaimana diungkapkan oleh Nugroho (2020), transformasi digital harus diimbangi dengan transformasi kultural agar tidak sekadar mengubah cara kerja tetapi juga mengubah paradigma pelayanan yang lebih berpihak pada masyarakat.
Demokrasi dan reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Demokrasi memberikan ruang bagi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan, sementara reformasi birokrasi menjamin implementasi keputusan tersebut secara efektif dan efisien. Peters (2019) menyatakan bahwa demokrasi yang berkualitas membutuhkan birokrasi yang profesional, sedangkan birokrasi yang profesional akan memperkuat legitimasi sistem demokratis.
Ke depan, tantangan reformasi birokrasi dalam konteks demokrasi Indonesia akan semakin kompleks seiring dengan dinamika global. Revolusi industri 4.0, perubahan iklim, dan pandemi global merupakan isu-isu yang membutuhkan respons birokrasi yang adaptif dan inovatif. Dalam situasi ini, reformasi birokrasi perlu diarahkan pada penguatan kapasitas institusional dan individual untuk mengantisipasi perubahan, bukan sekadar mengatasi permasalahan yang sudah ada.
Pada akhirnya, keberhasilan reformasi birokrasi dalam sistem demokrasi akan bergantung pada komitmen politik yang kuat, keterlibatan aktif masyarakat sipil, serta perubahan mindset di kalangan aparatur negara. Tanpa adanya sinergi antara ketiga elemen tersebut, reformasi birokrasi hanya akan menjadi proyek administratif yang tidak menyentuh akar permasalahan. Sebagaimana ditegaskan oleh Fukuyama (2014), kualitas pemerintahan dalam demokrasi modern ditentukan oleh kapasitas negara untuk menjalankan fungsinya secara efektif, transparan, dan akuntabel melalui birokrasi yang profesional.
Referensi
Dwiyanto, A. (2015). Reformasi Birokrasi Kontekstual: Kembali ke Jalur yang Benar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fukuyama, F. (2014). Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy. New York: Farrar, Straus and Giroux.
Nugroho, R. (2020). Dinamika Kebijakan Publik di Era Digital. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Peters, B.G. (2019). Institutional Theory in Political Science: The New Institutionalism. 4th Edition. Cheltenham: Edward Elgar Publishing.
Prasojo, E. (2018). Reformasi Birokrasi di Indonesia: Teori, Praktik, dan Prospek. Jakarta: Prenadamedia Group.
Sedarmayanti. (2017). Manajemen Sumber Daya Manusia: Reformasi Birokrasi dan Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Bandung: Refika Aditama.
Weber, M. (1978). Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Berkeley: University of California Press.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler