Menari di Atas Kehancuran: Makna Lagu ‘Tarian Penghancur Raya’

Rabu, 19 Maret 2025 11:38 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Apakah Kamu Pribadi yang Menarik?
Iklan

Feast dikenal sebagai grup musik yang sarat akan kritik sosial, menyuarakan berbagai isu mulai dari politik hingga lingkungan.

Feast adalah grup musik pop rock asal Indonesia yang dibentuk oleh sekelompok mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia pada tahun 2013. Band ini beranggotakan Aristo Haryo, Adnan S.P., Baskara Putra, Dicky Renanda, dan F. Fikriawan. Mereka dikenal karena lagu-lagu yang mengangkat tema kritik sosial, baik terhadap pemerintah maupun masyarakat, mencakup isu-isu politik, sosial, agama, dan lingkungan.

Kritik sosial menjadi ciri khas utama .Feast, yang membedakan mereka dari kebanyakan grup musik lainnya. Lagu-lagu mereka dirancang untuk menyuarakan realitas sosial yang sedang berkembang di masyarakat, dengan lirik yang memiliki struktur serupa dengan puisi..(Arfanda et al., 2020).   Kritik sering kali berkembang menjadi aspek penting dalam kehidupan, berfungsi sebagai sarana bagi individu untuk mengekspresikan perasaan atau pemikiran yang terpendam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam menghadapi realitas, seseorang dapat memilih untuk mengabaikan atau menerima kondisi yang ada. Menyanggah dan mengkritik suatu keadaan menunjukkan adanya kepedulian terhadapnya. Sesuai dengan perlindungan yang diberikan dalam Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998, Indonesia menjamin kebebasan warganya untuk menyampaikan pendapat di ruang publik. (Rizkya dkk., 2023).

Makna Mendalam Lagu ‘Tarian Penghancur Nyawa’

Lagu Tarian Penghancur Nyawa dari .Feast menyampaikan kritik sosial terhadap bagaimana manusia, tanpa disadari, merusak dirinya sendiri melalui gaya hidup konsumtif, eksploitasi alam, dan kurangnya kepedulian terhadap konsekuensi dari tindakan mereka. Lagu ini menyoroti masalah konsumerisme dan hedonisme yang semakin mengakar dalam kehidupan modern. Lirik seperti "terus berdansa tanpa henti, hingga habis negeri ini" menggambarkan bagaimana manusia terus mengejar kesenangan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang dari perilaku mereka. Dalam konteks sosial-politik Indonesia, lagu ini juga mencerminkan kekhawatiran terhadap kembalinya praktik pemerintahan yang menyerupai era Orde Baru.

Pada masa itu, pembangunan ekonomi sering kali dilakukan dengan mengorbankan lingkungan dan kebebasan sipil, di mana eksploitasi sumber daya alam tidak memiliki pengawasan yang ketat, sementara masyarakat diarahkan pada konsumsi dan stabilitas semu yang menutupi ketimpangan sosial. Saat ini, pola serupa mulai terlihat kembali, di mana pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan isu lingkungan dan hak asasi manusia, serta membatasi kebebasan berpendapat. Dengan demikian, lagu ini dapat dimaknai sebagai peringatan agar masyarakat lebih waspada terhadap pengulangan sejarah yang sama—di mana kesenangan dan kenyamanan jangka pendek dapat berujung pada konsekuensi jangka panjang yang merusak.

Akankah Indonesia Kembali Pada Masa Orde Baru (Lagi)?

Masyarakat mulai mengkhawatirkan kembalinya dwifungsi militer, yang seharusnya telah berakhir sejak Reformasi 1998. Sistem ini sebelumnya ditinggalkan untuk memperkuat supremasi sipil, tetapi kini wacana serta praktik yang menyerupai masa lalu kembali mencuat. Seperti yang digambarkan dalam lagu, di mana manusia terus menikmati sesuatu tanpa menyadari dampak buruknya, keterlibatan militer dalam ranah sipil juga berpotensi membawa konsekuensi jangka panjang yang mungkin belum disadari oleh masyarakat saat ini.

Konsep dwifungsi militer pertama kali diperkenalkan secara resmi dan dilembagakan selama era Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Militer tidak hanya berperan dalam bidang pertahanan, tetapi juga terlibat secara aktif dalam pemerintahan, politik, dan pembangunan ekonomi. Dwifungsi ini dirancang untuk menjaga stabilitas serta keutuhan negara, sekaligus memastikan militer tetap memiliki peran utama dalam pembangunan nasional. Namun, di balik tujuan tersebut, konsep ini juga menimbulkan berbagai dampak negatif, seperti tumpang tindih kewenangan antara militer dan sipil, penyalahgunaan kekuasaan, tindak kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, serta pembatasan terhadap demokrasi. (Yuda. 2004)

Lirik "Perihal waktu tunggu datangnya" mencerminkan kekhawatiran terhadap keterlibatan kembali TNI dalam urusan sipil, yang berpotensi melemahkan demokrasi. Jika hal ini terjadi, bisa timbul tumpang tindih kewenangan dengan lembaga sipil lainnya serta membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu. Selain itu, keterlibatan TNI dalam pemerintahan dapat mengalihkan fokus mereka dari tugas utama dalam bidang pertahanan negara, yang seharusnya tetap menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, menjaga profesionalisme TNI dengan membatasi perannya hanya dalam sektor pertahanan menjadi langkah krusial untuk memastikan stabilitas serta kemajuan demokrasi di Indonesia.

Kondisi negara saat ini sejalan dengan makna yang terkandung dalam lagu Tarian Penghancur Raya, yang menggambarkan bagaimana pemerintah larut dalam euforia tanpa menyadari ancaman yang mengintai. Hal ini juga tercermin dalam pemberitaan yang menyoroti kemungkinan kembalinya peran militer dalam birokrasi dan politik. Meskipun ada pandangan bahwa militer lebih disiplin dan efisien dibandingkan birokrasi sipil yang kerap dianggap korup, sejarah telah menunjukkan bahwa dominasi militer dalam pemerintahan dapat menjadi ancaman bagi demokrasi. Pesan dalam lagu ini mengingatkan bahwa manusia sering kali tidak menyadari ketika mereka sedang menuju kehancuran.

Akankah Negara Ini Hancur atau Bertahan?

Lirik ‘”Burung bersiul 'malapetaka!”’ mencerminkan dua kemungkinan masa depan bagi Indonesia: kehancuran atau bertahan. Jika keterlibatan militer dalam urusan sipil terus dibiarkan tanpa batas yang jelas, Indonesia berisiko mengalami kemunduran demokrasi yang serius. Sejarah menunjukkan bahwa dominasi militer dalam pemerintahan cenderung membatasi kebebasan sipil, membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan, serta meningkatkan potensi pelanggaran HAM. Seperti yang digambarkan dalam lagu, sebuah bangsa yang terus larut dalam euforia tanpa menyadari ancaman di depannya bisa menuju kehancuran. 

Apabila masyarakat tidak bersikap kritis dan membiarkan praktik otoritarianisme kembali menguat, demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998 bisa terancam hilang. Namun, di sisi lain, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk bertahan dan berkembang sebagai negara demokratis jika rakyatnya tetap sadar dan aktif dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Supremasi sipil yang telah diperjuangkan pasca-Orde Baru harus tetap dijaga, dengan partisipasi masyarakat dalam politik sebagai elemen kunci dalam mencegah kembalinya sistem yang otoriter. Jika kesadaran kolektif ini tetap terjaga, Indonesia dapat bertahan dan melangkah menuju masa depan yang lebih baik, di mana kesejahteraan, kebebasan, dan demokrasi tetap menjadi fondasi utama negara.

Jadi, apakah negara ini akan hancur atau bertahan? Jawabannya ada di tangan rakyatnya—apakah mereka akan terus diam dan membiarkan sejarah terulang, atau berjuang untuk mempertahankan demokrasi yang telah dibangun.

Arfanda, M. F., & Muzakka, M. (2020). Kritik Sosial Pada Lirik Lagu Karya. Feast. NUSA: Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra15(2), 199-213.

Azzahra, R., & Irawan, M. O. (2023). Kritik Sosial Lirik Lagu” Feast”. Jurnal Riset Rumpun Ilmu Bahasa, 2(1), 131-145.

YUDA, R. N. (2024). Kembalinya Dwifungsi TNI: Studi Kasus Undang Undang Nomor 34 Tahun 2024 Tentang TNI dan Dampaknya Terhadap Demokrasi Di Indonesia.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Nurvauziah Ananda Maulana

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler