Apakah Dunia dalam AOT Membenarkan Kekerasan Demi Kedamaian?
Kamis, 22 Mei 2025 10:21 WIB
“Jika harus membunuh jutaan orang demi menyelamatkan kaum kita, apakah itu bisa dibenarkan?”
***
Latar dunia Attack on Titan berpusat pada konflik panjang antara Eldia dan Marley. Ribuan tahun yang lalu, Eldia menguasai dunia dengan kekuatan Titan milik Ymir, menindas berbagai bangsa, termasuk Marley. Namun, setelah kekuasaan Eldia melemah, Marley membalas dengan menindas keturunan Eldia yang tersisa, menjadikan mereka sebagai tentara dan alat perang. Di Pulau Paradis, sebagian besar orang Eldia hidup dalam isolasi tanpa mengetahui sejarah mereka yang sebenarnya, hingga akhirnya mereka menemukan kebenaran dan memulai perlawanan terhadap penindasan Marley. Konflik ini menciptakan siklus kebencian dan dendam yang terus berlangsung antar generasi.
Dalam Attack on Titan, kekerasan tidak datang dari satu pihak saja, melainkan merupakan hasil dari siklus balas dendam yang tak pernah selesai. Kekaisaran Eldia memang pernah menjadi penindas, memanfaatkan kekuatan Titan untuk menaklukkan dan memperbudak bangsa lain, termasuk Marley (Chapter 86, “That Day”). Namun, setelah Marley merebut tujuh Titan dan mengalahkan Eldia, mereka justru berbalik menindas rakyat Eldia yang tersisa, menjadikan mereka sebagai senjata perang dan membentuk generasi baru dengan kebencian terhadap leluhur mereka sendiri (Final Season, Episode 3–5).
Siklus balas dendam ini berlanjut ketika tokoh utama, Eren Yeager, menyaksikan dunia luar terus menganggap seluruh bangsa Eldia sebagai ancaman yang harus dihancurkan. Alih-alih menerima takdir tersebut, Eren memilih untuk melawan dengan cara menyerang balik—melanjutkan siklus kekerasan dengan membumihanguskan Marley dan dunia luar melalui Rumbling (Chapter 123–131). Narasi ini menggambarkan bahwa tidak ada pihak yang benar-benar "memulai" konflik; masing-masing hanya membalas luka masa lalu dengan kekerasan baru, memperpanjang lingkaran kebencian dan penderitaan yang tak berkesudahan.
Seperti yang dikatakan dalam Chapter 123, Eren menyadari:
"If we keep letting them live, they’ll just keep on killing us."
Kutipan ini mencerminkan bagaimana ketakutan dan trauma membentuk logika balas dendam yang tidak bisa dihentikan dengan cara damai—sebuah tema utama dalam cerita AOT.
Menurut Niccolò Machiavelli, dalam Il Principe, seorang pemimpin sah dapat mengambil tindakan kejam jika itu diperlukan untuk melindungi negaranya. Bagi Eren Yeager, kebebasan rakyat Eldia menjadi tujuan tertinggi yang membenarkan pembantaian miliaran orang di luar Pulau Paradis. Dalam pikiran Eren, tindakannya adalah demi emansipasi total rakyat Eldia—kebebasan dari rasa takut, diskriminasi, dan ancaman pemusnahan. Eren percaya bahwa satu-satunya cara untuk mencapai kebebasan sejati adalah dengan menghapus semua kekuatan eksternal yang bisa mengancamnya. Dalam hal ini, Eren mencerminkan bentuk ekstrem dari realpolitik: membuang idealisme moral demi hasil akhir yang menguntungkan kelompoknya, meskipun itu berarti menghancurkan dunia luar.
Tindakan Eren dalam Attack on Titan menggambarkan sisi gelap kekuasaan yang dibalut dengan narasi pembebasan. Di satu sisi, ia tampil sebagai pembela bangsanya, tetapi di sisi lain, ia mengadopsi prinsip-prinsip fasisme dalam bentuk yang paling ekstrem. Melalui Rumbling, Eren membenarkan pemusnahan miliaran manusia, percaya bahwa dunia luar tidak akan pernah menerima bangsa Eldia. Ini mencerminkan ciri-ciri utama fasisme yang dijelaskan oleh Stanley G. Payne dalam A History of Fascism, 1914–1945, yaitu: kultus terhadap identitas nasional, glorifikasi kekerasan, dan penghapusan total terhadap musuh atas nama kelangsungan etnis (Payne, 1995). Bagi Eren, bangsanya adalah korban sejarah yang berhak atas kebebasan mutlak, bahkan jika itu berarti menghancurkan dunia luar. Pola ini mencerminkan retorika otoriter yang memanfaatkan trauma masa lalu dan ketakutan kolektif untuk membenarkan kekerasan.
Dalam konteks ini, pemikiran Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan menjadi sangat relevan. Dalam bukunya Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, ia berpendapat bahwa kejahatan besar tidak selalu dilakukan oleh sosok jahat atau fanatik, melainkan oleh individu biasa yang merasa sedang menjalankan tugas moral atau administratif (Arendt, 1963). Eren tidak membunuh karena sadisme; ia tampak terbebani oleh keputusan yang diambil, namun tetap melangkah karena merasa tidak ada alternatif selain menghancurkan dunia demi menyelamatkan rakyatnya (Attack on Titan, Chapter 131). Dalam pandangan ini, kejahatan menjadi “biasa” karena dilakukan atas dasar keyakinan bahwa tindakan tersebut diperlukan demi kebaikan yang lebih besar. Transformasi Eren dari remaja idealis menjadi pelaku genosida adalah gambaran kuat bagaimana kekuasaan, trauma kolektif, dan keyakinan moral absolut dapat mendorong seseorang melampaui batas kemanusiaan.
“Apakah membunuh jutaan orang untuk menyelamatkan satu bangsa bisa dibenarkan?”
“Apakah korban bisa berubah menjadi penindas yang sah?”
Attack on Titan tidak memberikan jawaban hitam-putih mengenai siapa yang benar dan siapa yang salah, dan itulah salah satu kekuatan utama dalam narasinya. Melalui cerita yang rumit, karakter-karakter yang berlapis, dan konflik yang terus berkembang, AOT mengajak penonton untuk merenungkan konsep-konsep seperti keadilan, trauma, dan harga kemanusiaan dalam situasi yang ekstrem. Pertanyaan besar sepanjang cerita adalah: siapa yang benar? Di satu sisi, Eldia memiliki sejarah penindasan yang brutal terhadap bangsa lain, sementara di sisi lain, Marley juga menggunakan kekuatannya untuk menindas dan memperbudak keturunan Eldia. Kedua pihak memiliki alasan untuk bertindak, namun setiap keputusan membawa konsekuensi yang jauh lebih besar daripada yang mereka perkirakan.
AOT menyoroti bahwa kebenaran tidak pernah tunggal. Karakter-karakternya, seperti Eren Yeager, yang awalnya berjuang demi kebebasan tetapi akhirnya memilih jalan kekerasan, dan Reiner Braun, yang terperangkap dalam konflik batin antara tugasnya sebagai prajurit Marley dan rasa kemanusiaannya, menunjukkan bahwa keputusan yang diambil sering kali berakar pada trauma dan identitas kolektif. Dalam dunia AOT, keadilan bukanlah konsep yang mudah dipahami atau diterapkan, karena setiap tindakan dipengaruhi oleh sejarah panjang kekerasan dan kebencian. Baik Eldia maupun Marley melihat dunia melalui lensa subjektif yang sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan pengaruh sejarah masing-masing.
Salah satu aspek paling kuat dari AOT adalah pertanyaan tentang harga kemanusiaan dalam menghadapi perang dan penindasan. Untuk meraih kebebasan, apakah kita harus mengorbankan kemanusiaan kita? Dapatkah seseorang mempertahankan prinsip moral saat dunia yang mereka hadapi penuh dengan kekejaman dan ancaman? Seperti yang digambarkan dalam konflik Eren Yeager dan perdebatan internal para protagonis lainnya, AOT menunjukkan bahwa pilihan yang diambil dalam keadaan ekstrem bisa mengubah seseorang menjadi lebih dari sekadar pahlawan atau penjahat—mereka bisa menjadi korban dari dunia yang penuh dengan kekerasan. Dengan demikian, AOT mengajak kita untuk merenungkan tidak hanya siapa yang benar, tetapi juga bagaimana sejarah, identitas, dan trauma kolektif membentuk pandangan kita tentang kebenaran dan keadilan. Keputusan yang diambil oleh setiap karakter, meskipun dilandasi oleh niat yang baik, sering kali menghasilkan kerugian dan penderitaan yang tak terhitung banyaknya, mengingatkan kita bahwa kebenaran dan keadilan tidak pernah sekadar hitam dan putih.
Niccolò Machiavelli. Il Principe (The Prince)
Payne, S. G. (1996). A history of fascism, 1914–1945. University of Wisconsin Pres.
Arendt, Hannah. (1963). Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil. Viking Press.

Mahasiswa S1 Hubungan Internasional
0 Pengikut

Apakah Dunia dalam AOT Membenarkan Kekerasan Demi Kedamaian?
Kamis, 22 Mei 2025 10:21 WIB
Perempuan dalam Attack on Titan: antara Emansipasi dan Stereotip
Kamis, 22 Mei 2025 10:20 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler