Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada

Warisan Politik Jokowi dan Bayangan Panjang Kepemimpinan Prabowo

Rabu, 18 Juni 2025 07:25 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Jokowi-Ganjar-Prabowo
Iklan

Apakah kita sedang menyaksikan kelanjutan konsolidasi demokrasi? Atau justru perlu waspada terhadap semakin terkonsentrasinya kekuasaan?

***

Sepuluh tahun pemerintahan Joko Widodo telah berakhir. Dari seorang wali kota di Solo hingga menjabat dua periode sebagai presiden, Jokowi mencatatkan sejarah politik yang tak mudah diabaikan. Ia dikenal sebagai pemimpin pekerja, fokus pada pembangunan infrastruktur, dan mampu menjaga stabilitas politik nasional.

Namun di balik deretan pencapaian fisik, terdapat warisan politik yang perlu dibaca secara lebih kritis. Sebab warisan ini tidak berhenti pada masa jabatan Jokowi, tetapi telah dan sedang diteruskan oleh pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.

Apakah kita sedang menyaksikan kelanjutan konsolidasi demokrasi? Atau justru perlu waspada terhadap semakin terkonsentrasinya kekuasaan?

Salah satu ciri warisan Jokowi adalah melemahnya oposisi politik. Koalisi yang terbentuk selama pemerintahannya begitu luas, hingga nyaris tidak menyisakan kekuatan penyeimbang yang signifikan di parlemen. Praktek ini terbukti efektif menjaga stabilitas, tetapi sekaligus mengaburkan fungsi pengawasan.

Presiden Prabowo pun terbayang melanjutkan pola ini. Setelah dilantik, hampir seluruh partai kembali dirangkul masuk dalam barisan pendukung. Pemerintahan saat ini bahkan disebut sebagai yang paling inklusif secara politik, tetapi eksklusif dalam praktik kekuasaan. Suara-suara kritis makin jarang terdengar, dan keputusan besar seperti restrukturisasi kementerian serta penguatan lembaga keamanan menimbulkan tanda tanya publik.

Apa yang diwariskan bukan hanya bangunan fisik, tetapi sistem politik yang rawan dibungkam. Demokrasi prosedural tetap berjalan, tetapi jantung substansinya melemah.

Warisan lain yang kini terasa pengaruhnya adalah politik dinasti. Kemunculan Gibran Rakabuming sebagai wakil presiden melalui jalur konstitusional yang penuh kontroversi bukanlah sekadar pencapaian individu. Ini adalah simbol dari sistem yang mulai memberi ruang luas bagi kekuasaan berbasis keluarga.

Kini ketika Gibran sudah resmi menjabat, banyak pihak bertanya sejauh mana peranannya akan memengaruhi pemerintahan Prabowo. Apakah ia akan menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan? Atau justru memperkuat persepsi bahwa kekuasaan dapat diwariskan tanpa mekanisme meritokrasi yang utuh?

Dalam beberapa kebijakan, publik mulai melihat pola kontinuitas yang bukan hanya administratif, tetapi juga ideologis. Narasi besar seperti keberlanjutan hilirisasi, ketahanan pangan, hingga keamanan nasional dikelola dengan pendekatan yang lebih terpusat, bahkan cenderung militeristik. Dalam kondisi ini, politik demokratis menghadapi tantangan serius.

Tidak hanya itu, yang paling mencemaskan adalah lemahnya posisi partai politik sebagai institusi demokrasi. Selama era Jokowi, partai-partai besar terlihat lebih sering mengikuti kekuasaan ketimbang menawarkannya visi tandingan. Partai menjadi kendaraan, bukan ruang pendidikan politik.

Pemerintahan Prabowo tidak menunjukkan perubahan besar dalam aspek ini. Wacana revisi UU, reshuffle politik, dan pembentukan kementerian baru cenderung lahir dari lingkaran elite terbatas. Rakyat menyaksikan dari kejauhan, dengan rasa tidak pasti atas arah pemerintahan ke depan.

Lantas jalan yang seperti apa yang perlu untuk diperbaiki?

Warisan politik era Jokowi tidak hanya meletakkan fondasi pembangunan fisik, tetapi juga membentuk pola kekuasaan yang sangat terpusat. Koalisi besar tanpa oposisi, lemahnya kontrol parlemen, dan dominasi eksekutif menciptakan stabilitas yang dibayar mahal oleh menyempitnya ruang demokrasi. Demokrasi tetap berjalan, tetapi dalam jalur yang sempit dan mudah dikendalikan.

Pemerintahan Prabowo melanjutkan pola ini. Ia memimpin dari posisi yang sangat kuat, baik secara politik maupun simbolik. Namun kekuatan itu datang bersama risiko pembungkaman, pengabaian kritik, dan kecenderungan memperbesar kontrol negara atas berbagai sektor, termasuk masyarakat sipil. Kontroversi awal seperti restrukturisasi kementerian dan minimnya partisipasi publik memperkuat kekhawatiran tersebut.

Kita tidak bisa terus membenarkan arah ini dengan alasan efisiensi atau stabilitas. Demokrasi bukan sekadar rutinitas pemilu, tetapi ruang yang terbuka bagi pengawasan, keberanian berbeda pendapat, dan partisipasi bermakna. Bila Jokowi membangun jalan secara fisik, maka tantangan Prabowo adalah membangun kepercayaan dan menjamin kebebasan warga untuk bersuara.

Warisan Jokowi bersifat paradoks. Ia membawa pembangunan yang diakui, tetapi juga meninggalkan sistem yang membuka celah pelemahan demokrasi. Jika Prabowo melanjutkan model kekuasaan ini tanpa koreksi, maka kita tidak sedang bergerak ke arah konsolidasi demokrasi, melainkan memperkuat wajah kekuasaan yang tak tersentuh.

Masa depan demokrasi Indonesia sangat tergantung pada sejauh mana rakyat bersedia menjaga ruang partisipasi tetap hidup. Kini saatnya kita tidak hanya menjadi penonton dari panggung kekuasaan, tetapi menjadi warga yang aktif mempertanyakan arah kebijakan, menolak pembungkaman, dan mengawal demokrasi agar tidak sekadar menjadi nama tanpa makna.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Irene Berta Meida Zalukhu

Mahasiswa UGM

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler