Gemar berbagi melalui ragam teks fiksi dan nonfiksi.
Inilah Rahasia Otak yang Dipenuhi dengan Optimisme
Minggu, 27 Juli 2025 08:05 WIB
Optimisme otak bukan hanya perasaan, tetapi representasi nyata yang bisa dilacak melalui teknologi pencitraan otak.
Penelitian terbaru mengungkap pola otak optimis saat membayangkan masa depan melalui fMRI. Temuan ini memperkuat hubungan optimisme dan komunikasi dalam ilmu sosial neuroscience.
***
Optimisme sering dianggap sekadar sikap atau harapan yang baik tentang masa depan. Namun, studi terbaru mengungkap bahwa optimisme ternyata memiliki dasar yang nyata dalam struktur dan kerja otak manusia. Dalam temuan yang dipublikasikan oleh tim peneliti lintas disiplin dari Jepang (2025), ditemukan bahwa pola aktivitas otak orang-orang optimis saat membayangkan masa depan menunjukkan kesamaan yang signifikan. Hal ini mengisyaratkan bahwa optimisme otak bukan hanya perasaan, tetapi representasi nyata yang bisa dilacak melalui teknologi pencitraan otak.
Mengutip dari sciencedaily.com, penelitian ini melibatkan 87 partisipan dari berbagai latar belakang yang memiliki rentang sikap dari sangat pesimis hingga sangat optimis. Para peserta diminta membayangkan berbagai peristiwa masa depan sambil menjalani pemindaian otak menggunakan fMRI (functional magnetic resonance imaging).
Melalui teknologi ini, peneliti bisa memetakan secara rinci bagaimana otak bereaksi ketika seseorang berpikir tentang masa depan. Hasilnya sangat menarik: orang-orang yang cenderung optimis memiliki neural representation masa depan yang sangat mirip satu sama lain. Temuan ini menjadi titik terang dalam memahami bagaimana harapan terhadap masa depan tercermin dalam aktivitas saraf manusia.
Bukan hanya itu, kesamaan dalam pola otak optimis ini juga menunjukkan bahwa otak individu yang optimis secara alami "beresonansi" dengan orang lain yang juga optimis. Ketika mereka membayangkan masa depan, bagian otak tertentu yang bertanggung jawab atas visualisasi, emosi, dan prediksi aktif dengan pola yang sangat serupa.
Ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya berbagi harapan, tetapi juga berbagi cara visualisasi yang hampir identic. Semacam "bahasa saraf" bersama tentang masa depan yang lebih baik. Temuan ini memperkuat pentingnya fMRI optimis dalam memahami hubungan sosial dan emosi kolektif manusia.
Peneliti utama, Yanagisawa, menyebut bahwa temuan ini mengisi celah besar antara psikologi sosial dan neuroscience. Selama ini, studi tentang harapan atau pandangan terhadap masa depan sering terbatas pada pendekatan psikologis atau kognitif. Namun kini, ilmu sosial neuroscience memberikan bukti bahwa representasi masa depan di otak bisa diukur secara objektif. Bahkan, pola aktivitas otak tersebut bisa menjadi indikator seberapa kuat seseorang memiliki harapan atau prediksi positif tentang masa depan.
Salah satu aspek paling menarik dari penelitian ini adalah keterkaitannya dengan hubungan antarindividu. Ketika dua orang memiliki kesamaan dalam cara mereka memandang masa depan secara optimis, hal itu berpotensi memperkuat koneksi sosial mereka.
Mereka lebih mudah memahami satu sama lain, merasa terhubung, dan cenderung lebih kompak dalam berkomunikasi maupun bekerja sama. Ini membuktikan bahwa hubungan optimisme dan komunikasi bukan hanya bersifat emosional, tetapi juga bersifat biologis dan neurologis.
Penelitian ini juga membuka peluang aplikasi dalam berbagai bidang kehidupan nyata. Dalam konteks kerja tim, misalnya, pemahaman tentang pola otak optimis bisa digunakan untuk menyusun strategi komunikasi yang lebih efektif atau membangun kelompok kerja yang lebih harmonis.
Dalam dunia pendidikan atau terapi, memahami bagaimana otak merespons harapan masa depan bisa menjadi fondasi baru dalam metode pembelajaran, pembinaan, dan intervensi psikologis. Bahkan di bidang pengembangan teknologi sosial atau AI yang berinteraksi dengan manusia, hasil ini bisa menjadi dasar dalam merancang sistem yang lebih empatik dan selaras dengan cara manusia memproyeksikan masa depannya.
Secara umum, riset ini menandai langkah penting menuju integrasi antara ilmu saraf dan ilmu sosial, khususnya dalam memahami bagaimana manusia membentuk harapan dan merasakan kebersamaan. Temuan tentang optimisme otak ini juga memberikan pemahaman baru bahwa membayangkan masa depan bukan hanya proses mental, tetapi juga proses neurologis yang bisa memengaruhi bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain.
Harapan bukan hanya sesuatu yang kita rasakan. Namun, sesuatu yang bisa dilihat, dipetakan, dan bahkan dibagikan melalui sinyal otak kita. Dengan makin berkembangnya teknologi pencitraan otak, serta pemahaman lintas disiplin seperti ini, kita akan semakin dekat dalam memahami rahasia terdalam dari hubungan sosial dan harapan manusia. Optimisme, dalam konteks ini, bukan sekadar sikap positif, tetapi cermin dari cara otak kita membangun masa depan yang penuh kemungkinan. ***

Penulis Indonesiana
7 Pengikut
Baca Juga
Artikel Terpopuler