Asrianto Asgaf adalah lulusan Magister Ilmu Komunikasi di Universitas Esa Unggul Jakarta dan sarjana (S1) di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima.\xd \xd Dan kini sedang mengajar di Universitas Pamulang dengan mata kuliah Komunikasi dan Pendidikan Kewarganegaraan. \xd Selama berkuliah aktif diorganisasi internal dan eksternal, internal kampus, BEM STISIP, HMJ HIMAKOM, KSR-PMI dan Eksternalnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). adapun karya dalam menyelesaikan studi S1 dengan penelitian SKRIPSI (Gaya komunikasi Politik Indah Damayanti Putri di Pilkada Kabupaten Bima 2020) Skripsinya dikembangkan lagi lewat penelitian TESIS S2 dengan yang serupa (Gaya komunikasi Politik Aktor Non Partai. Studi Kasus: Kepemimpinan Anies Baswedan).

Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto: Politik Equilibrium Prabowo Subianto

Kamis, 7 Agustus 2025 06:32 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Hasto Kristiyanto
Iklan

Keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik equilibrium yang sedang dibangun oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto.

***

Langit Jakarta sore itu 1 Agustus 2025 terlihat kelabu ketika keputusan itu akhirnya diumumkan. Tom Lembong, mantan menteri yang sempat menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan perdagangan pemerintah, tiba-tiba terbebas dari belenggu hukum. Tak jauh dari sana, Hasto Kristiyanto, sang juru bicara PDIP yang gigih mengkritik rezim, juga mendapatkan pengampunan. Dua keputusan ini bukan sekadar berita hukum, ini adalah pertunjukan politik yang penuh teka-teki.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti serta restitusi politik kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto telah memantik perdebatan multidimensi. Secara konstitusional, kedua kebijakan ini merupakan hak prerogatif presiden berdasarkan Pasal 14 UUD 1945. Namun, dalam perspektif Trias Politika Montesquieu, yang menekankan pemisahan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. implementasinya menimbulkan paradoks, di satu sisi sebagai instrumen rekonsiliasi politik, di sisi lain berpotensi melemahkan independensi peradilan.

Keputusan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks politik equilibrium yang sedang dibangun oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. merujuk pada The Spirit of Laws (Montesquieu) atau kajian tentang executive clemency dalam hukum tata negara. Abolisi dan amnesti adalah dua instrumen hukum yang bersumber dari hak prerogatif eksekutif (presiden), tetapi implementasinya kerap memicu perdebatan dalam kerangka pemisahan kekuasaan (Trias Politika) ala Montesquieu.

Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto menunjukkan bagaimana hukum bisa tunduk pada logika transaksional jika eksekutif terlalu dominan, secara spekulatif muncul pertanyaan dalam koresitas individu, apakah ini menimbulkan paradoks dalam demokrasi modern, jika benar artinya intervensi politik menjadi syarat rekonsiliasi politik.

Sinyal Rekonsiliasi Politik

Tom Lembong, mantan menteri di era Jokowi yang juga dikenal dengan koalisi oposi non parlemen mendapatkan abolisi setelah sebelumnya dinyatakan bersalah dalam kasus impor gula. Keputusan ini bisa dibaca sebagai upaya soft landing bagi figur yang pernah berseberangan dengan pemerintah, sekaligus sinyal bahwa Prabowo ingin menciptakan iklim politik yang lebih inklusif. Dan pemberian abolisi kepada Tom Lembong bukan sekadar kebijakan hukum, melainkan langkah politik yang cerdik sekaligus berisiko.

Abolisi yang diberikan ini tidak bisa dilepaskan dari dialektika kekuasaan ala Machiavelli, di mana tindakan politik yang tampak "memaafkan" sesungguhnya merupakan kalkulasi rasional untuk memperluas pengaruh. Dalam konteks filsafat politik, keputusan ini mencerminkan paradoks kekuasaan modern: di satu sisi ingin menampilkan wajah inklusif (sebagaimana idealisme Habermas tentang ruang publik deliberatif), namun di sisi lain tetap berpegang pada prinsip realpolitik bahwa stabilitas kekuasaan seringkali membutuhkan kooptasi terhadap potensi ancaman. Tom Lembong, sebagai figur yang menjembatani pemerintahan dan oposisi non-parlemen, menjadi simbol dari pertaruhan ini - apakah rekonsiliasi yang ditawarkan merupakan transformasi politik yang autentik, atau sekadar strategi penundukkan halus?

Menjinakkan Oposisi PDI Perjuangan

Sementara itu, pemberian amnesti dan restitusi politik kepada Hasto Kristiyanto lebih kompleks. Hasto, sebagai Sekjen PDIP, adalah ujung tombak perlawanan PDIP terhadap pemerintahan Jokowi di akhir masa jabatan, termasuk dalam kontestasi Pilpres 2024. Kasus dugaan suap mantan Komisioner KPU Wahyu Setiawan untuk pergantian antara waktu (PAW) anggota DPR Harun Masikun dan perintangan yang menjerat Hasto sempat dilihat sebagai upaya kriminalisasi politik. Dengan memberikan amnesti, Prabowo yang didukung oleh DPR RI seolah ingin meredakan ketegangan dengan PDIP.

Langkah ini bisa menjadi strategi untuk mencegah PDIP menjadi oposisi keras dengan memulangkan Hasto, Prabowo berharap PDIP tidak mengambil posisi konfrontatif ekstrem. Mempersiapkan koalisi jangka panjang Prabowo mungkin sadar bahwa dukungan PDIP (partai terbesar di DPR) akan berguna di masa depan, terutama jika ada kebijakan kontroversial yang memerlukan dukungan parlemen dan menjaga stabilitas politik. Sebagai mantan panglima, Prabowo paham bahwa stabilitas memerlukan keseimbangan antara tekanan dan rekonsiliasi.

Between Reward and Control

Prabowo tampaknya sedang bermain dalam logika reward and control memberikan penghargaan (seperti abolisi dan amnesti) kepada pihak yang bisa diajak bekerja sama, sambil tetap menjaga kendali atas dinamika politik. Namun, risiko dari strategi ini adalah Kritik atas diskriminasi hukum. Mengapa hanya tokoh tertentu yang dapat abolisi/amnesti, sementara banyak aktivis atau politisi lain masih terjerat kasus serupa?

Ketergantungan pada transaksi politik, Jika setiap konflik diselesaikan dengan deal-dealan di belakang layar, maka hukum bisa semakin dipersepsikan sebagai alat politik. Kesimpulan Abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto adalah dua sisi dari koin yang sama, upaya Prabowo menciptakan political equilibrium Jika berhasil, langkah ini bisa menjadi fondasi pemerintahan yang stabil.

Namun, jika dinilai terlalu transaksional, ia justru dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas penegakan hukum. Prabowo harus membuktikan bahwa kebijakan ini bukan sekadar political calculation, melainkan bagian dari komitmen besar untuk mempersatukan bangsa pasca-polarisasi politik 2024 lalu. Prabowo, yang akan memimpin pemerintahan koalisi besar, mungkin ingin mengurangi potensi konflik dengan kelompok-kelompok di luar pendukungnya. Dengan memberikan abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong seorang figur yang dianggap moderat dan pro-pasar dan Hasto Kristiyanto sebagai sekjen Partai politik yang besar dalam partlemen, seakan-akan Prabowo sedang mengirim pesan bahwa pemerintahannya tidak akan bersifat vindiktif terhadap lawan politik.

Prabowo Subianto, sebagai presiden yang memimpin saat ini, harus membuktikan bahwa kebijakan ini bukan sekadar political calculation, melainkan bagian dari komitmen membangun hukum yang adil dan setara. Jika tidak, warisan pemerintahannya bukanlah persatuan nasional, melainkan premis bahwa "hukum hanya berlaku bagi yang tak berkuasa." jika terus diulang tanpa batasan jelas, ia akan mengubah demokrasi Indonesia menjadi "dealokrasi" sistem yang diatur oleh transaksi elite, bukan prinsip hukum.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler