Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.

Inkonsistensi Penerjemahan Ikhtilāf: Problem Nalar Linguistik Dalam Terjemahan

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Jejualan Cara Mengembangkan Usaha Jasa Penerjemah
Iklan

Salah satu tantangan mendasar dalam penerjemahan Al-Quran adalah mempertahankan konsistensi makna terminologi yang memiliki nuansa semantik

ahmad wansa al-faiz.


esai.


بِسْمِ ٱللَّٰهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

 

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ

artinya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Babak Baru Penerjemah Tersumpah di Indonesia

Salah satu tantangan mendasar dalam penerjemahan Al-Quran adalah mempertahankan konsistensi makna terminologi yang memiliki nuansa semantik kompleks. Problem ini terlihat jelas dalam penerjemahan kata ikhtilāf (اختلاف) yang berakar dari kh-l-f (خ-ل-ف), yang sering diterjemahkan secara tidak konsisten sebagai "pergantian," "perubahan," atau "perbedaan" dalam konteks yang berbeda. Inkonsistensi ini bukan sekadar masalah teknis penerjemahan, tetapi mencerminkan problem nalar linguistik yang lebih fundamental dalam memahami struktur makna bahasa Arab Al-Quran.

Dalam Surah An-Naba (78:9-10), teks menyatakan bahwa dualisme siang dan malam bukanlah struktur perubahan atau pergantian, melainkan sistem fungsional di mana malam berfungsi sebagai pakaian untuk istirahat.

Namun, dalam Surah Ali Imran (3:190), frasa wa ikhtilāfi al-laili wa an-nahār (واختلاف الليل والنهار) diterjemahkan sebagai pergantian malam dan siang oleh NU Online dan banyak terjemahan Indonesia lainnya. Inkonsistensi ini menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam terhadap akar semantik kata ikhtilāf yang sesungguhnya bermakna perbedaan atau pembedaan (differentiation), bukan pergantian (alternation) atau perubahan (change).

Dari perspektif linguistik Arab, akar kh-l-f memiliki makna dasar "berada di belakang: atau "menggantikan posisi," namun dalam bentuk iftā'l (اِفْتِعَال) seperti ikhtilāf, makna bergeser menjadi "saling berbeda" atau "memiliki karakteristik yang berbeda." Perbedaan morfologis ini sangat penting karena ikhtilāf tidak menunjukkan proses temporal pergantian, melainkan keadaan diferensiasi inheren antara dua entitas.

Sebagai perbandingan, konsep "pergantian kulit ular" akan menggunakan kata tabdīl (تبديل) atau taghyīr (تغيير), bukan ikhtilāf. Ketika Al-Quran menggunakan ikhtilāf untuk malam dan siang, ia menekankan perbedaan fungsional dan karakteristik kedua waktu tersebut sebagai tanda kebesaran Allah, bukan sekadar siklus kronologis.

Problem ini diperburuk oleh kecenderungan penerjemah untuk mengadopsi interpretasi yang sudah mapan tanpa melakukan analisis etimologis independen. Menurut Abu Hilal al-Askari dalam Al-Furuq al-Lughawiyyah, setiap kata dalam bahasa Arab memiliki nuansa makna yang spesifik, dan ikhtilāf secara konsisten merujuk pada diferensiasi kualitas, bukan pergantian temporal. Ibn Faris dalam Mu'jam Maqayis al-Lughah juga menegaskan bahwa akar kh-l-f dalam konteks ikhtilāf menunjukkan "perbedaan dalam sifat atau keadaan," bukan "pergantian dalam waktu."

Ketidakkonsistenan penerjemahan ini tidak hanya mengaburkan makna teologis, tetapi juga mengurangi presisi linguistik yang merupakan salah satu keajaiban Al-Quran. Implikasi teologis dari inkonsistensi ini cukup signifikan. Ketika ikhtilāf al-laili wa an-nahār diterjemahkan sebagai "pergantian," pembaca memahami ayat tersebut sebagai rujukan pada fenomena astronomis biasa. Namun, ketika dipahami sebagai "perbedaan," ayat tersebut mengarahkan perhatian pada hikmah dan tujuan penciptaan yang berbeda antara malam dan siang—malam sebagai waktu istirahat dan kontemplasi, siang sebagai waktu aktivitas dan produktivitas. Perbedaan interpretasi ini mempengaruhi pemahaman tentang bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan ritme kosmis yang telah Allah tetapkan.

Untuk mengatasi problem ini, diperlukan pendekatan hermeneutik yang menggabungkan analisis etimologis mendalam dengan konsistensi terminologis. Para penerjemah perlu membangun kamus semantik komprehensif yang memetakan setiap akar kata Arab dengan nuansa makna spesifiknya, kemudian mempertahankan konsistensi tersebut di seluruh terjemahan. Selain itu, perlu ada kolaborasi antara ahli bahasa Arab, ahli tafsir, dan linguist untuk memastikan bahwa terjemahan tidak hanya akurat secara literal, tetapi juga konsisten secara konseptual. Hal ini sangat penting mengingat Al-Quran menggunakan presisi linguistik yang tinggi, di mana setiap pilihan kata memiliki implikasi makna yang spesifik dan tidak dapat digantikan begitu saja dengan sinonim yang tampaknya serupa.


Referensi

  1. Al-Askari, Abu Hilal. Al-Furuq al-Lughawiyyah. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1973.

  2. Ibn Faris, Ahmad. Mu'jam Maqayis al-Lughah. Ed. Abd al-Salam Muhammad Harun. Beirut: Dar al-Fikr, 1979.

  3. Al-Raghib al-Isfahani. Mufradat Alfaz al-Quran. Damascus: Dar al-Qalam, 1992.

  4. Abdel Haleem, Muhammad A.S. "Issues in Quranic Translation." Journal of Quranic Studies, vol. 2, no. 2, 2000, pp. 35-55.

  5. Versteegh, Kees. The Arabic Language. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2001.

  6. Wild, Stefan. "The Self-Referentiality of the Quran: Sura 3:7 as an Exegetical Challenge." Arabic and Islamic Studies, vol. 1, 2006, pp. 422-436.

  7. Saleh, Walid A. "The Etymological Fallacy and Quranic Studies: Muhammad, Paradise, and Late Antiquity." Quranic Studies Today, Routledge, 2016, pp. 649-698.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler