Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - Kolom ini hadir sebagai ruang refleksi atas dinamika demokrasi Indonesia pasca-Reformasi, ketika masyarakat sipil terus mencari cara untuk menegakkan kontrol terhadap negara. -Mitigasi - dipahami sebagai upaya pencegahan konflik sosial dan politik, sementara - Litigasi - merujuk pada proses penegakan hukum serta penyelesaian sengketa yang lahir dari ketegangan sipil-militer maupun antar-aktor politik. Melalui perspektif supervisi sosial, kolom ini menyoroti bagaimana lembaga non-pemerintah, media, serta komunitas akademik berperan sebagai pengawas kritis. Tujuannya jelas: memastikan demokrasi tidak hanya menjadi prosedur elektoral, tetapi juga praktik yang berpihak pada keadilan sosial. Dalam lingkup politik, kolom ini mengurai fenomena - grey area - purnawirawan militer, problem akuntabilitas hukum, hingga dilema skeptisisme publik terhadap institusi negara. Semua dibaca bukan semata dari sisi hukum formal, melainkan juga sebagai gejala sosiologis yang memengaruhi hubungan kekuasaan dan kepercayaan publik. Jurnal Mitigasi - Litigasi Supervisi Sosial dan Politik - bukan hanya catatan akademik, melainkan juga ajakan untuk terus mengawal reformasi. Bahwa demokrasi sejati hanya dapat tumbuh bila ada keseimbangan antara negara yang berkuasa dan masyarakat yang berdaya mengawasi.
Buruknya Preseden Pragmatisme Politik dalam Kancah Nasional
1 jam lalu
Politik Indonesia hari ini bergerak dalam arus yang lebih pragmatis ketimbang idealis.
Oleh : Ahmad Wansa Al-faiz
Politik Indonesia hari ini bergerak dalam arus yang lebih pragmatis ketimbang idealis. Dalam kontestasi kekuasaan, nilai-nilai yang dulu diagungkan, seperti reformasi, demokratisasi, atau keadilan sosial, sering kali dikerdilkan menjadi sekadar jargon kampanye. Kontemporerisasi politik populer, yang mestinya mampu menghubungkan aspirasi rakyat dengan kebijakan, kerap berhenti pada permukaan: pencitraan di media sosial, narasi simbolik, dan permainan opini publik [1].
Status quo politik Indonesia menunjukkan wajah yang ambigu. Di satu sisi, demokrasi prosedural masih berjalan, pemilu tetap digelar, dan lembaga negara hadir. Namun, di sisi lain, kita menyaksikan melemahnya oposisi, menguatnya oligarki, serta menyusutnya ruang kritik yang sehat. Hal ini menimbulkan kesan sistem politik nasional lebih sibuk mempertahankan dirinya daripada membangun arah perubahan[2]. Dengan kata lain, status quo tidak lagi menjadi jaminan stabilitas, melainkan penghambat pembaruan.
Preseden buruk dari pragmatisme politik terlihat jelas dari praktik politik transaksional. Partai-partai dengan mudah berpindah koalisi, politisi berganti bendera tanpa beban, dan kebijakan publik kerap disandera oleh kompromi elite. Rakyat diposisikan sebagai objek elektoral semata, bukan subjek utama demokrasi.
Jeffrey Winters menyebut fenomena tersebusebagai dominasi oligarki, yakni ketika kekuatan uang dan jaringan elite jauh lebih menentukan daripada mekanisme demokratis [3]. Dalam konteks ini, pragmatisme politik menjadi racun yang perlahan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi politik.
Akibatnya, masyarakat makin skeptis terhadap politik. Ketika politik tidak lagi dipandang sebagai arena memperjuangkan kepentingan rakyat, maka ruang publik akan dipenuhi apatisme. Robert Dahl menyebut demokrasi sejati menuntut partisipasi luas rakyat dalam pengambilan keputusan, bukan sekadar hak memilih setiap lima tahun[4]. Tanpa partisipasi bermakna, demokrasi hanya akan menjadi ritual elektoral yang kehilangan ruh.
Kontemporerisasi politik yang hanya mengandalkan popularitas dan bukan integritas juga visi mendorong lahirnya kepemimpinan instan yang sibuk merawat citra, tetapi minim kapasitas. Esai ini mengajak kita bertanya: sampai kapan politik Indonesia dibiarkan terjebak dalam preseden buruk pragmatisme?
Jika status quo terus dipertahankan, maka demokrasi hanya akan menjadi ritual tanpa substansi. Bangsa ini membutuhkan keberanian untuk menegakkan etika politik, mengembalikan orientasi pada rakyat, dan menolak pragmatisme sempit yang hanya menguntungkan elite.
Catatan Kaki
[1]: Ariel Heryanto, Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2015).
[2]: Marcus Mietzner, Military Politics, Islam, and the State in Indonesia (Singapore: ISEAS, 2009).
[3]: Jeffrey A. Winters, Oligarchy (Cambridge: Cambridge University Press, 2011).
[4]: Robert A. Dahl, Democracy and Its Critics (New Haven: Yale University Press, 1989).

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Antropologi Indonesia dan Manusia Jawa
12 jam laluBaca Juga
Artikel Terpopuler