Partai Politik hanya Jadi Pabrik Gula-Gula Elektabilitas

6 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Manisnya elektabilitas menghambarkan nilai-nilai ideologi dan kualitas kaderisasi internal Partai Politik
Iklan

Ketika elektabilitas adalah prioritas utama partai politik, cenderung mengesampingkan nilai-nilai ideologis dan kualitas kaderisasi internal

***

Saat munculnya penyalahgunaan wewenang berupa kasus korupsi atau tindakan tidak terpuji yang dilakukan oleh anggota dewan maupun kepala daerah, tidak sedikit publik yang dengan lantang mengutarakan bahwa itulah konsekuensi atas pilihan masyarakat. Narasi tersebut menggiring sudut pandang kepada masyarakat yang dijadikan sebagai kambing hitam dari kesalahan menggunakan hak pilihnya. Namun bagaimana dengan yang terpilih, para pemilik kursi yang berangkat dari partai politik sebagai aktor utama yang memberikan kendaraan hingga nama kandidat tercantum di kertas suara untuk dipilih rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam sistem demokrasi Indonesia, partai politik adalah dapur masak yang meracik dan mencetak pemimpin bangsa. Dalam undang-undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik secara jelas disebutkan salah satu fungsi utama Partai Politik adalah melakukan rekrutmen politik untuk mempersiapkan kader-kader terbaiknya yang mampu menduduki jabatan publik. Dengan demikian, semakin jelas fungsi Partai Politik yang tidak hanya sebagai “kendaraan” politik melainkan sekaligus “pabrik” yang semestinya memproduksi pemimpin-pemimpin yang berkompeten.

Amanat undang-undang perihal partai politik berbanding terbalik dengan realitas di lapangan. Integritas dan kapasitas yang memadai tidak lagi menjadi acuan utama untuk kader partai sebelum ikut serta dalam kontestasi pemilu/pilkada. Bahkan tak jarang jika dalam agenda kaderisasi kerap kali hanya diselenggarakan dalam bentuk formalitas semata. Tahap seleksi setiap calon lebih didasarkan pada seberapa besar modal finansial yang sudah dikantongi atau seberapa besar elektabilitas di ruang publik yang dimiliki sebelum masuk dalam internal partai. Tolak ukur tersebut berdampak pada integritas dan track record yang kerap dinomor sekiankan.

Fenomena cek isi dompet dan sepopuler apa calon yang akan diusung menjadi akar masalah. Proses yang sudah salah di akar melahirkan kelaziman sikap dalam melihat hasil akhir yang tidak sesuai dengan ekspektasi dan sarat akan masalah. Maka tak heran, maraknya kepala daerah dan anggota dewan yang dikemudian hari ber-urusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan segala kasus hukum adalah cerminan dari buruknya kualitas internal Partai Politik dalam melaksanakan fungsi kaderisasi. Maka tak sulit untuk mengatakan kebobrokan pejabat publik adalah produk dari proses internal Partai Politik itu sendiri yang masih tabu untuk diketahui publik.

Memang sudah menjadi konsekuensi ketika dengan sistem demokrasi melalui mekanisme proporsional terbuka yang diterapkan pada setiap tahapan pemilu dan pilkada memunculkan sosok kandidat yang cenderung ditonjolkan daripada Partai Politik pengusung. Sosok kandidat dibebankan tugas besar dalam mendongkrak elektabilitas partai, sehingga kemenangan dalam pemilu dan pilkada adalah kandidat sebagai senjata utama dan mulai mengesampingkan konsistensi ideologi dan proses kaderisasi Partai Politik.

Menyalahkan rakyat atas pilihannya setelah menganalisa integritas Partai Politik kontemporer tentu bukan pilihan yang tepat. Tentu bahwa rakyat yang mengantarkan suara di bilik pemilu, namun daftar nama yang akan dicoblos adalah racikan dari dapur Partai Politik. Istilah kata ”disajikan beragam makanan hambar saat perut keroncongan”. Jika menu yang disediakan adalah kandidat yang diragukan integritasnya, maka rakyat pun kehilangan alternatif untuk memilih yang lebih baik. Pada kondisi inilah tanggungjawab moral Partai Politik diharapkan mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang layak dipilih dan dipertanggungjawabkan dikemudian hari.

Partai politik sudah selayaknya berbenah diri dengan perkembangan zaman. Mulai dari transparansi rekrutmen kader atau anggota partai. Proses seleksi calon legislatif maupun untuk kepala daerah harus lebih diperjelas, terbuka dan meritokrasi. Tidak salah jika publik mengetahui apa tolak ukur yang digunakan oleh partai dalam menentukan kelayakan seseorang untuk diusung.

Keseriusan dalam pendidikan politik, tidak boleh berhenti pada momentum agenda-agenda seremonial maupun indoktrinasi loyalitas semata. Kurikulum pendidikan politik yang menanamkan integritas, paham kebangsaan hingga kemampuan teknokratis perlu dimatangkan pada setiap kader untuk benar-benar siap mengabdi ketika diberikan tanggungjawab dalam jabatan publik.

Elektabilitas memang adalah hal yang melekat dalam setiap tubuh Partai politik, namun jangan sampai menghapus uji kelayakan yang berbasis integritas. Keberanian Partai Politik dalam mengutamakan kandidat yang bersih dari pelanggaran dan memiliki moral yang kuat adalah pilihan yang mahal untuk kondisi saat ini, terlebih ketika elektabilitas tidak dijadikan alasan terpenting dalam mengusung calon pemimpin. Pilihan dengan konsekuensi besar yang berakibat kekalahan kontestasi pada pemilu atau pilkada tentu adalah hal yang tidak diinginkan setiap Partai Politik, namun dengan konsistensi untuk membangun kepercayaan publik akan tumbuh dengan perlahan bahkan ketika tidak dengan hanya janji kampanye semata, melainkan hasil dari integritas yang nyata layak didapatkan dengan proses yang terukur dan inovasi yang berkelanjutan.

Pembenahan pada kualitas Partai Politik memang bukan hal yang mudah. Terdapat tantangan akan godaan budaya transaksional dalam politik yang sudah mendarah daging. Namun, langkah pasti harus mulai ditempuh dengan menjaga marwah demokrasi yang sehat agar terbangun pondasi kaderisasi yang kuat. Sebab pada akhirnya, kualitas Partai politik akan dilihat dari kapasitas calon pemimpin bangsa yang dipersiapkan. Maka rakyat bukan lagi sebagai objek yang dilempar kesalahan saat pejabat publik gagal dalam menjalankan amanahnya.

Budaya dalam melihat kualitas dan mengamati perjalanan Partai Politik dalam mengusung calon pemimpin sudah menjadi sebuah keharusan. Hanya Partai Politik yang berani serius manawarkan gagasan dan memberikan garansi untuk tegas dalam sanksi kepada setiap kader partai yang memiliki jabatan publik, layak untuk memiliki basis kekuatan massa dan simpatisan yang dirawat di setiap daerah. Kepercayaan publik harus dibayar mahal dengan integritas, kapasitas dan konsistensi.  

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler