Tiada Pemerataan Tanpa Demokrasi di Tempat Kerja

2 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Demokrasi juga perlu di tempat kerja (Ilustrasi dari Freepik).
Iklan

Ketimpangan akan selalu ada kalau demokrasi berhenti hanya di kotak suara. ***

Survei oleh Komite Hidup Layak pada Oktober 2024 menunjukkan realitas pahit yang harus dilalui buruh di Indonesia: 93 persen buruh merasa upah mereka tak mencukupi kebutuhan bulanan, dan 76 persen terpaksa berutang demi memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan dan papan. Situasi keuangan yang sulit ini memaksa buruh bekerja lebih lama, yang hasilnya pun tak seberapa.

Bandingkan hal itu dengan apa yang bisa dibeli dengan gaji para pemimpin perusahaan, yang bisa berlipat hingga 100 kali dari upah minimum yang berlaku di daerah mana pun. Menurut Michael Page Salary Guide 2025, di perusahaan-perusahaan besar, seorang kepala eksekutif bisa menerima sekitar Rp 500 juta per bulan. Di perusahaan rintisan, untuk posisi yang sama, angkanya terentang dari Rp 130 juta-250 juta.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dua kontras yang sangat gamblang tersebut bukanlah realitas yang berdiri terpisah-pisah, melainkan gejala dari sistem yang memaksa orang-orang di lapisan bawah dari hierarki sistem produksi untuk bekerja lebih lama dengan upah lebih rendah--sebuah pengaturan eksploitatif yang tertanam dalam ekonomi yang berlaku kini. Bagi pekerja yang menjalani realitas ini, masalah sebenarnya bukan sekadar upah rendah, tapi kurangnya kekuatan untuk membentuk kondisi kerja mereka sendiri.

Ini bukan khas Indonesia, tapi karakteristik dari sebuah sistem ekonomi global. Sistem ini, secara mendasar, memang tidak adil. Sebagaimana Richard D. Wolff, ekonom yang menulis buku Democracy at Work: A Cure for Capitalism (2012), mengingatkan kita bahwa kapitalisme, sistem kita saat ini, sejak awal diadakan untuk menyingkirkan pemerataan: “Sistem ini dibangun untuk tidak melakukan hal itu.”

Yang sebenarnya terjadi, dalam kegiatan produksi, ada hubungan yang timpang antara dua pelaku utama, yakni pemilik modal, di satu pihak, dan mereka yang bekerja--dengan tenaga dan pikirannya--untuk mendapatkan upah, di pihak lain.

Hubungan itu memusatkan kekuasaan untuk membuat keputusan di tangan pemilik modal: apa yang harus diproduksi, bagaimana melakukannya, bagaimana mendistribusikannya, bagaimana menggunakan pendapatan, dan seberapa besar upah dibayarkan kepada buruh. Yang berlaku, terkait dengan poin terakhir ini, adalah pemilik modal akan berupaya memperbesar bagian dari nilai yang dihasilkan buruh untuk dirinya sendiri. Kita mengenalnya sebagai laba atau profit.

Buruh mungkin saja memprotes, meminta berunding, atau menawar keputusan-keputusan pemilik modal atau pengelola perusahaan yang dipekerjakannya. Tapi tetap saja mereka selalu dikecualikan dari pengambilan keputusan nyata, meski konsekuensi dari keputusan-keputusan yang dibuat berdampak pada kehidupan mereka.

Bisa dikatakan bahwa tujuan utama dari pemilik modal dalam sistem tersebut adalah profit yang terus bertambah, dan karenanya juga modal yang terus berakumulasi. Tujuan ini--kelangsungan usaha dan memaksimalkan nilai pemilik saham--akan menjustifikasi tindakan menekan biaya serendah mungkin.

Sudah banyak upaya dikerahkan untuk memperbaiki dampak dari ketidakadilan itu, dari corporate social responsibility, filantrofi, atau bahkan langkah-langkah penyelenggaraan kesejahteraan sosial oleh negara seperti dilakukan pemerintahan Presiden Amerika Serikat F.D. Roosevelt di masa Depresi Besar pada 1930-an. Tapi semuanya hanya bersifat menanggulangi gejala dari satu penyakit, bukan obat mujarab yang langsung mengatasi akar penyebabnya--itu tadi, ketidakseimbangan kekuatan.

Pengalaman Amerika malah menunjukkan semua dukungan negara bagi kesejahteraan sosial--upah minimum, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan lain-lain--rawan menghadapi upaya pembalikan. Dengan sumber daya yang besar--hasil dari akumulasi profit dan modal--para pemilik modal punya kekuasaan dan pengaruh politik untuk mengubah keadaan. Dinamika ini menggarisbawahi apa yang Jason Hickel, dalam The Divide: A Brief Guide to Global Inequality and Its Solutions (2017), sebut sebagai sistem “antidemokrasi”. Dan karena kecondongan struktural ini, bahkan keuntungan yang dicapai susah payah pun tetap rentan.

Ini bukan saja sejarah; ini terjadi lagi sekarang. Akibatnya, ketimpangan di sana bukan saja kembali ke tingkat yang sudah puluhan tahun lewat, melainkan juga semakin dalam.

Jika akar dari ketimpangan adalah hubungan kekuasaan, jalan keluarnya jelas tak bisa didapatkan dari tindakan-tindakan karitas atau reformasi di permukaan atau yang bersifat simbolis belaka. Yang benar-benar dibutuhkan adalah perubahan hubungan di dalam tempat kerja: memberi buruh kekuasaan nyata untuk ikut mengambil keputusan mengenai kondisi yang terkait dengan kehidupan mereka. Dengan kata lain, demokrasi tak boleh berhenti hanya di kotak suara; ia juga harus menyeruak ke dalam pabrik, perkantoran, toko, dan setiap tempat yang menjadi lokasi penciptaan nilai.

Demokrasi di tempat kerja bisa berwujud macam-macam, dari koperasi buruh, yang memberlakukan pembagian kepemilikan dan laba; ke dewan pekerja, yang memberi buruh hak berbicara yang sifatnya mengikat dalam pengambilan keputusan; ke eksperimentasi dalam manajemen partisipatoris, yang memperlakukan buruh sebagai ko-kreator ketimbang input yang bisa sewaktu-waktu disingkirkan.

Sudah banyak yang bisa dicontoh dari praktik di banyak tempat, sebenarnya. Misalnya Mondragón Corporation di Spanyol, sebuah koperasi yang telah memiliki banyak anak usaha, atau Legacoop, federasi koperasi tertua di Italia yang mewakili dan mengkoordinasikan lebih dari 10.000 usaha koperasi; atau Land O’Lakes, koperasi pertanian milik anggota di Amerika Serikat. Di Indonesia pun tak sedikit koperasi yang digerakkan dari arus bawah yang berhasil dan menjadi bukti betapa model serupa bisa merealisasikan tujuan-tujuan keadilan dan resiliensi--mampu beradaptasi dalam kondisi sulit--dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan kapitalistis, yang dikendalikan dari atas-ke-bawah.

Banyaknya contoh model bisnis alternatif serupa itu merupakan bukti bahwa apa yang digambarkan tentang transformasi yang dibutuhkan di tempat kerja bukanlah sesuatu yang utopis.

Jelaslah bahwa kesenjangan antara buruh yang berjuang untuk bertahan hidup dan para pemilik modal serta pemimpin perusahaan yang mengakumulasi kekayaan bukanlah krisis sementara; ia merupakan konsekuensi logis dari sistem yang timpang. Jika demokrasi layak dipertahankan dalam politik, demokrasi juga harus diperluas ke tempat kerja. Hanya manakala buruh mendapat kekuatan nyata untuk membentuk kondisi kerja mereka, kita dapat menutup kesenjangan tersebut--melalui keadilan, bukan melalui karitas.

Bagikan Artikel Ini
img-content
purwanto setiadi

...wartawan, penggemar musik, dan pengguna sepeda yang telah ke sana kemari tapi belum ke semua tempat.

4 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler